Senin, 10 Oktober 2011

relevansi pidana mati

PIDANA MATI
Perdebatan mengenai hukuman mati di Indonesia, sebenarnya adalah telah menjadi diskursus sosial yang panjang, terutama dalam bidang ilmu hukum. Pihak yang mendukung pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, menyatakan bahwa debat ini sudah selesai dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007 dan No. 21/PUU-V/2008 yang menyatakan bahwa pidana mati adalah konstitusional. Namun sebagai “anak hukum” kita sadar bahwa hukum positif (ius constitutum) adalah norma yang terikat dengan ruang dan waktu, sehingga hukum yang berlaku di masa lalu, bisa jadi tidak berlaku lagi di masa depan. Karena itu, diskusi ini nampaknya belum akan berakhir, belum, hingga hukuman mati benar-benar dihapus dari bumi pertiwi.
Hukuman Mati adalah….
Mengapa hukuman mati mendapat tempat perdebatan tersendiri, jauh melebihi jenis hukuman lain yang dikenal dalam sistem pemidanaan di dunia? Ya, itu karena sifatnya yang “unik”. Dilihat dari aspek sederhana dari Hak Asasi Manusia, hukuman mati mencabut aspek paling penting yang menyebabkan seseorang disebut manusia, yaitu “hidup”. Hukuman mati (capital punishment/ death penalty) adalah hukuman yang final dan irrevocable dalam artian terpidana tidak dapat dikembalikan lagi apabila di kemudian hari dinyatakan tidak bersalah. Sejak jaman dahulu pun, para sarjana telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hukuman mati. Seperti Cesare Beccaria dalam bukunya On Crimes and Punishment (1764) menyatakan, “Capital Punishment was both inhumane and ineffective; an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment.” Pernyataan ini dikuatkan kembali oleh Hakim Chaskalson dalam putusan kasus S vs Makwanyane (1995) yang menghapus hukuman mati dalam sistem hukum Afrika Selatan, berbunyi, ”Death is the most extreme form of punishment to which a convicted criminal can be subjected. Its execution is final and irrevocable. It puts an end not only the right to life itself, but to all other personal rights…” Gerakan menghapus hukuman mati di Indonesia bukannya tanpa argumen. Di bawah ini adalah alasan, mengapa hukuman mati tak pantas lagi diberlakukan di Indonesia.
Hukuman Mati Melanggar Hak Hidup
Alasan ini adalah alasan yang paling klasik (basi: red), namun hal ini tentu tak dapat dipungkiri bahwa hukuman mati mencabut hak individu untuk tetap dapat hidup. Masalahnya, apakah pencabutan hak untuk hidup diperkenankan? Undang-undang Dasar 1945 pasal 28A menyatakan bahwa ,”setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Lebih lanjut, pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan ,”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Konstitusi tertulis kita tersebut bahkan memiliki standar yang lebih tinggi terhadap hak untuk hidup dibanding dengan ICCPR article 6 (diratifikasi melalui UU No 12 tahun 2005) yang menyatakan bahwa “no one shall arbitrarily deprived of his life” atau “tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.” Bandingkan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Para pendukung hukuman mati tentu mengeluarkan “senjata” bahwa pembatasan HAM diatur di konstitusi, yaitu pasal 28J UUD 1945. Untuk pendapat ini, Prof Maria Farida dalam putusan MK No. 013/PUU-I/2003 berpendapat bahwa pembatasan hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh Pasal 28J ayat (1) tidak dapat diberlakukan pada hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, karena adanya frasa “dalam keadaan apapun.” Hal itu dikuatkan oleh pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, S.H ,”sebab jika ketujuh HAM yang tercantum dalam pasal 28I ayat (1) masih bisa diterobos oleh pembatasan yang dilakukan dalam Pasal 28J, berarti tidak ada lagi perbedaan antara ketujuh HAM itu dengan HAM lainnya.” Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 menempatkan hak untuk hidup sebagai hak asasi yang sangat penting (the supreme rights) yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable).

