Senin, 24 Oktober 2011

Program Wira usaha Muda Harus Jadi Gerakan Sosial

KADIN - JETRO
KEWIRAUSAHAAN




1.
Pengertian dan Ruang Lingkup Kewirausahaan
Pengertian Wirausaha :

Orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan tindakan yang cepat dalam memastikan kesuksesan.

Pengertian Kewirausahaan :

Semangat , sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya cara kerja teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan keuntungan yang lebih besar.

Tujuan Kewirausahaan :

• Meningkatkan Jumlah wirausaha yang berkualitas
• Menyadarkan masyarakat atau memberikan kesadaran berwirausaha yang tangguh dan kuat terhadap masyarakat.
• Menghasilkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat
• Membudayakan semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan di kalangan masyarakat

Sasaran Kewirausahaan :

• Instansi pemerintah, BUMN, organisasi profesi dan kelompok masyarakat
• Pelaku ekonomi: pengusaha kecil, koperasi
• Generasi Muda: anak-anak putus sekolah, calon wirausahawan.

Manfaat Kewirausahan :

• Menambah daya tampung tenaga kerja
• Sebagai generator pembangunan lingkungan, pribadi, distribusi, pemeliharaan lingkungandan kesejahteraan
• Memberi contoh bagaimana bekerja keras, tekun dan memeiliki pribadi unggul yang patut diteladani
• Mendidik karyawan jadi orang mandiri, disiplin tekun, jujur dalam menghadapi pekerjaan
• Mendidik masyarakat hidup efisien dan sederhana


Keuntungan :

• Terbuka lebar kesempatan untuk menjadi bos dalam perusahaan
• Terbuka peluang untuk memperoleh manfaat dan keuntungan secara maksimal
• Terbuka peluang untuk memperlihatkan potensi wirausaha secara penuh
• Terbuka peluang untuk membantu masyarakat dalam usaha
• Terbuka peluang untuk mencapai tujuan usaha yang dikehendaki

Kelemahan :

• Tanggung jawab sangat besar dan berat di dalam menghadapi permasalahan bisnis.
• Bekerja keras dan waktunya sangat panjang
• Memperoleh pendapatan yang tidak pasti dan memiliki resiko yang sangat besar.

Ruang Lingkup :

• Lapangan Agraris
• Lapangan Peternakan
• Lapangan Perkebunan
• Lapangan Pemberi jasa
• Lapangan Pertambangan dan energi
• Lapangan Industri dan Kerajinan


2. Memahami Karakteristik Kewirausahaan

a. Sikap dan Perilaku Disiplin

Sikap dan perilaku disiplin merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang didalam berwirausaha. Menurut Murphy dan Peck, bahwa guna mencapai sukses dalam karir seseorang harus dimulai dengan kerja keras, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi dan pintar berkomunikasi.

b. Komitmen Tinggi

Seorang wirausaha harus memiliki komitmen tinggi terhadap tugasnya . Artinyaseorang wirausaha itu setiap saat pikirannya tidak lepas dari perusahaannya atau bisnisnya

c. Jujur
Jujur dalam berwirausaha artinya mau dan mampu mengatakan sesuatu sebagaimana adanya.

Akibat yang di terima kalau orang tidak jujur di dalam berwirausaha:

1. Tidak dipercaya masyarakat konsumen
2. Menjadi rendah diri dan rasa malu
3. Mudah tersinggung atau emosi
4. Cepat iri dan dengki
5. Suka dendam
6. Prasangka buruk dan dusta
7. Tidak punya teman
8. Kehancuran dalam usahanya

Empat (4) sisi potensial yang dimiliki manusia untuk maju (menurut Stephen Covey,
dalam bukunya The First Thing’ First):

1. Self awareness adalah sikap mawas diri
2. Cousience adalah mempertajam suara hati, supaya menjadi manusia berkehendak baik, seraya memunculkan keunikan serta memiliki misi dalam hidup.
3. Independent Will adalah pandangan independent untuk bekal bertindak dan kekuatan untuk mentrandensi.
4. Creatif Imagination adalah berfikir dan mengarah ke depan untuk memecahkan masalah dengan imajinasi, khayalan serta adaptasi yang tepat


3. Wirausaha dan Wiraswasta


a. Pengertian Wiraswasta

Wiraswasta terdiri dari tiga kata: wira, swa dan sta, masing – masing berarti, wira adalah manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa besar, berani, pahlawan/pendekar , kemajuan dan memiliki keagungan watak ; swa artinya sendiri; dan sta artinya berdiri.

Bertolak dari ungkapan etimologis diatas, maka wiraswasta berarti keberanian, keutamaan, serta keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri. (Wasty Sumanto, 1984:43)

Gambaran ideal manusia wiraswasta adalah orang yang dalam keadaan bagaimanapun daruratnya, tetap mampu berdiri atas kemampuan sendiri untuk menolong dirinya keluar darikesulitan yang dihadapinya, termasuk mengatasi kemiskinan tanpa bantuan instansi pemerintah atau instansi sosial. Dan dalam keadaan yang biasa (tidak darurat) manusia – manusia wiraswasta bahkan akan mampu menjadikan dirinya maju, kaya, berhasil lahir dan batin.

b. Pengertian Wirausaha

Menurut Joseph Schumeter, Entrepreneur atau wirausaha adalah orang yang mendobrak system ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.

Dalam definisi ini ditekankan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Kesimpulannya adalah bahwa istilah wiraswasta sama saja dengan wirausaha, walaupun rumusannya berbeda – beda tetapi isi dan karakteristiknya sama. Namun ada perbedaan focus antara kedua istilah tersebut. Wiraswasta lebih focus pada obyek, ada usaha yang mandiri, sedang wirausaha lebih menekankan pada jiwa, semangat, kemudian diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan.

3
Faktor-Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Wirausaha

1. Keberhasilan Wirausahawan


Untuk menjadi seorang wirausahawan, diperlukan dukungan dari orang lain yang berhubungan dengan bisnis yang kita kelola. Seorang wirausaha harus mau menghadapi tantangan dan resiko yang ada. Resiko dijadikan sebagai pemacu untuk maju, dengan adanya resiko, seorang wirausaha akan semakin maju.

Menurut Murphy dan Peek yang diterjemahkan dalam bukunya oleh Bukhari Alam,
ada delapan anak tangga yang meliputi keberhasilan seorang wirausaha dalam mengembangkan profesinya, yaitu:

a. Kerja keras

Kerja keras merupakan modal keberhasilan seorang wirausaha. Setiap pengusaha yang sukses menempuh kerja keras yang sungguh – sungguh dalam usahanya.

b. Kerjasama dengan orang lain

Kerjasama dengan orang lain dapat diwujudkan dalam lingkungan pergaulan sebagai langkah pertama untuk mengembangkan usaha. Seorang wirausaha harus murah hati, mudah bergaul, ramah dan disenangi masyarakat dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain.

c. Penampilan yang baik

Penampilan yang baik ditekankan pada penampilan perilaku yang jujur dan disiplin.

d. Yakin

Seorang wirausaha harus dapat yakin kepada diri sendiri, yaitu keyakinan untuk maju dan dilandasi ketekunan serta kesabaran.

e. Pandai membuat keputusan

Seorang wirausaha harus dapat membuat keputusan. Jika dihadapkan pada alternative sulit, dengan cara pertimbangan yang matang, jangan ragu – ragu dalam mengambil keputusan yang baik sesuai dengan keyakinan.

f. Mau menambah Ilmu pengetahuan

Dengan menambah ilmu pengetahuan, terutama di bidang usaha, diharapkan seorang wirausaha dapat mendukung kemampuan dan kemajuan dalam usaha.

g. Ambisi untuk maju

Tanpa ambisi yang kuat, seorang wirausaha tidak akan dapat mencapai keberhasilan. Ambisi yang kuat, harus diimbangi dengan usaha yang keras dan disiplin diri yang baik.

h. Pandai berkomunikasi

Seorang wirausaha harus dapat menarik orang lain dengan tutur kata yang baik, sopan, jujur dan percaya diri. Dengan demikian akan memberi kesan kepada orang lain menjadi tertarik daan orang akan percaya dengan apa yang disampaikan.


2. Kegagalan Wirausaha

Penyebab kegagalan dalam usaha pada umumnya disebabkan oleh 4 faktor utama, antara lain :

1. Kurangnya dana untuk modal
2. Kurangnya pengalaman dalam bidang bisnis
3. Tidak adanya perencanaan yang tepat dan matang
4. Tidak cocoknya minat terhadap bidang usaha yang sedang digeluitinya.

Menurut Alex S. Niti Semito, kegagalan wirausahawan dalam menjalankan bisnisnya terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Kegagalan yang dapat dihindarkan

Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena pengusaha dapat menghindari dan dapat
diantisipasi sebelumnya.

Misal: salah mengelola perusahaan, tidak ada rencana yang matang, pelayanan yang
kurang baik, dll

2. Kegagalan yang tidak dapat dihindarkan

Yaitu kegagalan yang sulit atau hampir tidak dapat dihindari seperti bencana alam, peperangan, kebakaran, kecelakaan.


Sebab – sebab kegagalan dalam menjalankan usaha:

- Kurang ulet dan cepat putus asa
- Kurang tekun dan kurang teliti
- Tidak jujur dan kurang cekatan
- Kekeliruan dalam memilih lapangan usaha
- Kurang inisiatif dan kurang kreatif
- Memulai usaha tanpa pengalaman dengan modal pinjaman
- Mengambil kredit tanpa pertimbangan yang matang
- Kurang dapat menyesuaikan dengan selera konsumen
- Pelayanan yang kurang baik
- Banyaknya piutang ragu – ragu
- Banyaknya pemborosan dan penyimpangan
- Kekeliruan menghitung harga pokok
- Menyamakan perusahaan sebagai badan sosial
- Sulit memisahkan antara harta pribadi dengan harta perusahaan
- Kemacetan yang sering terjadi
- Kurangnya pengawasan

4
Karakteristik Kewirausahaan


Seorang wirausaha yang sukses harus mempunyai karakteristik yang baik dan menarik, Karakteristik seorang wirausaha akan terlihat dan berkembang melalui ilmu pengetahuan, pengalaman yang diperoleh dari hasil interaksi dengan lingkungannya.

Jadi karakteristik adalah sesuatu yang berhubungan dengan watak, perilaku, tabiat, sikap orang terhadap perjuangan hidup untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.

Karakteristik seorang wirausaha yang baik, akan membawa kearah kebenaran, keselamatan serta menaikan derajat dan martabatnya. Karakteristik wirausahawan yang perlu dimiliki dan perlu dikembangkan adalah sebagai berikut:

1. Berwatak luhur
2. Bekerja keras dan disiplin
3. Mandiri dan realistis
4. Prestatif dan komitmen tinggi
5. Berfikir positif dan bertanggungjawab
6. Dapat mengendalikan emosi
7. Tidak ingkar janji, menepati janji dan waktu
8. Belajar dari pengalaman
9. Memperhitungkan resiko
10. Merasakan kebutuhan orang lain
11. Bekerjasama dengan orang lain
12. Menghasilkan sesuatu untuk orang lain
13. Memberi semangat kepada orang lain
14. Mencari jalan keluar bagi setiap permasalahan
15. Merencanakan sesutau sebelum bertindak.

Keberhasilan dalam bidang bisnis selalu berhubungan dengan hal – hal sebagai berikut:

a. Sikap dan perilaku disiplin, merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang didalam berwirausaha.
b. Komitmen tinggi, artinya seorang wirausaha itu setiap saat pikirannya tidak lepas dari perusahannya atau bisnisnya.
c. Jujur, artinya mau dan mampu mengatakan sesuatu sebagaimana adanya.
d. Kreatif, adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relative berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
e. Inovatif yaitu merupakan suatu proses mengubah peluang menjadi gagasan dan ide – ide yang dapat dijual.
f. Mandiri dan realistis, artinya bahwa kwberhasilan eorang wirausaha datangnya dari diri sendiri dan ide yang realistis dan bukan dari orang lain.

5
Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki oleh Wirausaha


1. Percaya Diri

Orang yang tinggi percaya dirinya adalah orang yang sudah matang jasmani dan
rokhaninya. Karakteristik kematangan seseorang adalah ia tidak tergantung pada orang lain, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, obyektif, dan kritis, emosionalnya stabil, tidak gampang tersinggung dan naik pitam.

2. Berorientasi pada tugas dan hasil

Berbagai motivasi akan muncul dalam bisnis jika kita berusaha menyingkirkan prestise. Kita akan mampu bekerja keras, enerjik, tanpa malu dilihat teman, asal yang kita kerjakan adalah halal.

3. Pengambilan Resiko

Wirausaha penuh resiko dan tantangan, seperti persaingan, harga turun naik, barang tidak laku dan sebagainya. Namun semua tantangan ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan.

4. Kepemimpinan

Pemimpin yang baik harus mau menerima kritik dari bawahan, ia harus bersifat
responsive.

5. Keorisinilan

Yang dimaksud orisinal di sini ialah tidak hanya mengekor pada orang lain, tetapi memiliki pendapat sendiri, ada ide yang orisinil, ada kemampuan untuk melaksanakan sesuatu. Orisinil tidak berarti baru sama sekali, tetapi produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari komponen – komponen yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru.

5. Berorientasi ke masa depan

Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan, seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah – langkah yang akan dilaksanakan.


7. Kreativitas

Menurut Conny Setiawan (1984:8), kreativitas diartikan sebaga kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Produk baru artinya tidak perlu seluruhnya baru, tapi dapat merupakan bagian – bagian produk saja.

Contoh: Seorang wirausaha membuat berbagai kreasi dalam kegiatan usahanya, seperti susunan barang, pengaturan rak pajangan, menyebarkan brosur promosi dsb.

Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi – kombinasi baru atau melihat hubungan – hubungan baru antara unsure, data, variable; yang sudah ada sebelumnya.

8. Konsep 10 D dari Bygrave

• Dream

Seorang wirausaha mempunyai visi bagaimana keinginannya terhadap
masa depan pribadi dan bisnisnya dan yang paling penting adalah dia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impian tsb.

• Decisiveness

Seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja lambat. Kecepatan dan ketepatan dia mengambil keputusan adalah merupakan factor kunci (key factor) dalam kesuksesan bisnisnya.

• Doers

Seorang wirausaha tidak mau menunda – nunda kesempatan yang dapat di manfaatkan.

• Determination

Seorang wirausaha dalam melaksanakan kegiatannya memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan tidak mau menyerah, walaupun dia dihadapkan pada halangan atau rintangan yang tidak mungkin diatasi

• Dedication

Dedikasi seorang wirausahawan sangat tinggi, semua perhatian dan kegiatannya dipusatkan semata – mata untuk kegiatan bisnisnya.





• Devotion

Devotion berarti kegemaran atau kegila – gilaan. Hal inilah yang mendorong dia mencapai keberhasilan yang sangat efektif untuk menjual produk yang ditawarkannya, karena seorang wirausahawan akan mencintai pekerjaan bisnisnya.

• Details

Seorang wirausahawan akan selalu memperhatikan factor – factor kritis. Dia tidak akan mengabaikan factor – factor kecil tertentu yang dapat menghambat kegiatan usahanya.

• Destiny
Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap nasib dan tujuan yng hendak dicapainya.

• Dollars
Wirausahawan tidak sangat mengutamakan kekayaan, motivasinya bukan
memperoleh uang, akan tetapi uang dianggap sebagai ukuran kesuksesan bisnisnya.

• Distribute

Seorang wirausahawan bersedia mendistribusikan kepemilikan bisnisnya terhadap orang – orang kepercayannya, yaitu orang – orang yang kritis dan mau diajak untuk mencapai sukses dalam bidang bisnis.


9. Beberapa Kelemahan Wirausaha Indonesia

Kelemahan tsb adalah:

• Sifat mentalitet yang meremehkan mutu
• Sifat mentalitet yang suka menerabas
• Sifat tak percaya kepada diri sendiri
• Sifat tak berdisiplin murni
• Sifat mentalitet yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh
Masyarakat kita begitu cepat ingin menikmati waktu santai walaupun penghasilannya belum begitu tinggi.




10. Pemanfaatan Waktu

Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk santai. Tapi seyogyanyalah kita menggunakan waktu lebih banyak untuk kegiatan produktif. Bagi wirausahawan hari libur tidak banyak, bahkan mereka menganggap hari libur sebagai peluang bisnis, mereka tidak libur, tapi melayani kebutuhan masyarakat yang sedang berlibur. Seorang wirausahawan sejati adalah seorang yang dapat bekerja dalam satu tim, bias mempercayai orang lain, tidak bekerja sendiri, one-man show.

Bagi wirausahawan, tentu pembicaraan lebih focus pada bisnis, mana ancaman, yang
harus dihindarkan, dan mana peluang yang dapat dimanfaatkan, bertukar pikiran dengan relasi adalah bahan pembicaraan utama para pelaku bisnis.

6
Jalan Menuju Wirausaha


1. Mau bekerja keras

Kerja keras merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang. Sikap kerja kerasharus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Dalam hal ini, unsur disiplin memainkan peranan penting.

2. Bekerjasama dengan orang lain

Perbanyaklah teman dengan orang – orang dibawah ataupun dengan orang – orang diatas kita. Seorang wirausahawan yang mudah bergaul, disenangi oleh masyarakat, sehingga memudahkannya bekerja sama dalam mencapai keberhasilan.

3. Penampilan baik

Pribadi yang baik dan jujur akan disenangi orang di mana – mana dan akan sukses bekerja sama dengan siap saja.

4. Yakin

Kita harus memiliki keyakinan diri, bahwa kita akan sukses melakukan suatu usaha, jangan ragu dan bimbang. Self confidence ini diimplentasikan dalam tindakan sehari – hari, melangkah pasti, tekun, sabar, tidak ragu – ragu.



5. Pandai membuat keputusan

Jika anda dihadapkan pada alternatif, harus memilih, maka buatlah pertimbangan yang matang. Kumpulkan berbagai informasi, boleh minta pendapat orang lain, setelah itu ambil keputusan, jangan ragu – ragu.

6. Mau menambah ilmu pengetahuan

Pendidikan ini bukan berarti harus masuk perguruan tinggi, melainkan pendidikan dalam bentuk kursus – kursus, penataran di kantor, membaca buku dsb.

7. Ambisi untuk maju

Orang – orang yang gigih dalam menghadapi pekerjaan dan tantangan, biasanya banyak berhasil dalam menghadapi pekerjaan dan tantangan, biasanya banyak berhasil dalam kehidupan. Apapun jenis pekerjaan yang dilakukan, profesi apapun yang dihadapi, kita harus mampumelihat ke depan dan berjuang untuk menggapai apa yang diidam – idamkan.

8. Pandai berkomunikasi

Pandai berkomunikasi berarti pandai mengorganisasi buah pikiran ke dalam bentuk ucapan – ucapan yang jelas, menggunakan tutur kata yang enak didengar, mampu menarik perhatian orang lain. Komunikasi yang baik, diikuti dengan perilaku jujur, konsisten dalam pembicaraan akan sangat membantu seseorang dalam mengembangkan karir masa depannya.

7
Etika Wirausaha


1. Gejala tidak jujur di masyarakat

Merosotnya rasa solidaritas, tanggung jawab social , dan tingkat kejujuran dikalangan kelompok bisnis dan anggota masyarakat, merupakan gejala umum, dan meruntuhkan teori – teori soliditas, likuiditas, bonafiditas, yang menyangkut kepercayan, bisa dipercaya dari segi moral, segi keuangan, tepat bila berjanji. Dalam dunia bisnis, semua orang tidak mengharapkan memperoleh perlakuan tidak jujur dari sesamanya.

Praktek manipulasi tidak akan terjadi jika dilandasi moral yang tinggi. Moral dan
tingkat kejujuran rendah akan menghancurkan tata nilai etika bisnis itu sendiri.

2. Pengertian etika

Etika ialah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral yang dilakukan seseorang. Keputusan etika ialah suatu hal yang benar mengenai perilaku standar. Etika bisnis mencakup hubungan antara perusahaan dengan orang yang menginvestasi uangnya dalam perusahaan, dengan konsumen, pegawai kreditur, saingan dan sebagainya. Orang – orang bisnis diharapkan bertindak etis dalam berbagai aktivitasnya di masayarakat.

3. Keuntungan menjaga etika

Menjaga etika adalah suatu hal yang sangat penting untuk melindungi reputasi
perusahaan. Masalah etika ini selalu dihadapi oleh para manajer dalam keseharian kegiatan bisnis, namun harus selalu dijaga terus menerus, sebab reputasi sebagai perusahaan yang etis tidak dibentuk dalam waktu pendek, tapi akan terbentuk dalam jangka panjang. Dan ini merupakan asset yang tak ternilai sebagai goodwill bagi sebuah perusahaan.

4. Konsumerisme

Konsumerisme adalah gerakan protes dari para konsumen atau masyarakat, karena perlakuan para pengusaha/wirausaha yang kurang baik dalam melayani konsumen. Artinya bahwa konsumerisme ialah suatu tindakan dari individu atau organisasi konsumen, lembaga pemerintah dan perusahaan sebagai jawaban ketidakpuasan yang diterima dalam hubungan dengan jual beli

Hak – hak konsumen :

- Hak untuk memilih, jangan hanya ditawarkan komoditi satu jenis saja, tanpa ada pilihan.
- Konsumen berhak memperoleh informasi dari produsen, terhadap barang yang akan dibeli, baik mengenai bahan, cara pemakaian, daya tahan, dsb.
- Jika ada keluhan konsumen, harus didengar. Jika ada tuntutan konsumen harus segera diperhatikan oleh produsen.
- Apabila konsumen menggunakan produk, harus dijaga keselamatan konsumen,jangan sampai barang yang telah dibeli membahayakan konsumen terutama dalam hal mainan anak – anak , atau obat.

5. Masalah polusi

Green Marketing adalah mendesain kegiatan marketing untuk melestarikan lingkungan, agar menimbulkan citra baik terhadap perusahaan. Usaha melestarikan lingkungan ini bisa berbentuk kegiatan menanam pepohonan dilingkungan perusahaan, mengolah air limbah sebelum dibuang ke selokan /sungai , memberi filter udara pada cerobong asap pabrik, mengurangi polusi tanah, dengan recycling atau mengolah kembali sampah yng dihasilkan pabrik dsb. Para pengusaha berkeyakinan bahwa kebijaksanaan green marketing yang dilancarkan oleh perusahaan , akan berpengaruh terhadap keputusan membeli konsumen terhadap suatu produk.


6. Budaya perusahaan

Untuk menanamkan kebiasaan baik pada karyawan, maka perlu dikembangkan budaya perusahaan dalam sebuah organisasi. Budaya Perusahaan ialah karakteristik suatu organisasi perusahaan yang mencakup pengalaman, cerita, kepercayaan dan norma –
norma bersama yang dianut oleh seluruh jajaran perusahaan. Jika pada sebuah perusahaan ada kebiasaan – kebiasaan yang kurang baik, ini harus cepat diubah.

Kemampuan mengubah budaya perusahaan merupakan kunci keberhasilan menyusun
dan melaksanakan strategi perusahaan untuk masa depan. Dalam hal ini, contoh atausuri tauladan dari unsur pimpinan sangat berpengaruh terhadap pembentukan budayaperusahaan. Oleh sebab itu pengembangan budaya perusahaan hrus dilakukan, karena sanga bermanfaat untuk : meningkatkan sense of identity, sense of belonging, komitmen bersama, stabilitas internal perusahaan, pengendalian sifat – sifat yang kurang baik, dan akhirnya akan menjadi pembeda satu perusahaan dengan perusahaan lain dan akhirnya akan menimbulkan citra tersendiri bagi kemajuan perusahaan.


Daftar Pustaka :
- Materi Kewirausahaan Kadin Sulawesi Selatan
- Kewirausahaan, Penerbit ALFABETA Bandung

Rabu, 19 Oktober 2011

KETIKA KPK MENJADI “SENJATA MAKAN TUAN”

Lahirnya KPK merupakan sebuah terobosan baru dalam penegakan hokum yang ada di Indonesia, pada hakikatnya lembaga ini dibentuk untuk menjerat para koruptor-koruptor tingkat menengah keatas, yang menggigit uang Negara hingga menyengsarakan orang banyak. Terbentuknya KPK memiliki dampak yang signifikan perihal mengenai korupsi yang dilakukakan kalangan tingkat elite, hingga beberapa petinggi bangsa ini menjadi mangsanya dan berhasil menjadi santapannya, dampak signifikan dalam dunia penegakan hokum ini mendapat simpatik dari masyarakat tentang hal tersebut, seiring dengan berjalanya waktu lembaga ini makin memperlihatkan eksistensinya sehingga dari simpatik itulah akhirnya public menaruh harapan besar bagi lembaga ini untuk mengawal problematika tindak pidana korupsi yang ada di negri ini.
Pada saat lembaga ini ingin menampakkan sebuah kesempurnaan dengan membidik mangsanya yang tidak lain merupakan tuannya yang telah menjadikan ia senjata pamungkas negri ini, hal ini membuat beberapa kalangan elite resah dan gelisa karna terusik dengan lembaga ini khususnya bidikan yang ingin di jadikan mangsanya. Olehnya itu dengan berbagai cara dan upaya secara perlahan eksistensi kpk mulai merosot dengan adanya beberapa kisruh yang melibatkan para petinggi kpk, yang kemungkinan besar menurut banyak kalangan merupakan sebuah scenario panjang yang dilakukan oleh beberapa oknum yang terusik dengan hal tersebut, sehingga mencari sela untuk bagaimana mengamankan diri dari.

Seiring dengan hal tersebut kepercayaan public terhadap kpk juga ikut merosot, banyak kalangan yang menilai dengan adanya berbagai kisruh yang terjadi di tubuh kpk membuat lembaga ini kehilangan giginya hingga tak bisa memakan mangsa yang kuat.
itulah Issue Pembubaran Kpk Yang Semaki Marak Dibicakan Akhir-Akhir Ini, Membuat Banyak Pihak Untuk Angkat Bicara Tentang Kontroversi Kpk Dimana Ketika Kpk Ingin Menjadi Sebuah Pedang Yang Tajam Yang Menebas Tanpa Pandang bulu sesuai dengan apa yang di peritahkan.

Senin, 10 Oktober 2011

relevansi pidana mati

PIDANA MATI
Perdebatan mengenai hukuman mati di Indonesia, sebenarnya adalah telah menjadi diskursus sosial yang panjang, terutama dalam bidang ilmu hukum. Pihak yang mendukung pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, menyatakan bahwa debat ini sudah selesai dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007 dan No. 21/PUU-V/2008 yang menyatakan bahwa pidana mati adalah konstitusional. Namun sebagai “anak hukum” kita sadar bahwa hukum positif (ius constitutum) adalah norma yang terikat dengan ruang dan waktu, sehingga hukum yang berlaku di masa lalu, bisa jadi tidak berlaku lagi di masa depan. Karena itu, diskusi ini nampaknya belum akan berakhir, belum, hingga hukuman mati benar-benar dihapus dari bumi pertiwi.
Hukuman Mati adalah….
Mengapa hukuman mati mendapat tempat perdebatan tersendiri, jauh melebihi jenis hukuman lain yang dikenal dalam sistem pemidanaan di dunia? Ya, itu karena sifatnya yang “unik”. Dilihat dari aspek sederhana dari Hak Asasi Manusia, hukuman mati mencabut aspek paling penting yang menyebabkan seseorang disebut manusia, yaitu “hidup”. Hukuman mati (capital punishment/ death penalty) adalah hukuman yang final dan irrevocable dalam artian terpidana tidak dapat dikembalikan lagi apabila di kemudian hari dinyatakan tidak bersalah. Sejak jaman dahulu pun, para sarjana telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hukuman mati. Seperti Cesare Beccaria dalam bukunya On Crimes and Punishment (1764) menyatakan, “Capital Punishment was both inhumane and ineffective; an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment.” Pernyataan ini dikuatkan kembali oleh Hakim Chaskalson dalam putusan kasus S vs Makwanyane (1995) yang menghapus hukuman mati dalam sistem hukum Afrika Selatan, berbunyi, ”Death is the most extreme form of punishment to which a convicted criminal can be subjected. Its execution is final and irrevocable. It puts an end not only the right to life itself, but to all other personal rights…” Gerakan menghapus hukuman mati di Indonesia bukannya tanpa argumen. Di bawah ini adalah alasan, mengapa hukuman mati tak pantas lagi diberlakukan di Indonesia.
Hukuman Mati Melanggar Hak Hidup
Alasan ini adalah alasan yang paling klasik (basi: red), namun hal ini tentu tak dapat dipungkiri bahwa hukuman mati mencabut hak individu untuk tetap dapat hidup. Masalahnya, apakah pencabutan hak untuk hidup diperkenankan? Undang-undang Dasar 1945 pasal 28A menyatakan bahwa ,”setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Lebih lanjut, pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan ,”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Konstitusi tertulis kita tersebut bahkan memiliki standar yang lebih tinggi terhadap hak untuk hidup dibanding dengan ICCPR article 6 (diratifikasi melalui UU No 12 tahun 2005) yang menyatakan bahwa “no one shall arbitrarily deprived of his life” atau “tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.” Bandingkan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Para pendukung hukuman mati tentu mengeluarkan “senjata” bahwa pembatasan HAM diatur di konstitusi, yaitu pasal 28J UUD 1945. Untuk pendapat ini, Prof Maria Farida dalam putusan MK No. 013/PUU-I/2003 berpendapat bahwa pembatasan hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh Pasal 28J ayat (1) tidak dapat diberlakukan pada hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, karena adanya frasa “dalam keadaan apapun.” Hal itu dikuatkan oleh pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, S.H ,”sebab jika ketujuh HAM yang tercantum dalam pasal 28I ayat (1) masih bisa diterobos oleh pembatasan yang dilakukan dalam Pasal 28J, berarti tidak ada lagi perbedaan antara ketujuh HAM itu dengan HAM lainnya.” Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 menempatkan hak untuk hidup sebagai hak asasi yang sangat penting (the supreme rights) yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable).

Efek Jera Hukuman Mati Dipertanyakan
Pertanyaannya bukanlah apakah hukuman mati menghasilkan efek jera (semua jenis hukuman menghasilkan efek jera tertentu), namun apakah hukuman mati menghasilkan efek jera (detterent effect) yang lebih tinggi daripada hukuman penjara dalam waktu lama atau bentuk hukuman berat lainnya. Apabila hukuman mati tidak menghasilkan efek jera yang lebih tinggi daripada hukuman penjara dalam waktu lama, maka tentu telah terjadi pengurangan yang “sewenang-wenang” terhadap hak untuk hidup. Secara logika, efek “ketakutan” yang ditimbulkan oleh hukuman mati mungkin masuk akal mengurangi tindak kejahatan, namun tidak terdapat fakta empiris maupun hasil riset yang mendukung logika tersebut, hasil riset justru menunjukkan sebaliknya. Murder rate (laju pembunuhan tiap 100.000 orang) di Amerika Serikat yang masih memberlakukan hukuman mati, mencapai tiga kali lipat dari laju pembunuhan di negara-negara Eropa, yang telah menghapus hukuman mati (British Home Office, 1997-1998). Di Amerika Serikat pun, murder rate di negara bagian yang telah menghapus hukuman mati, lebih rendah daripada di negara bagian yang masih memberlakukannya (Death Penalty Information Center, 2004). Untuk menerapkan hukuman mati yang sifatnya irrevocable, sudah selayaknya didasarkan pada data dan hasil riset yang mendalam (terutama mahasiswa UI: world class research university), tidaklah bertanggung jawab untuk mempertahankan hukuman mati dengan mendasarkan efektifitasnya pada spekulasi dan asumsi semata.

Hukuman Mati tak Sesuai dengan Filosofi Pemidanaan Indonesia
Pemberlakuan hukuman, termasuk hukuman mati, tidak dapat dilepaskan dari tujuan dan latar belakang penghukuman itu sendiri. Tujuan dan latar belakang pemidanaan tersebut tak lain tercakup dalam filosofi pemidanaan yang berlaku di suatu negara. Di Indonesia, filosofi ini tersirat dari cuplikan Putusan MK 013/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive) tidak lagi menjadi acuan dari sistem pemidanaan di negara ini yang lebih merujuk pada asas preventif dan edukatif. Dalam UU no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan tindak pidana, bukan justru Narapidana yang bersangkutan. Pendapat Prof. Dr Andi Hamzah, S.H dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia (dari Retribusi ke Reformasi) juga memperkuat argumen diatas, dimana tujuan yang berlaku sekarang ini adalah perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat dan perbaikan (reformasi) penjahat itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Dr. Todung Mulya Lubis yang menekankan rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana dalam filosofi pemidanaan Indonesia. Dihubungkan dengan hukuman mati, maka jelas bahwa hukuman mati adalah sanksi yang menitikberatkan pada “balas dendam”, dimana kejahatan dibalas dengan penghukuman yang setimpal (lex talionis: eye for an eye, tooth for tooth), yang mana dapat ditarik kesimpulan sudah tidak compatible dengan filosofi pemidanaan Indonesia saat ini.

Tren Internasional Penghapusan Hukuman Mati
Setiap negara berdaulat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk untuk memberlakukan hukuman mati. Meskipun begitu, perlu diketahui bahwa di dunia, saat ini, terdapat kecenderungan negara-negara untuk menghapuskan hukuman mati. Dari 197 negara atau teritori yang ada di dunia, 129 sudah tidak menerapkan hukuman mati. Dari 129 negara atau teritori tersebut, 88 di antaranya telah menghapus hukuman mati untuk semua jenis pidana secara eksplisit dalam peraturan perundangan (abolitionist for all crimes), 11 negara telah menghapus hukuman mati untuk pidana biasa (abolisionist for ordinary crimes only), dan 30 telah menghapus hukuman mati dalam praktik (abolisionist in practice). Dalam 25 tahun (1981-2006), negara yang tergolong abolisionist for all crimes meningkat dari 25 menjadi 88 negara. Peningkatan yang sangat signifikan, 300 persen. Hal ini berarti bahwa terdapat kesadaran internasional yang meluas bahwa hak untuk hidup adalah hak yang universal. Fakta ini seharusnya menjadi pertanda bahwa hukuman mati sudah mulai kehilangan eksistensinya di bumi ini.

Hukuman Mati akan Dihapuskan
Begitulah harapan dari para penentang hukuman mati di Indonesia, bahwa suatu saat hukuman mati akan dihapuskan, dan Indonesia bergabung dengan 129 negara lain yang terlebih dahulu menghapuskannya. Alasan-alasan diatas adalah senjata utamanya, belum lagi berbagai alasan yang tak sempat tersampaikan dalam tulisan ini. Penghapusan hukuman mati di Indonesia, memang tak hanya melibatkan aspek hukum, namun juga politik, sosial, bahkan agama. Oleh karena itu, langkah penghapusan tersebut masih akan panjang.
Hukuman mati yang dialamatkan kepada tibo cs masih menuai kontroversi sampai hari ini. eksekusi memang tinggal menghitung hari, namun perdebatan panjang layak tidaknya hukuman mati masih bergulir di kalangan masyarakat.
tidak sedikit pakar yang telah mengemukakan wacananya untuk menghapus penerapan pidana mati di indonesia. sebagian besar pakar tersebut mendasari argumentasinya dari perpektif kemanusiaan (ham) hingga perspektif hukum (positif) yang mengandung kerancuan di beberapa pasal.
pandangan hukum
perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari peraturan-peraturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. dalam tata urutan peraturan perundangan di indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. karena konstitusi dalam tata hukum indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus amandemen. pro kontra penerapan pidana hukuman mati di indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu, (1) bahwa hukuman mati tidak melanggar ham karena pelaku telah melanggar ham korban dan ham masyarakat. parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar ham dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana ham korban kejahatan itu di langgar. selanjutnya (2) hukuman mati dinilai melanggar ham karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada.
pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. karena itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. sehingga hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati. walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.
meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar konstitusi ri uud 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. pasal 28a uud ‘45 (amandemen kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
sementara itu pasal 28i ayat (1) uud ‘45 (amandemen kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
peninjauan ulang
atas dasar pertimbangan di atas, mau tidak mau, hukuman mati harus ditolak atau ditinjau kembali mengingat beberapa alasan yang meliputi; pertama, karakter reformasi hukum positif indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. kasus hukuman mati sengkon dan karta yang lampau di indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.
kedua, dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. kajian pbb tentang hubungan hukuman mati (capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.
ketiga, meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.
keempat, hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat ham dengan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis bahkan dituntut hukuman mati.
kelima, penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum indonesia yang kontradiktif. salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif indonesia. padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. pasal 28i ayat (1) uud ‘45 (amandemen kedua) adalah bukti kongkret argumentasi ini.
keenam, sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. pemerintah ri sering mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah arab saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada para wni-nya di luar negeri, seperti pada kasus kartini, seorang tkw, dengan alasan kemanusiaan. namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati terhadap wni dan wna di dalam negeri ri.
Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia. Dari pendekatan historis dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan. Dalam perkembangannya teori ini mengalami perubahan yang signifikan. Pemidanaan tidak lagi ditujukan pada efek jera akan tetapi lebih kepada rehabilitasi terhadap terpidana, yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat. Bagaimana dengan pidana mati itu sendiri?
Kontroversi pidana mati di Indonesia mengemuka terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden di tahun 2003 yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada dua mainstream wacana yang berhadap-hadapan dalam perdebatan tersebut yakni yang setuju terhadap pidana mati dan pada pihak lain tidak setuju terhadap pidana mati.
Secara singkat pihak yang setuju berargumentasi bahwa pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum posistif Indonesia. Pihak yang tidak setuju menyatakan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD 45 yang mengutip pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable human right).
Jika menggunakan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera akan muncul pertanyaan penting apakah betul dengan adanya pidana mati dapat dikurangi angka kejahatan? Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara pidana mati dan penurunan angka kejahatan. Bila ada yang berpendapat pidana mati bisa menimbulkan efek jera, hal itu tidak benar. Di Inggris dua ratus tahun yang lalu, para pencopet selalu dipidana mati dengan cara digantung di lapangan terbuka di depan publik. Ironisnya saat pelaksanaan pidana mati tersebut berlangsung para pencopet justru beraksi.
Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati misalnya dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi UU.
Dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa berharap sebuah keputusan yang adil dalam dunia peradilan yang masih korup. Tampaknya tidak arif kalau kita menyerahkan wewenang yang begitu besar yang menyangkut nyawa seseorang terhadap lembaga peradilan masih korup.
Perlu dicatat sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati, maka sepanjang itu pula penjatuhan pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati.
Dalam RUU KUHP baru, mengandung pemikiran “reformasi” tentang pidana mati yang menetapkan sebagai (1) “pidana khusus” (2) “pidana mati percobaan” (3) kalau 10 tahun tidak dilaksanakan, maka “otomatis” menjadi seumur hidup. Rumusan KUHP ini sudah cukup terlihat mengakomodir perdebatan tentang pidana mati, ada baiknya hal ini dapat “ditiru” oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang mencantumkan ancaman pidana mati.
Tampaknya mustahil kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang-undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana mati. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar.

PENGAWASAN KEBIJAKAN DPRD


Oleh :
KELOMPOK VII
SAMSUL RIJAL
SUFRIAMAN
SURYANI
SYASRONI
ILMU HUKUM 2
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN ALAUDDIN MAKASSAR













BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigm pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai Kota/Kabupaten ataupun provinsi banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku.
Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di Negara kita. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini.
B.Rumusan Masalah
1.Menjelaskan Implementasi Peran dan Fungsi DPRD!
2.optimalisasi fungsi DPRD dalam pengawasan kepada pemerintah?


BAB II
PEMBAHASAN

DPRD adalah Lembaga Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk di setiap propinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legilsatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungannya dengan Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyeburkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU, dan Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda), baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah.
Oleh karena itu, sesungguhnya DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, berdasarkan ketentuan UU No.22/1999 berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.

Fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No.22/1999, Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah.
Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwa sebenarnya, lembaga parlemen itu adalah lembaga politik, dan karena itu pertama-tama haruslah dipahami sebagai lembaga politik. Sifatnya sebagai lembaga politik itu tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan, sedangkan fungsi legislasi lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak membutuhkan prasyarat-prasyarat dan dukungan-dukungan yang teknis pula. Sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggota parlemen itu adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis daripada politis. Meskipun seseorang bergelar Prof. Dr. jika yang bersangkutan tidak dipercaya oleh rakyat, ia tidak bisa menjadi anggota parlemen. Tetapi, sebaliknya, meskipun seseorang tidak tamat sekolah dasar, tetapi ia mendapat kepercayaan dari rakyat, maka yang bersangkutan paling ‘legitimate’ untuk menjadi anggota parlemen.
Sesuai fungsinya sebagai lembaga pengawasan politik yang kedudukannya sederajat dengan pemerintah setempat, maka DPRD juga diberi hak untuk melakukan amandemen dan apabila perlu menolak sama sekali rancangan yang diajukan oleh pemerintah itu. Bahkan DPRD juga diberi hak untuk mengambil inisiatif sendiri guna merancang dan mengajukan rancangan sendiri kepada pemerintah (Gubenur atau Bupati/Walikota).
Dengan demikian, semestinya semua anggota DPRD propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan perannya sebagai wakil rakyat yang secara aktif mengawasi jalannya pemerintahan di daerah masing-masing dengan sebaik-baiknya. Instrumen yang dapat digunakan untuk itu adalah segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rencana anggaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Sudah tentu untuk melaksanakan fungsi-fungsi DPRD, termasuk fungsi legislasi dan fungsi anggaran, setiap anggota DPR perlu menghimpun dukungan informasi dan keahlian dari para pakar di bidangnya. Informasi dan kepakaran itu, banyak tersedia dalam masyarakat yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat banyak. Apabila mungkin, setiap anggota DPR juga dapat mengangkat seseorang ataupun beberapa orang asisten ahli untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Jika belum mungkin, ada baiknya para anggota DPRD itu menjalin hubungan yang akrab dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat, dengan tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa di daerahnya masing-masing, dan bahkan dari semua kalangan seperti pengusaha, kaum cendekiawan, tokoh agama, tokoh budayawan dan seniman, dan sebagainya. Dari mereka itu, bukan saja dukungan moril yang dapat diperoleh, tetapi juga informasi dan pemahaman mengenai realitas yang hidup dalam masyarakat yang kita wakili sebagai anggota DPRD. Atas dasar semua itu, setiap anggota DPRD dapat secara mandiri menyuarakan kepentingan rakyat yang mereka wakili, sehingga rakyat pemilih dapat benar-benar merasakan adanya manfaat memberikan dukungan kepada para wakil rakyat untuk duduk menjadi anggota DPRD.

Kemitraan DPRD dengan Eksekutif
Pilkada langsung telah memberikan warna yang berbeda terhadap pola hubungan kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan kepada daerah disebabkan adanya perubahan yang mendasar pada sistem pemilihan dan pertanggungjawaban seorang kepala daerah. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004, kepala daerah tidak lagi dipilih dan juga tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat, serta pertanggungjawaban diberikan kepada pemerintah dan publik. Berbeda dengan Undang-Undang 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada DPRD untuk menentukan nasib seorang kepala daerah dalam perjalanan kariernya.
Kewenangan besar yang dimiliki DPRD pada masa 1999-2004 sayangnya tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, bahkan menimbulkan ekses yang berkepanjangan, hingga saat ini masih banyak kasus diungkap pihak penegak hukum berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang. Semangat otonomi daerah yang dikembangkan Undang-undang No 22 Tahun 1999 hanya berusia tiga tahun saja. Pengalaman yang kurang baik tersebut menjadi pendorong lahirnya Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yang penekanannya mengarah kepada pilkada langsung, yang titik berat pertanggungjawaban kepala daerah tampaknya ditarik kembali ke pusat. Apakah ini menandakan akan bergeser semangat desentralisasi kepada sentralisasi kembali? Tidak mudah untuk menjawab hal tersebut karena kita masih harus melihat praktik di lapangan aktivitas-aktivitas yang merupakan representasi adanya perubahan tersebut, misanya apakah pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap eksekutif akan lebih produktif sehingga pemerintah daerah benar dalam menjalankan fungsi-fungsi eksekutifnya, walaupun sampai saat ini masih menyisakan pertanyaan mendasar mengenai mekanisme dan bentuk pertanggungjawabannya. Selain itu pasal 27 ayat 2 Undang-undang 32 tahun 2004 menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut hanya sebatas "menginformasikan" saja. Sejauh mana respons masyarakat memengaruhi kinerja dan karier kepala daerah, belum ada kejelasan.
Kenyataan seperti ini, berimbas pada pola hubungan yang terjadi antara DPRD dengan kepala daerah. Pasal 19 ayat 2 undang-undang ini mengatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD, kemudian pada pasal 40 ditegaskan bahwa DPRD berkedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, yang bersama-sama dengan kepala daerah membentuk dan membahas Perda dan APBD (pasal 42 ayat 1 huruf a.,b.) Melihat konteks seperti ini, maka pola hubungan yang dikembangkan adalah kemitraan atau partnership. Dalam pola hubungan seperti ini, DPRD tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, dan sebaliknya kepala daerah tidak memiliki akses untuk membubarkan DPRD.
Hubungan kemitraan pada realisasinya tidak hanya didasarkan pada peraturan-peraturan perundangan semata akan tetapi juga mengacu pada nilai dan budaya yang berkembang dalam masyarakat lokal, sehinga dapat dijalin hubungan yang harmonis, saling menghargai, menghormati dan transparans tanpa harus mengorbankan sikap kritis dan sensitif dari DPRD. Pengalaman yang lalu dapat diambil sebagai pelajaran, hubungan kemitraan yang kebablasan, khususnya dalam hal penyusunan APBD yang terkesan mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok harus dihindarkan. Ada harapan dengan Undang-undang 32 tahun 2004 dikembangkan sikap kemitraan dengan dikawal oleh penegakkan hukum terhadap praktik-praktik KKN di daerah.
Penjabaran dari hubungan yang harmonis harus ditempatkan pada relnya masing-masing. Khusus untuk DPRD, undang-undang memberikan tiga fungsi pokok yaitu : Fungsi Legislasi, anggaran dan pengawasan (pasal 41). Sedangkan kepala daerah memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD (pasal 25, huruf a).
Kepala daerah dalam kedudukannya sebagai kepala eksekutif, selain menguasai APBD juga dilengkapi perangkat yang cukup memadai, baik berupa biro (di provinsi), dinas-dinas daerah (di Kota/kabupaten) maupun lembaga teknis yang kesemuanya merupakan unsur pelaksana. Karena tugasnya yang bersifat administratif dan rutin, maka para unsur pelaksana ini pada umumnya memiliki skill dan wawasan yang memadai di bidangnya masing-masing. Persoalan muncul ketika DPRD sebagai lembaga politik menghadapi para birokrat daerah ini, karena masih ada anggota DPRD yang kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai, selain itu seringkali kurang diback up data atau informasi yang akurat. Disamping itu, berdasarkan penelitian beberapa lembaga, antara lain LIPI dan LAN, dalam era reformasi ini, pada umumnya pelaksanaan fungsi DPRD Kabupaten/Kota masih mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut :
Fungsi legislasi : (1) sebagian besar inisiatif Peraturan Daerah (Perda) datang dari Eksekutif; (2) kualitas Perda masih belum optimal, karena kurang mempertimbangkan dampak ekonomis, sosial dan politis secara mendalam; (3) kurangnya pemahaman terhadap permasalahan daerah.
Fungsi anggaran : (1) belum memahami sepenuhnya sistem anggaran kinerja; (2) belum cukup menggali aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif; (3) kurangnya pemahaman terhadap potensi daerah untuk pengembangan ekonomi lokal.
Fungsi pengawasan : (1) belum jelasnya kriteria untuk mengevaluasi kinerja Eksekutif, karena Daerah belum sepenuhnya menerapkan anggaran kinerja dengan indikator keberhasilan yang jelas; (2) hal tersebut mengakibatkan penilaian yang subjektif; (3) terkadang pengawasan berlebihan dan/atau KKN dengan Eksekutif.
Agar dapat mengimbangi gerak langkah kepala daerah dan unsur pelaksananya, terutama untuk memberikan kinerja yang lebih baik dalam mengembangkan pola hubungan kemitraan ini maka anggota dewan sebagai legislator harus lebih memperkuat fungsinya. Harapannya secara strategis akan terjalin komunikasi politik yang tidak hanya tergantung pada isu maupun insting politik semata tetapi juga terbangun komunikasi model rasional yang mengedepankan pendekatan kognitif berbasis data. Hal tersebut bisa dibangun melalui cara sebagai berikut;
1. Meningkatkan kemampuan legal drafting,
Fungsi legislasi dijalankan DPRD dalam bentuk pembuatan kebijakan bersama-sama dengan kepala daerah, apakah itu dalam bentuk peraturan daerah atau rencana strategis lainnya. Sebagai unsur pemerintahan daerah, DPRD tidak hanya membuat peraturan daerah bersama-sama dengan eksekutif akan tetapi juga mengawasi pelaksanaannya. Untuk menjaga adanya kemitraan yang seimbang, maka anggota dewan perlu memahami dan menguasai kemampuan legal drafting. Hal ini penting karena pada umumnya di pihak eksekutif kemampuan seperti ini telah terorganisasi dan terbina dengan baik dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dari waktu ke waktu.
2. Menyiapkan backing staff dan penguasaan public finance,
Fungsi budgeting merupakan fungsi DPRD yang berkaitan dengan penetapan dan pengawasan penggunaan keuangan daerah. Dalam pelaksanaan fungsi ini, DPRD perlu memikirkan adanya backing staff (staf ahli) dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan public finance. Backing staff ini memiliki arti penting sebagai penyuplai informasi yang akurat yang sangat dibutuhkan anggota dewan dalam merumuskan kebijakan bersama-sama kepala daerah, sedangkan pemahaman public finance perlu terus dikembangkan mengikuti penerapan sistem keuangan pemerintah yang terus berubah.
Fungsi budgeting ini merupakan fungsi yang sensitif dan disinilah biasanya sumber terjadinya perkeliruan dan penyalahgunaan keuangan daerah yang melibatkan kedua unsur pemerintahan daerah tersebut. Kinerja DPRD sangat diharapkan disini dan bersifat strategis karena memiliki hubungan yang signifikan dengan usaha menciptakan clean governance.
3. Mengembangkan prosedur dan teknik-teknik pengawasan,
Pengawasan yang dilakukan DPRD adalah pengawasan politik bukan pengawasan teknis. Untuk itu DPRD dilengkapi dengan beberapa hak, antara lain hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Dengan hak interpelasi maka DPRD dapat meminta keterangan dari kepala daerah tentang kebijakan yang meresahkan dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Hak angket dilakukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dari kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak menyatakan pendapat fungsinya berbeda dengan mosi tidak percaya, karena tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, tetapi hanya berupa pengusulan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Bisa jadi kepala daerah yang bermasalah di tingkat lokal, akan tetapi karena kemampuannya melobi pemerintah di jakarta, yang bersangkutan dapat terus bertahan. Dalam hal seperti ini maka nampak sistem sentralistis kembali berperan.
Fungsi pengawasan DPRD perlu terus dikembangkan baik model maupun tekniknya, karena dengan keberhasilan fungsi ini akan memberikan kredibilitas yang tinggi kepada DPRD. Dapat dipikirkan pula apakah pengawasan akan masuk pada soal-soal administratif, seperti mengawasi projek-projek pembangunan atau pengawasan terhadap daftar anggaran satuan kerja (DASK) yang merupakan kompetensi Bawasda, atau paling tidak DPRD memiliki akses kepada hasil pengawasan Bawasda, tetapi hal inipun harus dipertimbangkan dengan baik, mengingat Bawasda selama ini merupakan bagian dari Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang user-nya adalah kepala daerah.
Sekiranya upaya-upaya penguatan fungsi legislatif tersebut dapat dilaksanakan dengan konsisten dan terprogram, dapat diharapkan adanya peningkatan performance DPRD. Kedepan hal ini merupakan tuntutan mengingat Undang-undang No. 32 tahun 2004 menempatkan DPRD dan kepala daerah sebagai dua unsur pemerintahan daerah yang memiliki hubungan kemitraan yang menuntut adanya kesejajaran dalam kualitas kerja.

DAFTAR PUSTAKA

H.A. Kartiwa, Good Local Governance : Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (makalah), 2006.

Indra Perwira, Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD, KPK Jakarta, 2006.

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.

Materi Lokakarya Peningkatan Peran Anggota DPRD, diselenggarakan oleh KPK, Jakarta, 7-8 Juni 2006.

Yusuf Anwar, Good Governance dalam Rangka Optimalisasi Fungsi dan Peran DPRD, KPK, Jakarta 2006.

Undang-undang Dasar 1945 Amandemen.

syamsul rijal lengu: Hukum

syamsul rijal lengu: Hukum

Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Antara Delik dan Sanksi dalam Persfektif Hukum Islam.

A. Pengertian Delik (jarimah) dan Sanksi (al-Uqubah).
Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau larangan-larangan syara’. Adapun jarimah (tindak pidana) menurut pendapat al-Mawardi yakni segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Selanjutnya adapun sanksi (al-Uqubah) adalah hukuman terhadap perbuatan seorang mukallaf yang telah melanggar ketentuan syara’ atau ketentuan hukum islam.
Dari pengertian delik dan sanksi diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa antara jarimah dan sanksi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jadi antara delik dan sanksi merupakan satu kesatuan, dimana delik adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan sanksi adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang pada dasarnya melanggar ketentuan-ketentuan syara’.
B. Hubungan Sebab Akibat (kausalitas) Antara Delik dan Sanksi dalam Persfektif Hukum Islam.
Pada dasarnya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara Delik dan Saksi dalam persfektif hukum islam sangat relevan karena tidak mungkin sanksi itu ada tanpa adanya delik. Dalam artian seseorang baru dapat dikenakan sanksi ketika ia melakukan delik (jarimah), karena tidak mungkin ada akibat tanpa ada sebab. Jadi hubungan sebab akibat antara delik dan sanksi dapat dilihat dari ada atau tidaknya suatu delik, sebab seseorang yang melakukan delik itu sendirilah yang kemudian dikenakan sanksi dalam hukum pidana islam.
Adapun contoh jarimah (tindak pidana) yang disertai hubungan sebab akibat antara delik dan sanksi dalam hukum pidana islam adalah sebagai berikut:
1. Orang yang melakukan delik (jarimah) perampokan atau (hirabah), maka ia dikenakan sanksi berupa pidana mati. Hubungan sebab akibatnya adalah karena ia melakukan delik perampokan akibatnya dia dikenakan sanksi berupa pidana mati. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS al-Maidah ayat 33 mengenai sanksi berupa pidana mati.
2. Orang yang melakukan delik (jarimah) pencurian, maka ia dikenakan sanksi yakni berupa potong tangan. Adapun hubungan sebab akibatnya, yakni dikenakan sanksi berupa potong tangan karena telah melakukan tindak pidana pencurian. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS al-Maidah ayat 38 mengenai sanksi berupa potong tangan.
3. Orang yang melakukan zina, maka ia dikenakan sanksi berupa jilid seratus kali. Adapun hubungan sebab akibatnya karena telah melakukan zina, maka ia dikenakan sanksi berupa jilid sebanyak seratus kali. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS an-Nur ayat 2 mengenai sanksi jilid sebanyak seratus kali. Selanjutnya dalam QS an-Nisa ayat 15-16 mengenai sanksi berupa kurungan atau tahanan didalam rumah sampai mati dan dicaci maki yang berlaku pada permulaan islam.
4. Bagi orang yang menuduh zina (qadzaf), maka akibat hukumnya adalah ia dikenakan sanksi berupa hukuman dera sebanyak delapan puluh kali. Adapun hubungan sebab akibatnya yakni dikenakan sanksi berupa hukuman dera karena telah melakukan zina dan menuduh zina. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS an-Nur ayat 23 mengenai sanksi berupa hukuman dera.
Dari contoh jarimah (tindak pidana) beserta hubungan sebab akibat antara delik dan sanksi diatas dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan yang melanggar ketentuan syara’ masing-masing memiliki sanksi seperti terlihat pada contoh diatas yang disertai dengan landasan hukumnya.


















DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. fiqih Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam).
Jakarta:PT RajaGrafindo, 2000.



Minggu, 03 Juli 2011

SEJARAH DESA TAMALATE

Desa tamalate merupakan salah salah satu desa dari delapan desa yang ada di keamatan galesong utara kabupaten takalar, desa tamalate terdiri dari enam dusun yakni dusun soreang, bonto tangnga, tamalate, sampulungan caddi, sampulungan lompo, dan sampulungan beru. desa tamalate sebelumnya memiliki dua unsur pemerintahan yaitu lo’mo sampulungan dan gallarrang soreang, dimana pada saat itu lo’mo sampulungan dipimpin oleh Jaelani Daeng Ngitung, Hamja Daeng Gassing, dan Hasan Basri Daeng Pasolong sedangkan Gallarrang Soreang dipimpin oleh Sulaemana, Hasan Lulung, H. Nanggong Daeng Nguju, dan Patahuddin Daeng Lesang.

Seiring dengan berjalannya waktu maka pada tahun 1966 dua unsur pemerintahan ini akhirnya memiliki satu konsep kesefahaman yang melahirkan sebuah kesepakatan bahwa unsur pemerintahan lo’mo sampulungan dan gallarrang soreang tersebut digabungkan menjadi satu sehingga lahirlah yang namanya Desa Tamalate dan terbentuklah sebuah tatanan pemerintahan yang baru dari penggabungan tersebut.

Desa tamalate Dulunya terdiri atas empat dusun yaitu Soreang, Bonto Tangnga, Tamalate, dan Sampulungan Lompo dimana pada saat itu dusun sampulungan caddi bergabung dengan Dusun Tamalate dan Dusun Sampulungan Beru bergabung dengan dusun Sampulungan Lompo. Kepala Desa Tamalate pertama pada saat itu di pimpin oleh H. Rajab Daeng Sikki, dimana masa kepeminpinan tersebut bertahan sampai dua periode (1966-1982), setelah pemerintaha H. Rajab Daeng Sikki maka kemudian Syamsuddin Gassing menjadi Kepala Desa yang kedua pada tahun 1982, pada saat itu pemerintahan ini hanya bertahan selama dua tahun (1982-9184), dan pada setalah pemerintahan Syamsuddin gassing maka pemerintahan tersebut di pimpin ileh H.syamsuddin Daeng Beta pada tahun 1984-2002 dan sepanjang sejarah desa tamalate pemerintahan ini merupakan pemerintahan yang bertahan cukup lama karna bertahan sampai tiga periode yakni delapan belas tahun lamanya. Kemudian pada tahun 2002 desa tamalate dipimpin oleh M. Tahir Bostan selama satu periode (2002-2007).

Pada tahun 2007 sampai sekarang desa tamalate dipimpin oleh Supriadi Sitonra, S.I.P., dimana pada saat pemerintahan ini terjadi pemekaran dusun dari empat dusun menjadi enam dusun yaitu dusun soreang, bonto tangnga, tamalate sampulungan caddi, sampulungan lompo dan sampulngan beru.

Desa tamalate selain sebagai desa yang memiliki potensi kelautan, pertanian, juga merupakan desa niaga seiring dengan perkembangan desa tamalate merupakan salah satu desa yang dimininati banyak investor hal ini terbukti dengan adanya beberapa investor yang telah membuat berbagai macam jenis usaha, dan beranjak dari hal tersebut desa tamalate juga merupakan desa yang memiliki penduduk terpadat di Kabupaten takalar.

Narasumber
1. Hasan Basri Daeng Pasolong
2. Basir Bundu
3. Mahfani Daeng Gassing

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : 1. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan;
2. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;
3. bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum;
4. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat;
5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Advokat.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316);
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327);
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713);
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778);
11. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
3. Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.
4. Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.
5. Pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk menjaga agar dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur profesi Advokat.
6. Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya ataupun kaitannya dengan organisasi profesi.
7. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien.
8. Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu.
10. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hukum dan perundang-undangan.

BAB II
PENGANGKATAN, SUMPAH, STATUS, PENINDAKAN, DAN
PEMBERHENTIAN ADVOKAT
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 2
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
(2) Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(3) Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
Pasal 3
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. warga negara Republik Indonesia;
2. bertempat tinggal di Indonesia;
3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Sumpah
Pasal 4
1. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
• bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
• bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
• bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
• bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
3. Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.

Bagian Ketiga

Status

Pasal 5
(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Bagian Keempat
Penindakan
Pasal 6
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
1. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
2. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
3. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
4. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
5. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;
6. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Pasal 7
1. Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
1. teguran lisan;
2. teguran tertulis;
3. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
4. pemberhentian tetap dari profesinya.
2. Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
3. Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
Pasal 8
1. Penindakan terhadap Advokat dengan jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai dengan kode etik profesi Advokat.
2. Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c atau pemberhentian tetap dalam huruf d, Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah Agung.

Bagian Kelima

Pemberhentian

Pasal 9
(1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.
(2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
Pasal 10
(1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
1. permohonan sendiri;
2. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau
3. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
(2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.
Pasal 11
Dalam hal Advokat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Organisasi Advokat.

BAB III
PENGAWASAN
Pasal 12
1. Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13
1. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat.
2. Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT
Pasal 14
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Pasal 17
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 19
1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 20
1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
3. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.
BAB V
HONORARIUM
Pasal 21
1. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
2. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
BAB VI
BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA
Pasal 22
1. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
ADVOKAT ASING
Pasal 23
1. Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.
2. Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat.
3. Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.
4. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 24
Advokat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tunduk kepada kode etik Advokat Indonesia dan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
ATRIBUT
Pasal 25
Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT
Pasal 26
1. Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat.
2. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
3. Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
4. Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
5. Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
6. Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana.
7. Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Pasal 27
1. Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
2. Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.
3. Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat.
4. Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk majelis yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.
BAB X
ORGANISASI ADVOKAT
Pasal 28
1. Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.
2. Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
3. Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
Pasal 29
1. Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi para anggotanya.
2. Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota.
3. Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
4. Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
5. Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon Advokat yang akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g.
6. Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang melakukan magang.
Pasal 30
1. Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi Advokat adalah yang diangkat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
1. Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Pengangkatan sebagai pengacara praktik yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
4. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk.
Pasal 33
Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini.
Pasal 35
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya;
2. Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8);
3. Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 Nomor 446 jo. Stb. 1922 Nomor 523); dan
4. Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 Nomor 522);
5. dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 36
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah Sah
pada tanggal 5 April 2003

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin ber-kembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan, peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-undang ini masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522).
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang ini sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat
sebagai advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat tinggal dimanapun.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” dan “pejabat negara”, adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan “pejabat negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari:
1. Pegawai Negeri Sipil;
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa Pejabat Negara terdiri dari:
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
5. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
6. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
7. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;
8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
9. Gubernur dan Wakil Gubernur;
10. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
11. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini.
Huruf g
Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat.
Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 14.
Ayat (2)
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi Advokat baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum, di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penegak hukum lainnya” adalah Pengadilan Tinggi untuk semua lingkungan peradilan, Kejaksaan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Advokat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Advokat.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat tersebut dengan kantornya.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan resiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” antara lain ahli agama dan/atau ahli etika.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pengurus partai politik.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.