Efek Jera Hukuman Mati Dipertanyakan
Pertanyaannya bukanlah apakah hukuman mati menghasilkan efek jera (semua jenis hukuman menghasilkan efek jera tertentu), namun apakah hukuman mati menghasilkan efek jera (detterent effect) yang lebih tinggi daripada hukuman penjara dalam waktu lama atau bentuk hukuman berat lainnya. Apabila hukuman mati tidak menghasilkan efek jera yang lebih tinggi daripada hukuman penjara dalam waktu lama, maka tentu telah terjadi pengurangan yang “sewenang-wenang” terhadap hak untuk hidup. Secara logika, efek “ketakutan” yang ditimbulkan oleh hukuman mati mungkin masuk akal mengurangi tindak kejahatan, namun tidak terdapat fakta empiris maupun hasil riset yang mendukung logika tersebut, hasil riset justru menunjukkan sebaliknya. Murder rate (laju pembunuhan tiap 100.000 orang) di Amerika Serikat yang masih memberlakukan hukuman mati, mencapai tiga kali lipat dari laju pembunuhan di negara-negara Eropa, yang telah menghapus hukuman mati (British Home Office, 1997-1998). Di Amerika Serikat pun, murder rate di negara bagian yang telah menghapus hukuman mati, lebih rendah daripada di negara bagian yang masih memberlakukannya (Death Penalty Information Center, 2004). Untuk menerapkan hukuman mati yang sifatnya irrevocable, sudah selayaknya didasarkan pada data dan hasil riset yang mendalam (terutama mahasiswa UI: world class research university), tidaklah bertanggung jawab untuk mempertahankan hukuman mati dengan mendasarkan efektifitasnya pada spekulasi dan asumsi semata.

Hukuman Mati tak Sesuai dengan Filosofi Pemidanaan Indonesia
Pemberlakuan hukuman, termasuk hukuman mati, tidak dapat dilepaskan dari tujuan dan latar belakang penghukuman itu sendiri. Tujuan dan latar belakang pemidanaan tersebut tak lain tercakup dalam filosofi pemidanaan yang berlaku di suatu negara. Di Indonesia, filosofi ini tersirat dari cuplikan Putusan MK 013/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive) tidak lagi menjadi acuan dari sistem pemidanaan di negara ini yang lebih merujuk pada asas preventif dan edukatif. Dalam UU no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan tindak pidana, bukan justru Narapidana yang bersangkutan. Pendapat Prof. Dr Andi Hamzah, S.H dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia (dari Retribusi ke Reformasi) juga memperkuat argumen diatas, dimana tujuan yang berlaku sekarang ini adalah perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat dan perbaikan (reformasi) penjahat itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Dr. Todung Mulya Lubis yang menekankan rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana dalam filosofi pemidanaan Indonesia. Dihubungkan dengan hukuman mati, maka jelas bahwa hukuman mati adalah sanksi yang menitikberatkan pada “balas dendam”, dimana kejahatan dibalas dengan penghukuman yang setimpal (lex talionis: eye for an eye, tooth for tooth), yang mana dapat ditarik kesimpulan sudah tidak compatible dengan filosofi pemidanaan Indonesia saat ini.

Tren Internasional Penghapusan Hukuman Mati
Setiap negara berdaulat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk untuk memberlakukan hukuman mati. Meskipun begitu, perlu diketahui bahwa di dunia, saat ini, terdapat kecenderungan negara-negara untuk menghapuskan hukuman mati. Dari 197 negara atau teritori yang ada di dunia, 129 sudah tidak menerapkan hukuman mati. Dari 129 negara atau teritori tersebut, 88 di antaranya telah menghapus hukuman mati untuk semua jenis pidana secara eksplisit dalam peraturan perundangan (abolitionist for all crimes), 11 negara telah menghapus hukuman mati untuk pidana biasa (abolisionist for ordinary crimes only), dan 30 telah menghapus hukuman mati dalam praktik (abolisionist in practice). Dalam 25 tahun (1981-2006), negara yang tergolong abolisionist for all crimes meningkat dari 25 menjadi 88 negara. Peningkatan yang sangat signifikan, 300 persen. Hal ini berarti bahwa terdapat kesadaran internasional yang meluas bahwa hak untuk hidup adalah hak yang universal. Fakta ini seharusnya menjadi pertanda bahwa hukuman mati sudah mulai kehilangan eksistensinya di bumi ini.

Hukuman Mati akan Dihapuskan
Begitulah harapan dari para penentang hukuman mati di Indonesia, bahwa suatu saat hukuman mati akan dihapuskan, dan Indonesia bergabung dengan 129 negara lain yang terlebih dahulu menghapuskannya. Alasan-alasan diatas adalah senjata utamanya, belum lagi berbagai alasan yang tak sempat tersampaikan dalam tulisan ini. Penghapusan hukuman mati di Indonesia, memang tak hanya melibatkan aspek hukum, namun juga politik, sosial, bahkan agama. Oleh karena itu, langkah penghapusan tersebut masih akan panjang.
Hukuman mati yang dialamatkan kepada tibo cs masih menuai kontroversi sampai hari ini. eksekusi memang tinggal menghitung hari, namun perdebatan panjang layak tidaknya hukuman mati masih bergulir di kalangan masyarakat.
tidak sedikit pakar yang telah mengemukakan wacananya untuk menghapus penerapan pidana mati di indonesia. sebagian besar pakar tersebut mendasari argumentasinya dari perpektif kemanusiaan (ham) hingga perspektif hukum (positif) yang mengandung kerancuan di beberapa pasal.
pandangan hukum
perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari peraturan-peraturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. dalam tata urutan peraturan perundangan di indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. karena konstitusi dalam tata hukum indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus amandemen. pro kontra penerapan pidana hukuman mati di indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu, (1) bahwa hukuman mati tidak melanggar ham karena pelaku telah melanggar ham korban dan ham masyarakat. parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar ham dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana ham korban kejahatan itu di langgar. selanjutnya (2) hukuman mati dinilai melanggar ham karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada.
pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. karena itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. sehingga hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati. walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.
meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar konstitusi ri uud 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. pasal 28a uud ‘45 (amandemen kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
sementara itu pasal 28i ayat (1) uud ‘45 (amandemen kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
peninjauan ulang
atas dasar pertimbangan di atas, mau tidak mau, hukuman mati harus ditolak atau ditinjau kembali mengingat beberapa alasan yang meliputi; pertama, karakter reformasi hukum positif indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. kasus hukuman mati sengkon dan karta yang lampau di indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.
kedua, dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. kajian pbb tentang hubungan hukuman mati (capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.
ketiga, meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.
keempat, hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat ham dengan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis bahkan dituntut hukuman mati.
kelima, penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum indonesia yang kontradiktif. salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif indonesia. padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. pasal 28i ayat (1) uud ‘45 (amandemen kedua) adalah bukti kongkret argumentasi ini.
keenam, sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. pemerintah ri sering mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah arab saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada para wni-nya di luar negeri, seperti pada kasus kartini, seorang tkw, dengan alasan kemanusiaan. namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati terhadap wni dan wna di dalam negeri ri.
Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia. Dari pendekatan historis dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan. Dalam perkembangannya teori ini mengalami perubahan yang signifikan. Pemidanaan tidak lagi ditujukan pada efek jera akan tetapi lebih kepada rehabilitasi terhadap terpidana, yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat. Bagaimana dengan pidana mati itu sendiri?
Kontroversi pidana mati di Indonesia mengemuka terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden di tahun 2003 yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada dua mainstream wacana yang berhadap-hadapan dalam perdebatan tersebut yakni yang setuju terhadap pidana mati dan pada pihak lain tidak setuju terhadap pidana mati.
Secara singkat pihak yang setuju berargumentasi bahwa pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum posistif Indonesia. Pihak yang tidak setuju menyatakan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD 45 yang mengutip pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable human right).
Jika menggunakan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera akan muncul pertanyaan penting apakah betul dengan adanya pidana mati dapat dikurangi angka kejahatan? Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara pidana mati dan penurunan angka kejahatan. Bila ada yang berpendapat pidana mati bisa menimbulkan efek jera, hal itu tidak benar. Di Inggris dua ratus tahun yang lalu, para pencopet selalu dipidana mati dengan cara digantung di lapangan terbuka di depan publik. Ironisnya saat pelaksanaan pidana mati tersebut berlangsung para pencopet justru beraksi.
Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati misalnya dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi UU.
Dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa berharap sebuah keputusan yang adil dalam dunia peradilan yang masih korup. Tampaknya tidak arif kalau kita menyerahkan wewenang yang begitu besar yang menyangkut nyawa seseorang terhadap lembaga peradilan masih korup.
Perlu dicatat sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati, maka sepanjang itu pula penjatuhan pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati.
Dalam RUU KUHP baru, mengandung pemikiran “reformasi” tentang pidana mati yang menetapkan sebagai (1) “pidana khusus” (2) “pidana mati percobaan” (3) kalau 10 tahun tidak dilaksanakan, maka “otomatis” menjadi seumur hidup. Rumusan KUHP ini sudah cukup terlihat mengakomodir perdebatan tentang pidana mati, ada baiknya hal ini dapat “ditiru” oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang mencantumkan ancaman pidana mati.
Tampaknya mustahil kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang-undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana mati. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar.

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus