tag:blogger.com,1999:blog-12252351742662521212024-03-13T08:13:36.567-07:00syamsul rijal lenguThe best collectionsyamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-86342147091923521552012-04-11T08:42:00.000-07:002012-04-11T08:42:08.451-07:00SK FORUM DESA SIAGAPEMERINTAH KABUPATEN TAKALAR<br />
KECAMATAN GALESONG UTARA<br />
DESA SAMPULUNGAN<br />
<br />
<br />
KEPUTUSAN KEPALA DESA SAMPULUNGAN<br />
NOMOR : KEP-06/DS/III/2012<br />
<br />
TENTANG<br />
<br />
FORUM DESA SIAGA DESA SAMPULUNGAN<br />
KECAMATAN GALESONG UTARA KABUPATEN TAKALAR<br />
<br />
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA <br />
KEPALA DESA SAMPULUNGAN<br />
<br />
<br />
Menimbang : a. Bahwa untuk mewujudkan visi pembangunan kesehatan melalui upaya peningkatan lingkungan sehat, perilaku hidup bersih dan sehat Desa Sampulungan, perlu adanya kerja sama, dukungan dan peran serta dalam wadah forum perwakilan masyarakat yang peduli terhadap program-program kesehatan dalam hal ini Forum Desa Siaga Desa Sampulungan;<br />
b. Bahwa untuk maksud tersebut poin “a” perlu ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa Sampulungan.<br />
<br />
Mengingat : 1. Amamndemen UUD 1945 Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia;<br />
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Hak dan Kewajiban warga Negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan Kesehatan;<br />
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang perlindungan konsumen;<br />
4. Undang-undang Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor : 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4438);<br />
5. Keputusan Menteri Kesehatan No:564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang pedoman pelaksanaan pengembangan Desa Siaga;<br />
6. Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 1747 Tahun 2000 tentang pedoman standar pelayanan minimal dalam kbidang kesehatan di Kabupaten Takalar;<br />
<br />
Memperhatikan : Hasil Musyawarah Masyarakat Desa (MMD), Pembentukan Pengurus Desa Siaga Desa Sampulungan Pada Hari Sabtu tanggal 24 Maret 2012 bertempat di Masjid Nurul jihad Sampulungan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
M E M U T U S K A N<br />
<br />
Menetapkan : 1. Keputusan Kepala Desa tentang Forum Desa Siaga;<br />
2. Mengangkat yang namanya disebut dalam lampiran Surat Keputusan ini sebagai pengurus Forum Desa Siaga Periode 2012-2015;<br />
3. Keputusan ini dinyatakan berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan maka diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.<br />
<br />
<br />
<br />
Ditetapkan di : S a m p u l u n g a n<br />
Pada Tanggal : 28 Maret 2012<br />
<br />
Kepala Desa Sampulungan,<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dra. Hj. NURHAEDAH<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Tembusan :<br />
Disampaikan kepada Yth;<br />
1. Camat Galesong Utara di Bontolebang;<br />
2. Kepala Puskesmas Galesong Utara;<br />
3. Ketua BPD Desa Sampulungan;<br />
4. Yang Bersangkutan;<br />
5. Pertinggal,-<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
LAMPIRAN : KEPUTUSAN KEPALA DESA SAMPULUNGAN<br />
Nomor : Kep-06/DS/III/2012<br />
Tentang : PENGURUS FORUM DESA SIAGA PERIODE 2012-2015<br />
<br />
<br />
1. Penasehat : 1. Camat Galesong Utara<br />
2. Kepala Puskesmas Galesong Utara<br />
3. Dewan Kesehatan Galesong Utara<br />
<br />
2. <br />
a. Ketua<br />
b. Sekretaris<br />
c. Bendahara <br />
d. Koord. Kader Pemberdayaan dan Gotong Royong<br />
e. Koord. Kader Pengamatan / Surveilans<br />
f. Koord. Kader Pelayanan Kesehatan<br />
g. Koord. Kader Pembiayaan Kesehatan<br />
h. Bidang Kesehatan dasar<br />
1. Koordinator<br />
2. KIA<br />
3. Gizi<br />
4. Pencegahan penyakit<br />
i. Bidang Pemberdayaan<br />
1. Koordinator<br />
2. UKBM<br />
3. JPK<br />
4. PHBS<br />
j. Bidang Lingkungan Sehat<br />
1. Koordinator<br />
2. Rumah Sehat<br />
3. Jamban Keluarga<br />
4. Pengelolaan Sampah <br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
<br />
:<br />
:<br />
:<br />
:<br />
<br />
Kepala Desa Sampulungan<br />
Sekretaris Desa Sampulungan<br />
Darmawati<br />
Hendrik Nur, S.Si<br />
Faharuddin, Amd.Kep.<br />
Abd. Asis, S.Kep.<br />
Diana Ngai<br />
<br />
Bidan Desa<br />
Nurbaya<br />
Yuliawati<br />
Zulfikar<br />
<br />
M. Azwar, S.IKom.<br />
Hasmawati<br />
Muh. Ikhwan Nur<br />
Mustafa Liwang<br />
<br />
Bakkara Dg. Bombong<br />
Ria Rezkiani, Amd. Farm.<br />
Hj. Ratnawati<br />
Jumasiah<br />
<br />
Ditetapkan di : S a m p u l u n g a n<br />
Pada Tanggal : 28 Maret 2012<br />
<br />
Kepala Desa Sampulungan,<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dra. Hj. NURHAEDAHsyamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0Takalar, Indonesia-5.4162493 119.48756679999997-5.6193082999999993 119.28976079999997 -5.2131903 119.68537279999997tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-18101266690010488612012-04-11T08:34:00.000-07:002012-04-11T08:34:52.025-07:00PROPOSAL KULIAH KERJA NYATA (KKN)BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
<br />
I.1. Latar Belakang<br />
Mahasiswa adalah bagian dari masyarakat intelektual yang ada dinegeri ini, diharapkan mampu memberi andil dalam pembangunan bangsa dan Negara. Pembangunan,disektor fisik yang terus malaju seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diimbangi dengan kemajuan masyarakat pada aspek nonfisik. Sejauh ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masih menyisakan ketertinggalan masyarakat pada aspek nonfisik. Dunia pendidikan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan masih jauh manjadi problem klasik yang butuh penanganan serius . <br />
Kegiatan Kuliah Kerja Nyata adalah suatu bentuk pendidikan dengan cara memberikan pengalaman empiris kepada mahasiswa untuk hidup ditengah-tengah masyarakat di luar kampus, dan secara langsung megajarkan kepada mahasiswa cara identifikasi masalah-masalah sosial kerakyata. Kuliah kerja nyata secara langsung akan menunjukan keterkaitan langsung antara dunia pendidikan dan upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat. <br />
Beberapa aspek yang diperhatikan dalam pelaksanaan kuliah kerja nyata adalah yang pertama keterpaduan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi yang berupa pengajaran, penelitan, dan pengabdian pada masyarakat. Yang ke dua adalah pendekatan interdisipliner dan komprehensif yang artinya KKN bertolak dari permasalahan nyata masyarakat yang didekati menggunakan segala ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang susah, sedang, dan atau akan dipelajari. Yang ketiga adalah lintas sektoral, yang keempat dimensi dan luas dan pragmatis, yang kelima adalah ketelibatan masyarakat secara aktif, yang keenam adalah keberlanjutan dan pengembangan, dan yang ketujuh adalah bertumpu pada sumber daya lokal. <br />
Dengan demikian pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata ini diharapkan mampu untuk mengikuti derap langkah pembangunan yang semakin dinamis untuk meningkatkan sumber daya manusia baik bagi mahasiswa maupun bagi masyarakat dalam pemamfaatan dan pengolahan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kuliah Kerja Nyara sebagai suatu studi yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat guna mengimplementasikan keilmuan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu yang untuk selanjutnya dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat.<br />
<br />
I.2. Tujuan Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata<br />
Tujuan dari pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata sebagai berikut:<br />
a. Sebagai wujud dari oreantasi Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian pada masyarakat<br />
b. Memberi pengalaman belajar tentang pembangunan masyarakat dan pengalaman kerja nyata pembangunan.<br />
c. Memberi pengalaman kepada mahasiswa tentang kondisi yang terdapat pada masyarakat dan bagaimana hidup di tengah – tengah masyarakat dengan mengimplementasikan disiplin ilmu yang kita miliki.<br />
d. Meningkatkan hubungan antara perguruan tinggi dengan Pemerintah Kecamatan, pemerintah Desa, dan masyarakat secara langsung.<br />
e. Untuk belajar memahami karakteristik masyarakat pedesaan yang majemuk dengan segala pola hidup masing – masing.<br />
<br />
I.3. SASARAN KEGIATAN<br />
Sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan kegiatan ini adalah :<br />
1. Menjalin kerjasama antara mahasiswa dengan masyarakat desa sebagai usaha pemecahan masalah dibidang sosial.<br />
2. Mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian, pengembangan, dan pengabdian pada masyarakat khususnya masalah sosial <br />
<br />
<br />
<br />
I.4. TEMA KEGIATAN<br />
Tema kegiatan ini adalah “Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Pengamalan Iman dan Taqwa”<br />
<br />
I.5. WAKTU PELAKSANAAN <br />
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2012<br />
<br />
I.6. TEMPAT DAN LOKASI PELAKSANAAN<br />
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Bontoala Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.<br />
<br />
I.7. PENYELENGGARA<br />
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Mahasiswa Peserta KKN Universitas Islam Negri Alauddin Makassar Angkatan 47 Tahun 2012.<br />
<br />
I.8. LANDASAN KEGIATAN<br />
1. Landasan Ideal yakni Pancasila<br />
2. Landasan Struktural yakni UUD 1945<br />
3. Landasan Operasional yakni Tri Dharma Perguruan Tinggi.<br />
<br />
<br />
I.9. ANGGARAN KEGIATAN<br />
Terlampir<br />
<br />
I.10. SUSUNAN PESERTA<br />
Terlampir<br />
<br />
I.11 SUMBER DANA<br />
1. Kas Mahasiswa KKN UIN Alauddin angkatan 47 Tahun 2012<br />
2. Pihak donatur yang tidak mengikat<br />
3. Usaha lain yang bersifat halal. <br />
BAB II<br />
PROGRAM KERJA<br />
<br />
Program kerja yang akan dilaksanakan didasarkan pada hasil seminar program kerja di Kantor Desa Bontoala yang dihadiri oleh Kepala Desa, Kepala Dusun, Imam Desa, Imam Dusun, Ketua BPD, PKK dan tokoh masyarakat dan Pemuda di desa Bontoala. Program-program kerja yang akan dilaksankan adalah sebagai berikut :<br />
a. Bimbingan Komputer, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Pendidikan Agama bagi Anak SD<br />
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan Teknholagi, baca, Menulis Serata Berbahasa bagi Anak SD.<br />
Sasaran : Siswa SD setempat.<br />
<br />
b. Mengajar SD<br />
Tujuan : Membantu guru SD yang bersangkutan dalam melakukan transfer ilmu kepada siswa SD dan sebagai sarana transfer ilmu yang didapatkan di kampus.<br />
Sasaran : Siswa SD<br />
<br />
c. Pembenahan Administrasi TP-PKK<br />
Tujuan : Membantu tim penggerak PKK dalam membenahi administrasi terutama pengolahan data.<br />
Sasaran : TP-PKK Desa Bontoala<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
d. Minggu Bersih<br />
Tujuan : Untuk menciptakan lingkungan Desa yang bersih. Terutam sarana-sarana umum, misalnya kuburan, Mesjid dll <br />
Sasaran : Kuburan, Mesjid, Pantai, Selokan dll.<br />
<br />
e. Pelatihan Penyelenggaraan Jenazah<br />
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tata cara penyelenggaraan jenazah.<br />
Sasaran : Masyarakat Desa Bontoala<br />
<br />
f. Membantu Petugas Posyandu<br />
Tujuan : Memberiakn pelayan optimal kepada masyarakat.<br />
Sasaran : Masyarakat Desa Bontoala<br />
<br />
g. Pembuatan papan Penunjuk Arah<br />
Tujuan : Memudahkan masyarakat untuk mengetahui nama-nama jalan yang terdapat di Desa Bontoala.<br />
Sasaran : Masyarakat Desa Bontoala<br />
<br />
h. Lomba TK/TPA Se Desa Bontoala<br />
Tujuan : Memberikan motivasi kepada TK/TPA untuk selalu belaja.<br />
Sasaran : Masyarakat Desa Bontoala<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB III<br />
PENUTUP.<br />
<br />
Kegiatan ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat, dengan ini kami harapkan kerjasama dari semua pihak baik moril maupun material karena kesuksesan dari kegiatan ini hanya dapat tercapai apabila ada kerjasama dari seluruh pihak yang terkait.<br />
Demikian proposal program kerja ini dibuat sebagai kerangka acuan dan gambaran singkat mengenai Pelaksanaan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dalam rangka mendapatkan tanggapan dan bantuan dari berbagai pihak. Kepada semua pihak yang telah dan akan membantu Mahasiswa Peserta KKN Universitas Islam Negri Alauddin Makassar angkatan 47 tahun 2012 mengucapkan terima kasih atas partisipasinya.<br />
Semoga segala bantuan dan amal usaha dari pihak yang peduli dan simpati terhadap usaha ini bernilai ibadah disisi Allah SWT.Amin…!.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Lampiran I : Rincian Anggaran Kegiatan KKN UIN Alauddin Makassar Angk.47<br />
Tahun 2012<br />
<br />
ADMINISTRASI<br />
1. Kertas Kuarto 2 rim @ Rp. 25.000 Rp. 50.000,- <br />
2. Kertas Folio 2 rim @ Rp. 25.000 Rp. 50.000,-<br />
3. Kertas Karton @ Rp 1.500 Rp. 4.500,-<br />
4. Amplop surat 1 dos Rp. 15.000,-<br />
5. Tinta print warna Rp. 25.000,-<br />
6. Tinta print hitam Rp. 25.000,-<br />
7. Penggandaan proposal Rp. 100.000,-<br />
Jumlah Rp. 319.500,-<br />
<br />
PERLENGKAPAN<br />
1. spanduk Rp. 60.000,-<br />
2. Cat tembok 10 klg 5 kg @ Rp. 30.000 Rp. 300.000,-<br />
3. Cat Minyak 10 klg 1 kg @ Rp.15.000 Rp. 150.000,-<br />
4. Tripleks milamin 2 lbr @ 75.000 Rp. 150.000,-<br />
5. Balok 3/5 10 buah @ Rp. 15.000 Rp. 150.000,-<br />
6. Papan 3 lbr @ Rp. 50.000 Rp. 150.000,-<br />
7. Piala 18 set @ Rp. 100.000 Rp. 1.800.000,-<br />
8. ID Card Panitia 30 bh @ Rp. 3.000 Rp. 90.000,-<br />
9. Piagam 30 lbr @ 10.000 Rp. 300.000,-<br />
10. <br />
11. <br />
12. <br />
Jumlah Rp. 3.150.000,-<br />
<br />
KONSUMSI DAN AKOMODASI<br />
1. Nasi 300 dos @ Rp. 5.000 Rp. 1.500.000,-<br />
2. Snack 300 bks @ Rp. 1.500 Rp. 450.000,-<br />
3. Air mineral 10 dos @ Rp 15.000 Rp. 150.000,-<br />
4. Transportasi pemateri 6 org @ Rp. 40.000 Rp. 240.000,-<br />
5. Honor pemateri 6 org @ Rp. 50.000 Rp. 300.000,-<br />
6. Transportasi panitia Rp. 200.000,-<br />
Jumlah Rp. 2.840.000,-<br />
<br />
PUBLIKASI DAN DOKUMENTASI<br />
1. Spanduk 2 buah @ Rp. 75.000 Rp. 150.000,-<br />
2. Cuci cetak foto. Rp. 100.000,-<br />
3. 3 kaset handy kamera @ Rp 50.000 Rp. 100.000,-<br />
Jumlah Rp. 350.000,-<br />
<br />
<br />
<br />
REKAPITULASI ANGGARAN<br />
I. Administrasi Rp 319.500,-<br />
II. Perlengkapan Rp 3.150.000,- <br />
III. Konsumsi dan akomodasi Rp 2.840.000,-<br />
IV. Publikasi dan Dokumentasi Rp 350.000,-<br />
Total Rp 5.559.000,-<br />
(Lima juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu rupiah)<br />
<br />
Bendahara<br />
<br />
<br />
<br />
Dahniar Sirajuddinsyamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com4Gowa, Indonesia-5.3102887999999986 119.74260400000003-5.5497897999999983 119.40909200000003 -5.0707877999999988 120.07611600000003tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-54394268411113864032012-04-11T08:25:00.000-07:002012-04-11T08:25:57.177-07:00HUKUM KEUANGAN NEGARAUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 17 TAHUN 2003<br />
TENTANG<br />
KEUANGAN NEGARA<br />
<br />
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />
Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang;<br />
b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana dimaksud pada huruf a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;<br />
c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang;<br />
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Keuangan Negara;<br />
Mengingat : Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;<br />
<br />
Dengan Persetujuan Bersama<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />
DAN<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.<br />
BAB I<br />
KETENTUAN UMUM<br />
<br />
Pasal 1<br />
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:<br />
1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. <br />
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. <br />
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. <br />
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. <br />
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. <br />
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah. <br />
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. <br />
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. <br />
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. <br />
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara. <br />
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. <br />
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah. <br />
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. <br />
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. <br />
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. <br />
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. <br />
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. <br />
<br />
Pasal 2 <br />
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : <br />
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; <br />
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; <br />
c. Penerimaan Negara; <br />
d. Pengeluaran Negara; <br />
e. Penerimaan Daerah; <br />
f. Pengeluaran Daerah; <br />
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; <br />
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; <br />
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. <br />
Pasal 3<br />
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. <br />
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. <br />
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.<br />
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. <br />
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.<br />
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.<br />
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya. <br />
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD. <br />
Pasal 4<br />
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. <br />
Pasal 5<br />
(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD adalah mata uang Rupiah.<br />
(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.<br />
<br />
BAB II<br />
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA<br />
<br />
Pasal 6<br />
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.<br />
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1):<br />
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; <br />
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; <br />
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. <br />
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang. <br />
Pasal 7 <br />
(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. <br />
(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD. <br />
Pasal 8 <br />
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : <br />
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; <br />
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; <br />
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; <br />
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; <br />
e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang; <br />
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara; <br />
g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN; <br />
h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang. <br />
Pasal 9 <br />
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut : <br />
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; <br />
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran; <br />
c. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya; <br />
d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara; <br />
e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;<br />
f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya; <br />
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya; <br />
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang. <br />
Pasal 10 <br />
(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c : <br />
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD; <br />
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. <br />
(2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut : <br />
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD; <br />
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD; <br />
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah; <br />
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; <br />
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. <br />
(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut: <br />
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; <br />
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran; <br />
c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; <br />
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak; <br />
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; <br />
f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; <br />
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.<br />
<br />
BAB III<br />
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN<br />
<br />
Pasal 11<br />
(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.<br />
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.<br />
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.<br />
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.<br />
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.<br />
Pasal 12<br />
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.<br />
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.<br />
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.<br />
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.<br />
Pasal 13<br />
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.<br />
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.<br />
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.<br />
Pasal 14<br />
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya.<br />
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.<br />
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.<br />
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.<br />
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya. <br />
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />
Pasal 15<br />
(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.<br />
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat. <br />
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.<br />
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.<br />
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.<br />
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.<br />
<br />
BAB IV<br />
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD<br />
<br />
Pasal 16<br />
(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah.<br />
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. <br />
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.<br />
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.<br />
Pasal 17<br />
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. <br />
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. <br />
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. <br />
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. <br />
Pasal 18<br />
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan. <br />
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. <br />
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.<br />
Pasal 19<br />
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya. <br />
(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. <br />
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. <br />
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. <br />
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya. <br />
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.<br />
Pasal 20<br />
(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.<br />
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.<br />
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.<br />
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. <br />
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.<br />
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.<br />
<br />
BAB V<br />
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA<br />
PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,<br />
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING<br />
<br />
Pasal 21<br />
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.<br />
Pasal 22<br />
(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah. <br />
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya. <br />
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. <br />
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain dengan persetujuan DPRD. <br />
Pasal 23 <br />
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. <br />
(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah.<br />
<br />
BAB VI<br />
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,<br />
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT<br />
<br />
Pasal 24<br />
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah. <br />
(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD. <br />
(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara. <br />
(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah. <br />
(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR. <br />
(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD. <br />
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR. <br />
Pasal 25 <br />
(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat. <br />
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah. <br />
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.<br />
<br />
BAB VII<br />
PELAKSANAAN APBN DAN APBD<br />
<br />
Pasal 26<br />
(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. <br />
(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. <br />
Pasal 27 <br />
(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. <br />
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah Pusat. <br />
(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi : <br />
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; <br />
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; <br />
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; <br />
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. <br />
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. <br />
(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. <br />
Pasal 28 <br />
(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. <br />
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah. <br />
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi : <br />
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; <br />
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja. <br />
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. <br />
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. <br />
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. <br />
Pasal 29 <br />
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara. <br />
<br />
BAB VIII <br />
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBN DAN APBD <br />
Pasal 30 <br />
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. <br />
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. <br />
Pasal 31 <br />
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. <br />
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah. <br />
Pasal 32 <br />
(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. <br />
(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.<br />
Pasal 33<br />
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang tersendiri.<br />
<br />
BAB IX<br />
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF, DAN GANTI RUGI<br />
<br />
Pasal 34<br />
(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.<br />
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.<br />
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.<br />
Pasal 35<br />
(1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud. <br />
(2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan. <br />
(3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya. <br />
(4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara.<br />
<br />
BAB X<br />
KETENTUAN PERALIHAN<br />
<br />
Pasal 36<br />
(1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. <br />
(2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah, demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/pemerintah daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006. <br />
<br />
BAB XI <br />
KETENTUAN PENUTUP <br />
Pasal 37 <br />
Pada saat berlakunya undang-undang ini : <br />
1. Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860); <br />
2. Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445; <br />
3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381; <br />
sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi. <br />
Pasal 38<br />
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan. <br />
Pasal 39 <br />
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. <br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. <br />
Telah sah <br />
pada tanggal 5 April 2003 <br />
<br />
Diundangkan di Jakarta <br />
pada tanggal 5 April 2003 <br />
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, <br />
ttd <br />
<br />
BAMBANG KESOWO <br />
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 47<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENJELASAN <br />
ATAS <br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA <br />
NOMOR 17 TAHUN 2003 <br />
TENTANG <br />
KEUANGAN NEGARA <br />
<br />
I. UMUM <br />
1. Dasar Pemikiran <br />
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. <br />
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang. <br />
Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan. <br />
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara. <br />
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. <br />
2. Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan Pengelolaan Keuangan Negara yang Diatur dalam Undang-undang ini <br />
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD. <br />
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional. <br />
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara <br />
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. <br />
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. <br />
4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara <br />
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain : <br />
� akuntabilitas berorientasi pada hasil; <br />
� profesionalitas; <br />
� proporsionalitas; <br />
� keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; <br />
� pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. <br />
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. <br />
5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara <br />
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. <br />
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. <br />
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral. <br />
6. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD <br />
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran. <br />
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD. <br />
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja /hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan. <br />
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah. <br />
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi. Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju. <br />
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD. <br />
7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat <br />
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. <br />
<br />
8. Pelaksanaan APBN dan APBD <br />
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima. <br />
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya. <br />
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah. <br />
9. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara <br />
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum. <br />
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. <br />
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. <br />
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal. <br />
<br />
II. PASAL DEMI PASAL <br />
Pasal 1 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 2<br />
Huruf a <br />
Cukup jelas <br />
Huruf b <br />
Cukup jelas <br />
Huruf c <br />
Cukup jelas <br />
Huruf d <br />
Cukup jelas <br />
Huruf e <br />
Cukup jelas <br />
Huruf f <br />
Cukup jelas <br />
Huruf g <br />
Cukup jelas <br />
Huruf h <br />
Cukup jelas <br />
Huruf i <br />
Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah. <br />
Pasal 3 <br />
Ayat (1) <br />
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertangggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. <br />
Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. <br />
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. <br />
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. <br />
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. <br />
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. <br />
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (6) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (7) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (8) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 4 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 5 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 6 <br />
Ayat (1) <br />
Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. <br />
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan Penerimaan Negara. <br />
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara. <br />
Ayat (2) <br />
Huruf a <br />
Cukup jelas <br />
Huruf b <br />
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara. <br />
Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan. <br />
Huruf c <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 7 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 8 <br />
Huruf a <br />
Cukup jelas <br />
Huruf b <br />
Cukup jelas <br />
Huruf c <br />
Cukup jelas <br />
Huruf d <br />
Cukup jelas <br />
Huruf e <br />
Cukup jelas <br />
Huruf f <br />
Cukup jelas <br />
Huruf g <br />
Cukup jelas <br />
Huruf h <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 9 <br />
Huruf a <br />
Cukup jelas <br />
Huruf b <br />
Cukup jelas <br />
Huruf c <br />
Cukup jelas <br />
Huruf d <br />
Cukup jelas <br />
Huruf e <br />
Piutang dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. <br />
Utang dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undang-undang/keputusan pengadilan. <br />
Huruf f <br />
Cukup jelas <br />
Huruf g <br />
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran. <br />
Huruf h <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 10 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Huruf a <br />
Cukup jelas <br />
Huruf b <br />
Cukup jelas <br />
Huruf c <br />
Cukup jelas <br />
Huruf d <br />
Cukup jelas <br />
Huruf e <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Huruf a <br />
Cukup jelas <br />
Huruf b <br />
Cukup jelas <br />
Huruf c <br />
Cukup jelas <br />
Huruf d <br />
Cukup jelas <br />
Huruf e <br />
Cukup jelas <br />
Huruf f <br />
Cukup jelas <br />
Huruf g <br />
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran. <br />
Pasal 11 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Dalam pungutan perpajakan tersebut termasuk pungutan bea masuk dan cukai. <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (5) <br />
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat. <br />
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. <br />
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. <br />
Pasal 12 <br />
Ayat (1) <br />
Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Defisit anggaran dimaksud perlu dibatasi maksimal 3 % dari Produk Domestk Bruto. Jumlah dibatasi maksimal 60 % dari Produk Domestik Bruto. <br />
Ayat (4) <br />
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial. <br />
Pasal 13 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 14 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (6) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 15 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran. <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
<br />
Ayat (6) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 16 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah. <br />
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial. <br />
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial. <br />
Pasal 17 <br />
Ayat (1) <br />
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Defisit anggaran dimaksud perlu dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 % dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. <br />
Ayat (4) <br />
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial. <br />
Pasal 18 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 19 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (6) <br />
Cukup jelas <br />
<br />
Pasal 20 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran. <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (6) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 21 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 22 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani. <br />
<br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 23 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani. <br />
Pasal 24 <br />
Ayat (1) <br />
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani. <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (6) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (7) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 25 <br />
Ayat (1) <br />
Yang dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat ini tidak termasuk perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam aturan tersendiri. <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 26 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
<br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 27 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan. <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 28 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. <br />
Ayat (5) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 29 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 30 <br />
Ayat (1) <br />
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat. <br />
Ayat (2) <br />
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara/lembaga. <br />
Pasal 31 <br />
Ayat (1) <br />
Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Daerah. <br />
Ayat (2) <br />
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah. <br />
Pasal 32 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang diminta, Badan Pemeriksa Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya standar akuntansi pemerintahan yang diajukan oleh Pemerintah. <br />
Pasal 33 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 34 <br />
Ayat (1) <br />
Kebijakan yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil yang harus dicapai dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian negara/lembaga/pemerintahan daerah yang bersangkutan. <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 35 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (3) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (4) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 36 <br />
Ayat (1) <br />
Cukup jelas <br />
Ayat (2) <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 37 <br />
Cukup jelas <br />
Pasal 38 <br />
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undang-undang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun. Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya Undang-undang ini dan sudah selesai dalam waktu 2 (dua) tahun. <br />
<br />
Pasal 39 <br />
Cukup jelas <br />
<br />
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4286syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0Takalar, Indonesia-5.4162493 119.48756679999997-5.6193082999999993 119.28976079999997 -5.2131903 119.68537279999997tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-55499233070702943092012-04-11T08:10:00.000-07:002012-04-11T08:10:00.139-07:00SKRIPSI ILMU HUKUMDRAFT SKRIPSI<br />
<br />
<br />
JUDUL : SERTIFIKAT GANDA HAK ATAS TANAH<br />
(Studi Kasus Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar 2009-2010)<br />
<br />
A. Latar Belakang <br />
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan salah karunia Tuhan Yang Maha esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan dari semenjak manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah. Olehnya itu tanah persoalan tanah ini perlu ditata dan dibuatkan perencanaan dengan hati-hati dan penuh kearifan. <br />
Tanah yang merupakan bagian dari bumi menurut konsep UUPA dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Menurut Aminuddin Salle dan kawan-kawan, bahwa pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Demikian juga beraspek privat dan beraspek publik. Secara formal, kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan secara subtansial, kewenangan pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan terutama dalam hal lalu lintas tanah, didasarkan pada ketentuan pasal 2 ayat (2) UUPA yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai hukum. Pengaturan dalam hal hubungan- hubungan hukum dalam pemberian dan penetapan hak-hak atas tanah jelas telah merupakan wewenang Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah (untuk saat ini pengemban wewenang tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional) dengan prosedur yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.<br />
Olehnya itu jelas pemberian atau penetapan hak atas tanah hanay dapat dilakukan oleh Negara melalui pemerintah (dalam hal ini dilakukan oleh instansi Badan Pertanahan Nasional RI), untuk itu pemerian jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya merupakan salah satu tujuan pokok UUPA yang sudah tidak bisa di tawarlagi, sehingga Undang-Undang mengintruksikan kepada pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bersifat rechtskadaster yang bertujuan menjamin kepastiaan hukum dan kepastian haknya. Dengan demikian diberikan kewenangan kepada pemegang hak atas tanah untuk memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya. Namun pada kenyataannya, sehingga saat ini pelaksanaan pendaftaran tanah belum dapat diwujudkan sepenuhnya, bahkan disebutkan jumlah bidang tanah yang sudah didaftarkan buru sekitar 31 % dar 85 juta bidang tanah di Indonesia. <br />
Oleh karna itu, tidak mengherankan bila permasalahan di bidang pertanahan yang muncul dari hak atas tanah akan semakin banyak dan semakin beragam, karna terkadang belum terdaftar ataupun sudah terdaftar akan tetapi masih menyimpan, Pengakuan kepemilikan tanah yang dikonkretkan dengan Sertifikat sejak lama terjadi pada zaman kekhalifahan turki usmani sebagaimana dituangkan dalam pasal 1737 kitab undang-undang Hukum Perdata islam . Demikian juga dinegara lainnya seperti inggris, Sertifikat merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam Undang-undang pendaftaran tanah(Land Rgistrations Act 1925) .<br />
Di Indonesia, Sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah , yang kini telah dicabut dan ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 .<br />
Salah satu alat bukti hak atas tanah adalah Sertifikat, Sertifikat merupakan Alat bukti yang kuat dan autentik Kekuatan Sertifikat Merupakan jaminan Kepastian hukum bagi pemegang Sertifikat sebagai alat bukti yang sempurna sepanjang tidak ada pihak lawan yang membuktikan sebaliknya. Seorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah serta keadaan dari tanah itu, misalnya luas, batas-batas, bangunan yang ada, jenis haknya beserta beban-beban yang ada pada hak atas tanah itu, dan sebagainya . <br />
Akan tetapi seiring dengan tingginya nilai dan manfaat tanah, banyak orang yang berupaya memperoleh bukti kepemilikan tanah dengan memiliki sertifikat palsu, dimana data yang ada pada sertifikat tidak sesuai dengan 6yang ada pada buku tanah. Jumlah sertifikat palsu cukup banyak, sehingga menimbulkan kerawanan. Umumnya sertifikat palsu dibuat pada tanah yang masih losong dan mempunyai nilai tinggi yang menggunakan blangko sertifikat lama. Pemalsuan sertifikat terjadi karna tidak didasarkan pada alas hak yang benar, seperti penerbitan sertifikat yang tidak didasarkan pada alas hak yang benar, Seperti penerbitan sertifikat yang didasarkan pada surat keterangan pemilikan yang dipalsukan.bentuk lainnya berupa stempel BPN dan pemalsuan data pertanahan. <br />
Adapun sertifikat ganda yaitu sebidang tanah mempunyai lebih dari satu sertifikat, karna itu membawa akibat ketidakpastian hukum pemegang hak-hak atas tanah yang sangat tidak diharapkan dalampendaftaran tanah di Indonesia.<br />
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis sangat tertarik untuk menulis tentang sertifikat tanah. Untuk memperoleh pengetahuan dan pendalaman yang lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka penulis memilih judul: “SERTIFIKAT GANDA HAK ATAS TANAH” (studi Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar)<br />
<br />
B. Rumusan Masalah<br />
Dari latar belakan masalah di atas dapatlah penulis mengambil kesimpulan untuk membuat suatu rumusan masalah sebagai bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu : <br />
1. Bagaimanakah ketentuan hukum terhadap surat-surat hak atas tanah?<br />
2. Sejauhmanakah pelaksanaan peraturan hukum atas pelanggaran surat-surat tanah (sertifikat ganda)di PTUN Makassar?<br />
<br />
<br />
<br />
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian<br />
Untuk menghindari kekeliruan terhadap pengertian yang sebenarnya dari judul skripsi ini, maka penulis menjelaskan beberapa kata dalam judul ini.<br />
‘Sertifikat’ adalah Surat atau keterangan berupa pernyataan tertulis atau tercetak dari orang atau instansi yang berwenang sebagai bukti suatu kejadian secara otentik. <br />
‘Ganda’ adalah Menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti lipat atau rangkap (tentang hitungan). <br />
‘Hak’ adalah Kekuasaan untuk berbuat menurut hukum. <br />
‘Tanah’ adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diluar sekali, keadaan bumi disuatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas daratan. <br />
Ruang lingkup penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dan perdata yang dapat diberikan kepada Instansi maupun pemilik sertifikat mengenai masalah sertifikat ganda hak atas tanah <br />
<br />
D. Kajian Pustaka<br />
“Sertifikat Hak Atas Tanah”, Andrian Sutedi, SH.,MH., buku ini menjelaskan mengenai apakah tujuan dikeluarkannya sertifikat hak atas tanah yang telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari para pembuat undang-undang dan bagaimana tinjauan kekuatanyuridis hak atas tanah dalam sistim pendaftaran tanah di Indonesia.<br />
“Hukum Pertanahan”. Ali Achmad Chomzah, Buku ini menjelaskan mengenai Konsep dasar hukum pertanahan dan pengaturannya serta seluk-beluk pengaturan hak-hak atas tanah dan permasalahannya kemudian mengidentifikasi potensi sengketa dibidang pertanahan dan alternatif penyelesaiannya.<br />
“Kegunaan Sertifikat dan Permasalahannya”. Soni Harsono, Buku ini menjelaskan tentang kegunaan sertifikat atas tanah serta akibat yang timbul di dalam sertifikat.<br />
“Bahan Ajar Hukum Agraria,” Aminuddin Salle dan kawan-kawan. adalah Buku ini menjelaskan mengenai pengertian tentang Sejarah tanah dan fungsinya. <br />
“Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi” Prof. DR. Mhd. Yamin Lubis, SH., MS.,CN. & Abd. Rahim Lubis, SH., M.Kn. buku ini menjelaskan mengenai pengelolaan pertanahan sesuai dengan aturan hukum sehingga memberikan kepastian hukum sekaligus menyelesaikan masalah pertanahan serta pemahaman dari segi konsepsi-filosofis dan praktisi-oprasional berkenaan dengan hukum pendaftaran tanah di Indonesia.<br />
<br />
E. Metodologi Penelitian <br />
a. Lokasi Penelitian<br />
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kota Makassar, yaitu khususnya di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.<br />
b. Jenis dan Sumber Data <br />
1. Jenis Data<br />
Dalam penelitian ini digunakan 2 (dua) jenis data yaitu data primer dan data sekunder, sebagai berikut :<br />
a) Data Primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan melalui observasi, pengedaran koesioner kepada sejumlah responden, dan melakukan wawancara secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian ini.<br />
b) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil kajian pustaka, jurnal, dokumen – dokumen dan lain – lain yang erat kaitannya dengan objek penelitian ini.<br />
2. Sumber Data<br />
Data dalam penelitian ini diperoleh dari :<br />
a) Penelitian lapangan (field research) yaitu data yang diperoleh langsung melalui pengamatan secara cermat kemudian melakukan wawancara dengan pihak Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar;<br />
b) Penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan jalan menelusuri atau menelaah informasi atau bahan-bahan dan buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian ini.<br />
c. Teknik Pengumpulan Data<br />
Alat yang digunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut :<br />
<br />
1. Observasi dilakukan secara langsung pada Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, melakukan pencatatan secara langsung terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.<br />
2. Wawancara (interview) adalah melakukan wawancara secara langsung terhadap informen yaitu Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, serta hakim para dewan hakim yang menangani perkara-perkara Sertifikat ganda hak atas tanah, serta para pihak yang terlibat dalam penanganan masalah Sertifikat ganda hak atas tanah.<br />
3. Studi dokumentasi yaitu mempelajari kasus-kasus yang terkait dengan penulis kaji.<br />
d. Analisis Data<br />
Data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan ataupun studi pustaka akan dianalisis dengan menggunakan studi analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif untuk mengetahui tanggapan para pihak yang terlibat dalam sengketa Sertifikat ganda hak atas tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.<br />
<br />
F. Tujuan dan Manfaat Penelitian <br />
Berdasarkan latar belakang masalah serta perumusan tersebut diatas maka tujuan dari penelitian ini :<br />
1. Untuk mengkaji ketentuan hukum terhadap sertifikat ganda hak atas tanah.Untuk mengetahui penyebab timbulnya sertifikat ganda<br />
2. Untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya sertifikat ganda hak atas tanah.<br />
3. mengetahui Pertanggungjawaban terhadap instansi maupun pemegang sertifikat ganda.<br />
4. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian sertifikat ganda dan penerbitan sertifikat yang benar.<br />
Diharapkan penelitian yang penulis lakukan ini mempunyai manfaat bukan hanya bagi penulis saja, akan tetapi diharapkan juga berguna bagi pihak-pihak lain.<br />
1. Manfaat Teoritis.<br />
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau masukan mengenai Masalah Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah.<br />
b. Diharapkan dapat menambah literature dan bahan-bahan informasi, mengingat semakin banyaknya kasus-kasus Sengketa Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah.<br />
2. Manfaat Praktis.<br />
a. dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan terkait Masalah Sertifikat ganda hak atas tanah.<br />
b. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Masyarakat untuk tidak terlalu ceroboh membuat Sertifikat hak atas tanah.<br />
<br />
<br />
<br />
G. Sistematika Penulisan<br />
Sebagai gambaran singkat materi skripsi nantinya, penulis menguraikan sistematika penulisannya melalui proposal penelitian ini, sebagai berikut :<br />
Bab I Pendahuluan<br />
Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.<br />
Bab II Tinjauan Pustaka<br />
Bab ini berisi, tinjauan umum terhadap sertifikat, tinjauan Hak atas tanah.<br />
Bab III Metodologi Penelitian<br />
Bab ini akan dipaparkan mengenai lokasi penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data.<br />
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan<br />
Bab ini akan menjawab perumusan masalah yang penulis lakukan, yang terdiri dari Instrumen pokok penerbitan sertifikat hak atas tanah, fungsi sertifikat hak atas tanah, kendala penerbitan sertifikat hak atas tanah, keberlakuan sertifikat hak atas tanah, kepastian hukum sertifikat atas tanah sebagai bukti kepemilikan, pembatalan mengenai sertifikat hak atas tanah, upaya pencegahan sengketa sertifikat oleh badan pertanahan nasional, <br />
<br />
<br />
Bab V Penutup<br />
Bab ini merupakan bab yang terakhir, yang berisi kesimpulan dan sekaligus diajuakan saran yang dianggap perlu.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
H.Bagindo Syarifuddin, SH., DR.-ING. M. Yamin Jinca, M. Said Nisar, SH.,LL.M., 1996 ”Seminar Mobilisasi Tertib Pertanahan Dalam PJP II” Kantor Wilayah B.P.N. Sulawesi Selatan.<br />
Prof. DR. Mhd. Yamin Lubis, SH., MS., CN. & Abd. Rahim Lubis, SH., M.Kn. “Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi”, CV. Mandar Maju.<br />
Aminuddin Salle dan kawan-kawan, 2010 “Bahan Ajar Hukum Agraria”, AS Publishing: Makassar. <br />
Adrian Sutedi,S.H.,M.H. 2011 “Sertifikat Hak Atas tanah”, Sinar grafika.<br />
Ali Achmad Chomzah, 2002 “Hukum Pertanahan”, Cetakan Pertama, (Jakarta:Prestasi Pustaka ).<br />
Soni Harsono, 9 Juli 1992 ”Kegunaan Sertifikat dan Permasalahannya”, Seminar nasional, Yogyakarta. <br />
Drs. Sudarsono, SH.,M.Si. Kamus Hukum Edisi Terbaru, Rineka Cipta, Jakarta, <br />
Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kemus Lengkap Baha Indonesia, Difa Publisher.<br />
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum edisi lengkap, Aneka Ilmu, Semarang.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KERANGKA OUT LINE<br />
<br />
BAB I PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang<br />
B. Rumusan Masalah<br />
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian<br />
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian<br />
E. Sistematika Penulisan<br />
<br />
BAB II Tinjauan Putaka<br />
A. Tinjauan Umum Terhadap Sertifikat.<br />
a. Pengertian Sertifikat<br />
b. Sejarah Sejarah Sertifikat di Indonesia<br />
c. Perkembangan Sertifikat<br />
B. Tinjauan Hak Atas Tanah<br />
a. Pengertian Hak Atas Tanah<br />
b. Pembuktian Hak Atas Tanah<br />
<br />
BAB III METODE PENELITIAN<br />
A. Lokasi Penelitian<br />
B. Jenis dan Sumber data<br />
C. Teknik Pengumpulan Data<br />
D. Analisis Data<br />
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN<br />
A. Ketentuan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah.<br />
B. Instrumen Pokok Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah.<br />
C. Kendala Penerbitan Sertifikat Hak Atas tanah.<br />
D. Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai bukti Kepemilikan.<br />
E. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah.<br />
F. Pembatalan Mengenai Sertifikat hak Atas Tanah.<br />
G. Upaya Pencegahan Sengketa Sertifikat Hak Atas Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional.<br />
BAB V PENUTUP<br />
A. Kesimpulan<br />
B. Saran<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKAsyamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-44216775430583017752011-10-24T00:07:00.000-07:002011-10-24T00:11:08.214-07:00Program Wira usaha Muda Harus Jadi Gerakan SosialKADIN - JETRO <br />
KEWIRAUSAHAAN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
1.<br />
Pengertian dan Ruang Lingkup Kewirausahaan<br />
Pengertian Wirausaha :<br />
<br />
Orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan tindakan yang cepat dalam memastikan kesuksesan.<br />
<br />
Pengertian Kewirausahaan :<br />
<br />
Semangat , sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya cara kerja teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan keuntungan yang lebih besar.<br />
<br />
Tujuan Kewirausahaan :<br />
<br />
• Meningkatkan Jumlah wirausaha yang berkualitas<br />
• Menyadarkan masyarakat atau memberikan kesadaran berwirausaha yang tangguh dan kuat terhadap masyarakat.<br />
• Menghasilkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat<br />
• Membudayakan semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan di kalangan masyarakat<br />
<br />
Sasaran Kewirausahaan :<br />
<br />
• Instansi pemerintah, BUMN, organisasi profesi dan kelompok masyarakat<br />
• Pelaku ekonomi: pengusaha kecil, koperasi<br />
• Generasi Muda: anak-anak putus sekolah, calon wirausahawan.<br />
<br />
Manfaat Kewirausahan :<br />
<br />
• Menambah daya tampung tenaga kerja<br />
• Sebagai generator pembangunan lingkungan, pribadi, distribusi, pemeliharaan lingkungandan kesejahteraan<br />
• Memberi contoh bagaimana bekerja keras, tekun dan memeiliki pribadi unggul yang patut diteladani<br />
• Mendidik karyawan jadi orang mandiri, disiplin tekun, jujur dalam menghadapi pekerjaan<br />
• Mendidik masyarakat hidup efisien dan sederhana<br />
<br />
<br />
Keuntungan :<br />
<br />
• Terbuka lebar kesempatan untuk menjadi bos dalam perusahaan<br />
• Terbuka peluang untuk memperoleh manfaat dan keuntungan secara maksimal<br />
• Terbuka peluang untuk memperlihatkan potensi wirausaha secara penuh<br />
• Terbuka peluang untuk membantu masyarakat dalam usaha<br />
• Terbuka peluang untuk mencapai tujuan usaha yang dikehendaki<br />
<br />
Kelemahan :<br />
<br />
• Tanggung jawab sangat besar dan berat di dalam menghadapi permasalahan bisnis.<br />
• Bekerja keras dan waktunya sangat panjang<br />
• Memperoleh pendapatan yang tidak pasti dan memiliki resiko yang sangat besar.<br />
<br />
Ruang Lingkup :<br />
<br />
• Lapangan Agraris<br />
• Lapangan Peternakan<br />
• Lapangan Perkebunan<br />
• Lapangan Pemberi jasa<br />
• Lapangan Pertambangan dan energi<br />
• Lapangan Industri dan Kerajinan<br />
<br />
<br />
2. Memahami Karakteristik Kewirausahaan<br />
<br />
a. Sikap dan Perilaku Disiplin<br />
<br />
Sikap dan perilaku disiplin merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang didalam berwirausaha. Menurut Murphy dan Peck, bahwa guna mencapai sukses dalam karir seseorang harus dimulai dengan kerja keras, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi dan pintar berkomunikasi.<br />
<br />
b. Komitmen Tinggi<br />
<br />
Seorang wirausaha harus memiliki komitmen tinggi terhadap tugasnya . Artinyaseorang wirausaha itu setiap saat pikirannya tidak lepas dari perusahaannya atau bisnisnya<br />
<br />
c. Jujur<br />
Jujur dalam berwirausaha artinya mau dan mampu mengatakan sesuatu sebagaimana adanya.<br />
<br />
Akibat yang di terima kalau orang tidak jujur di dalam berwirausaha:<br />
<br />
1. Tidak dipercaya masyarakat konsumen<br />
2. Menjadi rendah diri dan rasa malu<br />
3. Mudah tersinggung atau emosi<br />
4. Cepat iri dan dengki<br />
5. Suka dendam<br />
6. Prasangka buruk dan dusta<br />
7. Tidak punya teman<br />
8. Kehancuran dalam usahanya<br />
<br />
Empat (4) sisi potensial yang dimiliki manusia untuk maju (menurut Stephen Covey,<br />
dalam bukunya The First Thing’ First):<br />
<br />
1. Self awareness adalah sikap mawas diri<br />
2. Cousience adalah mempertajam suara hati, supaya menjadi manusia berkehendak baik, seraya memunculkan keunikan serta memiliki misi dalam hidup.<br />
3. Independent Will adalah pandangan independent untuk bekal bertindak dan kekuatan untuk mentrandensi.<br />
4. Creatif Imagination adalah berfikir dan mengarah ke depan untuk memecahkan masalah dengan imajinasi, khayalan serta adaptasi yang tepat<br />
<br />
<br />
3. Wirausaha dan Wiraswasta<br />
<br />
<br />
a. Pengertian Wiraswasta<br />
<br />
Wiraswasta terdiri dari tiga kata: wira, swa dan sta, masing – masing berarti, wira adalah manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa besar, berani, pahlawan/pendekar , kemajuan dan memiliki keagungan watak ; swa artinya sendiri; dan sta artinya berdiri.<br />
<br />
Bertolak dari ungkapan etimologis diatas, maka wiraswasta berarti keberanian, keutamaan, serta keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri. (Wasty Sumanto, 1984:43)<br />
<br />
Gambaran ideal manusia wiraswasta adalah orang yang dalam keadaan bagaimanapun daruratnya, tetap mampu berdiri atas kemampuan sendiri untuk menolong dirinya keluar darikesulitan yang dihadapinya, termasuk mengatasi kemiskinan tanpa bantuan instansi pemerintah atau instansi sosial. Dan dalam keadaan yang biasa (tidak darurat) manusia – manusia wiraswasta bahkan akan mampu menjadikan dirinya maju, kaya, berhasil lahir dan batin.<br />
<br />
b. Pengertian Wirausaha<br />
<br />
Menurut Joseph Schumeter, Entrepreneur atau wirausaha adalah orang yang mendobrak system ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.<br />
<br />
Dalam definisi ini ditekankan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut.<br />
<br />
Kesimpulannya adalah bahwa istilah wiraswasta sama saja dengan wirausaha, walaupun rumusannya berbeda – beda tetapi isi dan karakteristiknya sama. Namun ada perbedaan focus antara kedua istilah tersebut. Wiraswasta lebih focus pada obyek, ada usaha yang mandiri, sedang wirausaha lebih menekankan pada jiwa, semangat, kemudian diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan.<br />
<br />
3<br />
Faktor-Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Wirausaha<br />
<br />
1. Keberhasilan Wirausahawan<br />
<br />
<br />
Untuk menjadi seorang wirausahawan, diperlukan dukungan dari orang lain yang berhubungan dengan bisnis yang kita kelola. Seorang wirausaha harus mau menghadapi tantangan dan resiko yang ada. Resiko dijadikan sebagai pemacu untuk maju, dengan adanya resiko, seorang wirausaha akan semakin maju.<br />
<br />
Menurut Murphy dan Peek yang diterjemahkan dalam bukunya oleh Bukhari Alam,<br />
ada delapan anak tangga yang meliputi keberhasilan seorang wirausaha dalam mengembangkan profesinya, yaitu:<br />
<br />
a. Kerja keras<br />
<br />
Kerja keras merupakan modal keberhasilan seorang wirausaha. Setiap pengusaha yang sukses menempuh kerja keras yang sungguh – sungguh dalam usahanya.<br />
<br />
b. Kerjasama dengan orang lain<br />
<br />
Kerjasama dengan orang lain dapat diwujudkan dalam lingkungan pergaulan sebagai langkah pertama untuk mengembangkan usaha. Seorang wirausaha harus murah hati, mudah bergaul, ramah dan disenangi masyarakat dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain.<br />
<br />
c. Penampilan yang baik<br />
<br />
Penampilan yang baik ditekankan pada penampilan perilaku yang jujur dan disiplin.<br />
<br />
d. Yakin<br />
<br />
Seorang wirausaha harus dapat yakin kepada diri sendiri, yaitu keyakinan untuk maju dan dilandasi ketekunan serta kesabaran.<br />
<br />
e. Pandai membuat keputusan<br />
<br />
Seorang wirausaha harus dapat membuat keputusan. Jika dihadapkan pada alternative sulit, dengan cara pertimbangan yang matang, jangan ragu – ragu dalam mengambil keputusan yang baik sesuai dengan keyakinan.<br />
<br />
f. Mau menambah Ilmu pengetahuan<br />
<br />
Dengan menambah ilmu pengetahuan, terutama di bidang usaha, diharapkan seorang wirausaha dapat mendukung kemampuan dan kemajuan dalam usaha.<br />
<br />
g. Ambisi untuk maju<br />
<br />
Tanpa ambisi yang kuat, seorang wirausaha tidak akan dapat mencapai keberhasilan. Ambisi yang kuat, harus diimbangi dengan usaha yang keras dan disiplin diri yang baik.<br />
<br />
h. Pandai berkomunikasi<br />
<br />
Seorang wirausaha harus dapat menarik orang lain dengan tutur kata yang baik, sopan, jujur dan percaya diri. Dengan demikian akan memberi kesan kepada orang lain menjadi tertarik daan orang akan percaya dengan apa yang disampaikan.<br />
<br />
<br />
2. Kegagalan Wirausaha<br />
<br />
Penyebab kegagalan dalam usaha pada umumnya disebabkan oleh 4 faktor utama, antara lain :<br />
<br />
1. Kurangnya dana untuk modal<br />
2. Kurangnya pengalaman dalam bidang bisnis<br />
3. Tidak adanya perencanaan yang tepat dan matang<br />
4. Tidak cocoknya minat terhadap bidang usaha yang sedang digeluitinya.<br />
<br />
Menurut Alex S. Niti Semito, kegagalan wirausahawan dalam menjalankan bisnisnya terbagi menjadi dua, yaitu :<br />
<br />
1. Kegagalan yang dapat dihindarkan<br />
<br />
Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena pengusaha dapat menghindari dan dapat<br />
diantisipasi sebelumnya.<br />
<br />
Misal: salah mengelola perusahaan, tidak ada rencana yang matang, pelayanan yang<br />
kurang baik, dll<br />
<br />
2. Kegagalan yang tidak dapat dihindarkan<br />
<br />
Yaitu kegagalan yang sulit atau hampir tidak dapat dihindari seperti bencana alam, peperangan, kebakaran, kecelakaan.<br />
<br />
<br />
Sebab – sebab kegagalan dalam menjalankan usaha:<br />
<br />
- Kurang ulet dan cepat putus asa<br />
- Kurang tekun dan kurang teliti<br />
- Tidak jujur dan kurang cekatan<br />
- Kekeliruan dalam memilih lapangan usaha<br />
- Kurang inisiatif dan kurang kreatif<br />
- Memulai usaha tanpa pengalaman dengan modal pinjaman<br />
- Mengambil kredit tanpa pertimbangan yang matang<br />
- Kurang dapat menyesuaikan dengan selera konsumen<br />
- Pelayanan yang kurang baik<br />
- Banyaknya piutang ragu – ragu<br />
- Banyaknya pemborosan dan penyimpangan<br />
- Kekeliruan menghitung harga pokok<br />
- Menyamakan perusahaan sebagai badan sosial<br />
- Sulit memisahkan antara harta pribadi dengan harta perusahaan<br />
- Kemacetan yang sering terjadi<br />
- Kurangnya pengawasan<br />
<br />
4<br />
Karakteristik Kewirausahaan<br />
<br />
<br />
Seorang wirausaha yang sukses harus mempunyai karakteristik yang baik dan menarik, Karakteristik seorang wirausaha akan terlihat dan berkembang melalui ilmu pengetahuan, pengalaman yang diperoleh dari hasil interaksi dengan lingkungannya. <br />
<br />
Jadi karakteristik adalah sesuatu yang berhubungan dengan watak, perilaku, tabiat, sikap orang terhadap perjuangan hidup untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.<br />
<br />
Karakteristik seorang wirausaha yang baik, akan membawa kearah kebenaran, keselamatan serta menaikan derajat dan martabatnya. Karakteristik wirausahawan yang perlu dimiliki dan perlu dikembangkan adalah sebagai berikut:<br />
<br />
1. Berwatak luhur<br />
2. Bekerja keras dan disiplin<br />
3. Mandiri dan realistis<br />
4. Prestatif dan komitmen tinggi<br />
5. Berfikir positif dan bertanggungjawab<br />
6. Dapat mengendalikan emosi<br />
7. Tidak ingkar janji, menepati janji dan waktu<br />
8. Belajar dari pengalaman<br />
9. Memperhitungkan resiko<br />
10. Merasakan kebutuhan orang lain<br />
11. Bekerjasama dengan orang lain<br />
12. Menghasilkan sesuatu untuk orang lain<br />
13. Memberi semangat kepada orang lain<br />
14. Mencari jalan keluar bagi setiap permasalahan<br />
15. Merencanakan sesutau sebelum bertindak.<br />
<br />
Keberhasilan dalam bidang bisnis selalu berhubungan dengan hal – hal sebagai berikut:<br />
<br />
a. Sikap dan perilaku disiplin, merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang didalam berwirausaha.<br />
b. Komitmen tinggi, artinya seorang wirausaha itu setiap saat pikirannya tidak lepas dari perusahannya atau bisnisnya.<br />
c. Jujur, artinya mau dan mampu mengatakan sesuatu sebagaimana adanya.<br />
d. Kreatif, adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relative berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.<br />
e. Inovatif yaitu merupakan suatu proses mengubah peluang menjadi gagasan dan ide – ide yang dapat dijual.<br />
f. Mandiri dan realistis, artinya bahwa kwberhasilan eorang wirausaha datangnya dari diri sendiri dan ide yang realistis dan bukan dari orang lain.<br />
<br />
5<br />
Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki oleh Wirausaha<br />
<br />
<br />
1. Percaya Diri<br />
<br />
Orang yang tinggi percaya dirinya adalah orang yang sudah matang jasmani dan<br />
rokhaninya. Karakteristik kematangan seseorang adalah ia tidak tergantung pada orang lain, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, obyektif, dan kritis, emosionalnya stabil, tidak gampang tersinggung dan naik pitam.<br />
<br />
2. Berorientasi pada tugas dan hasil<br />
<br />
Berbagai motivasi akan muncul dalam bisnis jika kita berusaha menyingkirkan prestise. Kita akan mampu bekerja keras, enerjik, tanpa malu dilihat teman, asal yang kita kerjakan adalah halal.<br />
<br />
3. Pengambilan Resiko<br />
<br />
Wirausaha penuh resiko dan tantangan, seperti persaingan, harga turun naik, barang tidak laku dan sebagainya. Namun semua tantangan ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan.<br />
<br />
4. Kepemimpinan<br />
<br />
Pemimpin yang baik harus mau menerima kritik dari bawahan, ia harus bersifat<br />
responsive.<br />
<br />
5. Keorisinilan<br />
<br />
Yang dimaksud orisinal di sini ialah tidak hanya mengekor pada orang lain, tetapi memiliki pendapat sendiri, ada ide yang orisinil, ada kemampuan untuk melaksanakan sesuatu. Orisinil tidak berarti baru sama sekali, tetapi produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari komponen – komponen yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru.<br />
<br />
5. Berorientasi ke masa depan<br />
<br />
Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan, seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah – langkah yang akan dilaksanakan.<br />
<br />
<br />
7. Kreativitas<br />
<br />
Menurut Conny Setiawan (1984:8), kreativitas diartikan sebaga kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Produk baru artinya tidak perlu seluruhnya baru, tapi dapat merupakan bagian – bagian produk saja.<br />
<br />
Contoh: Seorang wirausaha membuat berbagai kreasi dalam kegiatan usahanya, seperti susunan barang, pengaturan rak pajangan, menyebarkan brosur promosi dsb.<br />
<br />
Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi – kombinasi baru atau melihat hubungan – hubungan baru antara unsure, data, variable; yang sudah ada sebelumnya.<br />
<br />
8. Konsep 10 D dari Bygrave<br />
<br />
• Dream<br />
<br />
Seorang wirausaha mempunyai visi bagaimana keinginannya terhadap <br />
masa depan pribadi dan bisnisnya dan yang paling penting adalah dia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impian tsb.<br />
<br />
• Decisiveness<br />
<br />
Seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja lambat. Kecepatan dan ketepatan dia mengambil keputusan adalah merupakan factor kunci (key factor) dalam kesuksesan bisnisnya.<br />
<br />
• Doers<br />
<br />
Seorang wirausaha tidak mau menunda – nunda kesempatan yang dapat di manfaatkan.<br />
<br />
• Determination<br />
<br />
Seorang wirausaha dalam melaksanakan kegiatannya memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan tidak mau menyerah, walaupun dia dihadapkan pada halangan atau rintangan yang tidak mungkin diatasi<br />
<br />
• Dedication<br />
<br />
Dedikasi seorang wirausahawan sangat tinggi, semua perhatian dan kegiatannya dipusatkan semata – mata untuk kegiatan bisnisnya.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
• Devotion<br />
<br />
Devotion berarti kegemaran atau kegila – gilaan. Hal inilah yang mendorong dia mencapai keberhasilan yang sangat efektif untuk menjual produk yang ditawarkannya, karena seorang wirausahawan akan mencintai pekerjaan bisnisnya.<br />
<br />
• Details<br />
<br />
Seorang wirausahawan akan selalu memperhatikan factor – factor kritis. Dia tidak akan mengabaikan factor – factor kecil tertentu yang dapat menghambat kegiatan usahanya.<br />
<br />
• Destiny<br />
Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap nasib dan tujuan yng hendak dicapainya.<br />
<br />
• Dollars<br />
Wirausahawan tidak sangat mengutamakan kekayaan, motivasinya bukan <br />
memperoleh uang, akan tetapi uang dianggap sebagai ukuran kesuksesan bisnisnya.<br />
<br />
• Distribute<br />
<br />
Seorang wirausahawan bersedia mendistribusikan kepemilikan bisnisnya terhadap orang – orang kepercayannya, yaitu orang – orang yang kritis dan mau diajak untuk mencapai sukses dalam bidang bisnis.<br />
<br />
<br />
9. Beberapa Kelemahan Wirausaha Indonesia<br />
<br />
Kelemahan tsb adalah:<br />
<br />
• Sifat mentalitet yang meremehkan mutu<br />
• Sifat mentalitet yang suka menerabas<br />
• Sifat tak percaya kepada diri sendiri<br />
• Sifat tak berdisiplin murni<br />
• Sifat mentalitet yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh<br />
Masyarakat kita begitu cepat ingin menikmati waktu santai walaupun penghasilannya belum begitu tinggi.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
10. Pemanfaatan Waktu<br />
<br />
Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk santai. Tapi seyogyanyalah kita menggunakan waktu lebih banyak untuk kegiatan produktif. Bagi wirausahawan hari libur tidak banyak, bahkan mereka menganggap hari libur sebagai peluang bisnis, mereka tidak libur, tapi melayani kebutuhan masyarakat yang sedang berlibur. Seorang wirausahawan sejati adalah seorang yang dapat bekerja dalam satu tim, bias mempercayai orang lain, tidak bekerja sendiri, one-man show.<br />
<br />
Bagi wirausahawan, tentu pembicaraan lebih focus pada bisnis, mana ancaman, yang<br />
harus dihindarkan, dan mana peluang yang dapat dimanfaatkan, bertukar pikiran dengan relasi adalah bahan pembicaraan utama para pelaku bisnis.<br />
<br />
6<br />
Jalan Menuju Wirausaha<br />
<br />
<br />
1. Mau bekerja keras<br />
<br />
Kerja keras merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang. Sikap kerja kerasharus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Dalam hal ini, unsur disiplin memainkan peranan penting.<br />
<br />
2. Bekerjasama dengan orang lain<br />
<br />
Perbanyaklah teman dengan orang – orang dibawah ataupun dengan orang – orang diatas kita. Seorang wirausahawan yang mudah bergaul, disenangi oleh masyarakat, sehingga memudahkannya bekerja sama dalam mencapai keberhasilan.<br />
<br />
3. Penampilan baik<br />
<br />
Pribadi yang baik dan jujur akan disenangi orang di mana – mana dan akan sukses bekerja sama dengan siap saja.<br />
<br />
4. Yakin<br />
<br />
Kita harus memiliki keyakinan diri, bahwa kita akan sukses melakukan suatu usaha, jangan ragu dan bimbang. Self confidence ini diimplentasikan dalam tindakan sehari – hari, melangkah pasti, tekun, sabar, tidak ragu – ragu.<br />
<br />
<br />
<br />
5. Pandai membuat keputusan<br />
<br />
Jika anda dihadapkan pada alternatif, harus memilih, maka buatlah pertimbangan yang matang. Kumpulkan berbagai informasi, boleh minta pendapat orang lain, setelah itu ambil keputusan, jangan ragu – ragu.<br />
<br />
6. Mau menambah ilmu pengetahuan<br />
<br />
Pendidikan ini bukan berarti harus masuk perguruan tinggi, melainkan pendidikan dalam bentuk kursus – kursus, penataran di kantor, membaca buku dsb.<br />
<br />
7. Ambisi untuk maju<br />
<br />
Orang – orang yang gigih dalam menghadapi pekerjaan dan tantangan, biasanya banyak berhasil dalam menghadapi pekerjaan dan tantangan, biasanya banyak berhasil dalam kehidupan. Apapun jenis pekerjaan yang dilakukan, profesi apapun yang dihadapi, kita harus mampumelihat ke depan dan berjuang untuk menggapai apa yang diidam – idamkan.<br />
<br />
8. Pandai berkomunikasi<br />
<br />
Pandai berkomunikasi berarti pandai mengorganisasi buah pikiran ke dalam bentuk ucapan – ucapan yang jelas, menggunakan tutur kata yang enak didengar, mampu menarik perhatian orang lain. Komunikasi yang baik, diikuti dengan perilaku jujur, konsisten dalam pembicaraan akan sangat membantu seseorang dalam mengembangkan karir masa depannya.<br />
<br />
7<br />
Etika Wirausaha<br />
<br />
<br />
1. Gejala tidak jujur di masyarakat<br />
<br />
Merosotnya rasa solidaritas, tanggung jawab social , dan tingkat kejujuran dikalangan kelompok bisnis dan anggota masyarakat, merupakan gejala umum, dan meruntuhkan teori – teori soliditas, likuiditas, bonafiditas, yang menyangkut kepercayan, bisa dipercaya dari segi moral, segi keuangan, tepat bila berjanji. Dalam dunia bisnis, semua orang tidak mengharapkan memperoleh perlakuan tidak jujur dari sesamanya.<br />
<br />
Praktek manipulasi tidak akan terjadi jika dilandasi moral yang tinggi. Moral dan<br />
tingkat kejujuran rendah akan menghancurkan tata nilai etika bisnis itu sendiri.<br />
<br />
2. Pengertian etika<br />
<br />
Etika ialah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral yang dilakukan seseorang. Keputusan etika ialah suatu hal yang benar mengenai perilaku standar. Etika bisnis mencakup hubungan antara perusahaan dengan orang yang menginvestasi uangnya dalam perusahaan, dengan konsumen, pegawai kreditur, saingan dan sebagainya. Orang – orang bisnis diharapkan bertindak etis dalam berbagai aktivitasnya di masayarakat.<br />
<br />
3. Keuntungan menjaga etika<br />
<br />
Menjaga etika adalah suatu hal yang sangat penting untuk melindungi reputasi<br />
perusahaan. Masalah etika ini selalu dihadapi oleh para manajer dalam keseharian kegiatan bisnis, namun harus selalu dijaga terus menerus, sebab reputasi sebagai perusahaan yang etis tidak dibentuk dalam waktu pendek, tapi akan terbentuk dalam jangka panjang. Dan ini merupakan asset yang tak ternilai sebagai goodwill bagi sebuah perusahaan.<br />
<br />
4. Konsumerisme<br />
<br />
Konsumerisme adalah gerakan protes dari para konsumen atau masyarakat, karena perlakuan para pengusaha/wirausaha yang kurang baik dalam melayani konsumen. Artinya bahwa konsumerisme ialah suatu tindakan dari individu atau organisasi konsumen, lembaga pemerintah dan perusahaan sebagai jawaban ketidakpuasan yang diterima dalam hubungan dengan jual beli<br />
<br />
Hak – hak konsumen :<br />
<br />
- Hak untuk memilih, jangan hanya ditawarkan komoditi satu jenis saja, tanpa ada pilihan.<br />
- Konsumen berhak memperoleh informasi dari produsen, terhadap barang yang akan dibeli, baik mengenai bahan, cara pemakaian, daya tahan, dsb.<br />
- Jika ada keluhan konsumen, harus didengar. Jika ada tuntutan konsumen harus segera diperhatikan oleh produsen.<br />
- Apabila konsumen menggunakan produk, harus dijaga keselamatan konsumen,jangan sampai barang yang telah dibeli membahayakan konsumen terutama dalam hal mainan anak – anak , atau obat.<br />
<br />
5. Masalah polusi<br />
<br />
Green Marketing adalah mendesain kegiatan marketing untuk melestarikan lingkungan, agar menimbulkan citra baik terhadap perusahaan. Usaha melestarikan lingkungan ini bisa berbentuk kegiatan menanam pepohonan dilingkungan perusahaan, mengolah air limbah sebelum dibuang ke selokan /sungai , memberi filter udara pada cerobong asap pabrik, mengurangi polusi tanah, dengan recycling atau mengolah kembali sampah yng dihasilkan pabrik dsb. Para pengusaha berkeyakinan bahwa kebijaksanaan green marketing yang dilancarkan oleh perusahaan , akan berpengaruh terhadap keputusan membeli konsumen terhadap suatu produk.<br />
<br />
<br />
6. Budaya perusahaan<br />
<br />
Untuk menanamkan kebiasaan baik pada karyawan, maka perlu dikembangkan budaya perusahaan dalam sebuah organisasi. Budaya Perusahaan ialah karakteristik suatu organisasi perusahaan yang mencakup pengalaman, cerita, kepercayaan dan norma –<br />
norma bersama yang dianut oleh seluruh jajaran perusahaan. Jika pada sebuah perusahaan ada kebiasaan – kebiasaan yang kurang baik, ini harus cepat diubah. <br />
<br />
Kemampuan mengubah budaya perusahaan merupakan kunci keberhasilan menyusun<br />
dan melaksanakan strategi perusahaan untuk masa depan. Dalam hal ini, contoh atausuri tauladan dari unsur pimpinan sangat berpengaruh terhadap pembentukan budayaperusahaan. Oleh sebab itu pengembangan budaya perusahaan hrus dilakukan, karena sanga bermanfaat untuk : meningkatkan sense of identity, sense of belonging, komitmen bersama, stabilitas internal perusahaan, pengendalian sifat – sifat yang kurang baik, dan akhirnya akan menjadi pembeda satu perusahaan dengan perusahaan lain dan akhirnya akan menimbulkan citra tersendiri bagi kemajuan perusahaan.<br />
<br />
<br />
Daftar Pustaka :<br />
- Materi Kewirausahaan Kadin Sulawesi Selatan<br />
- Kewirausahaan, Penerbit ALFABETA Bandungsyamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-34352411671835501872011-10-19T01:01:00.000-07:002011-10-19T01:01:49.031-07:00KETIKA KPK MENJADI “SENJATA MAKAN TUAN”Lahirnya KPK merupakan sebuah terobosan baru dalam penegakan hokum yang ada di Indonesia, pada hakikatnya lembaga ini dibentuk untuk menjerat para koruptor-koruptor tingkat menengah keatas, yang menggigit uang Negara hingga menyengsarakan orang banyak. Terbentuknya KPK memiliki dampak yang signifikan perihal mengenai korupsi yang dilakukakan kalangan tingkat elite, hingga beberapa petinggi bangsa ini menjadi mangsanya dan berhasil menjadi santapannya, dampak signifikan dalam dunia penegakan hokum ini mendapat simpatik dari masyarakat tentang hal tersebut, seiring dengan berjalanya waktu lembaga ini makin memperlihatkan eksistensinya sehingga dari simpatik itulah akhirnya public menaruh harapan besar bagi lembaga ini untuk mengawal problematika tindak pidana korupsi yang ada di negri ini.<br />
Pada saat lembaga ini ingin menampakkan sebuah kesempurnaan dengan membidik mangsanya yang tidak lain merupakan tuannya yang telah menjadikan ia senjata pamungkas negri ini, hal ini membuat beberapa kalangan elite resah dan gelisa karna terusik dengan lembaga ini khususnya bidikan yang ingin di jadikan mangsanya. Olehnya itu dengan berbagai cara dan upaya secara perlahan eksistensi kpk mulai merosot dengan adanya beberapa kisruh yang melibatkan para petinggi kpk, yang kemungkinan besar menurut banyak kalangan merupakan sebuah scenario panjang yang dilakukan oleh beberapa oknum yang terusik dengan hal tersebut, sehingga mencari sela untuk bagaimana mengamankan diri dari. <br />
<br />
Seiring dengan hal tersebut kepercayaan public terhadap kpk juga ikut merosot, banyak kalangan yang menilai dengan adanya berbagai kisruh yang terjadi di tubuh kpk membuat lembaga ini kehilangan giginya hingga tak bisa memakan mangsa yang kuat.<br />
itulah Issue Pembubaran Kpk Yang Semaki Marak Dibicakan Akhir-Akhir Ini, Membuat Banyak Pihak Untuk Angkat Bicara Tentang Kontroversi Kpk Dimana Ketika Kpk Ingin Menjadi Sebuah Pedang Yang Tajam Yang Menebas Tanpa Pandang bulu sesuai dengan apa yang di peritahkan.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-81702636764547602932011-10-10T00:33:00.000-07:002011-10-10T00:33:18.731-07:00relevansi pidana matiPIDANA MATI<br />
Perdebatan mengenai hukuman mati di Indonesia, sebenarnya adalah telah menjadi diskursus sosial yang panjang, terutama dalam bidang ilmu hukum. Pihak yang mendukung pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, menyatakan bahwa debat ini sudah selesai dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007 dan No. 21/PUU-V/2008 yang menyatakan bahwa pidana mati adalah konstitusional. Namun sebagai “anak hukum” kita sadar bahwa hukum positif (ius constitutum) adalah norma yang terikat dengan ruang dan waktu, sehingga hukum yang berlaku di masa lalu, bisa jadi tidak berlaku lagi di masa depan. Karena itu, diskusi ini nampaknya belum akan berakhir, belum, hingga hukuman mati benar-benar dihapus dari bumi pertiwi.<br />
Hukuman Mati adalah….<br />
Mengapa hukuman mati mendapat tempat perdebatan tersendiri, jauh melebihi jenis hukuman lain yang dikenal dalam sistem pemidanaan di dunia? Ya, itu karena sifatnya yang “unik”. Dilihat dari aspek sederhana dari Hak Asasi Manusia, hukuman mati mencabut aspek paling penting yang menyebabkan seseorang disebut manusia, yaitu “hidup”. Hukuman mati (capital punishment/ death penalty) adalah hukuman yang final dan irrevocable dalam artian terpidana tidak dapat dikembalikan lagi apabila di kemudian hari dinyatakan tidak bersalah. Sejak jaman dahulu pun, para sarjana telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hukuman mati. Seperti Cesare Beccaria dalam bukunya On Crimes and Punishment (1764) menyatakan, “Capital Punishment was both inhumane and ineffective; an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment.” Pernyataan ini dikuatkan kembali oleh Hakim Chaskalson dalam putusan kasus S vs Makwanyane (1995) yang menghapus hukuman mati dalam sistem hukum Afrika Selatan, berbunyi, ”Death is the most extreme form of punishment to which a convicted criminal can be subjected. Its execution is final and irrevocable. It puts an end not only the right to life itself, but to all other personal rights…” Gerakan menghapus hukuman mati di Indonesia bukannya tanpa argumen. Di bawah ini adalah alasan, mengapa hukuman mati tak pantas lagi diberlakukan di Indonesia.<br />
Hukuman Mati Melanggar Hak Hidup<br />
Alasan ini adalah alasan yang paling klasik (basi: red), namun hal ini tentu tak dapat dipungkiri bahwa hukuman mati mencabut hak individu untuk tetap dapat hidup. Masalahnya, apakah pencabutan hak untuk hidup diperkenankan? Undang-undang Dasar 1945 pasal 28A menyatakan bahwa ,”setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Lebih lanjut, pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan ,”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Konstitusi tertulis kita tersebut bahkan memiliki standar yang lebih tinggi terhadap hak untuk hidup dibanding dengan ICCPR article 6 (diratifikasi melalui UU No 12 tahun 2005) yang menyatakan bahwa “no one shall arbitrarily deprived of his life” atau “tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.” Bandingkan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Para pendukung hukuman mati tentu mengeluarkan “senjata” bahwa pembatasan HAM diatur di konstitusi, yaitu pasal 28J UUD 1945. Untuk pendapat ini, Prof Maria Farida dalam putusan MK No. 013/PUU-I/2003 berpendapat bahwa pembatasan hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh Pasal 28J ayat (1) tidak dapat diberlakukan pada hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, karena adanya frasa “dalam keadaan apapun.” Hal itu dikuatkan oleh pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, S.H ,”sebab jika ketujuh HAM yang tercantum dalam pasal 28I ayat (1) masih bisa diterobos oleh pembatasan yang dilakukan dalam Pasal 28J, berarti tidak ada lagi perbedaan antara ketujuh HAM itu dengan HAM lainnya.” Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 menempatkan hak untuk hidup sebagai hak asasi yang sangat penting (the supreme rights) yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable).<br />
<br />
Efek Jera Hukuman Mati Dipertanyakan<br />
Pertanyaannya bukanlah apakah hukuman mati menghasilkan efek jera (semua jenis hukuman menghasilkan efek jera tertentu), namun apakah hukuman mati menghasilkan efek jera (detterent effect) yang lebih tinggi daripada hukuman penjara dalam waktu lama atau bentuk hukuman berat lainnya. Apabila hukuman mati tidak menghasilkan efek jera yang lebih tinggi daripada hukuman penjara dalam waktu lama, maka tentu telah terjadi pengurangan yang “sewenang-wenang” terhadap hak untuk hidup. Secara logika, efek “ketakutan” yang ditimbulkan oleh hukuman mati mungkin masuk akal mengurangi tindak kejahatan, namun tidak terdapat fakta empiris maupun hasil riset yang mendukung logika tersebut, hasil riset justru menunjukkan sebaliknya. Murder rate (laju pembunuhan tiap 100.000 orang) di Amerika Serikat yang masih memberlakukan hukuman mati, mencapai tiga kali lipat dari laju pembunuhan di negara-negara Eropa, yang telah menghapus hukuman mati (British Home Office, 1997-1998). Di Amerika Serikat pun, murder rate di negara bagian yang telah menghapus hukuman mati, lebih rendah daripada di negara bagian yang masih memberlakukannya (Death Penalty Information Center, 2004). Untuk menerapkan hukuman mati yang sifatnya irrevocable, sudah selayaknya didasarkan pada data dan hasil riset yang mendalam (terutama mahasiswa UI: world class research university), tidaklah bertanggung jawab untuk mempertahankan hukuman mati dengan mendasarkan efektifitasnya pada spekulasi dan asumsi semata.<br />
<br />
Hukuman Mati tak Sesuai dengan Filosofi Pemidanaan Indonesia<br />
Pemberlakuan hukuman, termasuk hukuman mati, tidak dapat dilepaskan dari tujuan dan latar belakang penghukuman itu sendiri. Tujuan dan latar belakang pemidanaan tersebut tak lain tercakup dalam filosofi pemidanaan yang berlaku di suatu negara. Di Indonesia, filosofi ini tersirat dari cuplikan Putusan MK 013/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive) tidak lagi menjadi acuan dari sistem pemidanaan di negara ini yang lebih merujuk pada asas preventif dan edukatif. Dalam UU no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan tindak pidana, bukan justru Narapidana yang bersangkutan. Pendapat Prof. Dr Andi Hamzah, S.H dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia (dari Retribusi ke Reformasi) juga memperkuat argumen diatas, dimana tujuan yang berlaku sekarang ini adalah perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat dan perbaikan (reformasi) penjahat itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Dr. Todung Mulya Lubis yang menekankan rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana dalam filosofi pemidanaan Indonesia. Dihubungkan dengan hukuman mati, maka jelas bahwa hukuman mati adalah sanksi yang menitikberatkan pada “balas dendam”, dimana kejahatan dibalas dengan penghukuman yang setimpal (lex talionis: eye for an eye, tooth for tooth), yang mana dapat ditarik kesimpulan sudah tidak compatible dengan filosofi pemidanaan Indonesia saat ini.<br />
<br />
Tren Internasional Penghapusan Hukuman Mati<br />
Setiap negara berdaulat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk untuk memberlakukan hukuman mati. Meskipun begitu, perlu diketahui bahwa di dunia, saat ini, terdapat kecenderungan negara-negara untuk menghapuskan hukuman mati. Dari 197 negara atau teritori yang ada di dunia, 129 sudah tidak menerapkan hukuman mati. Dari 129 negara atau teritori tersebut, 88 di antaranya telah menghapus hukuman mati untuk semua jenis pidana secara eksplisit dalam peraturan perundangan (abolitionist for all crimes), 11 negara telah menghapus hukuman mati untuk pidana biasa (abolisionist for ordinary crimes only), dan 30 telah menghapus hukuman mati dalam praktik (abolisionist in practice). Dalam 25 tahun (1981-2006), negara yang tergolong abolisionist for all crimes meningkat dari 25 menjadi 88 negara. Peningkatan yang sangat signifikan, 300 persen. Hal ini berarti bahwa terdapat kesadaran internasional yang meluas bahwa hak untuk hidup adalah hak yang universal. Fakta ini seharusnya menjadi pertanda bahwa hukuman mati sudah mulai kehilangan eksistensinya di bumi ini.<br />
<br />
Hukuman Mati akan Dihapuskan<br />
Begitulah harapan dari para penentang hukuman mati di Indonesia, bahwa suatu saat hukuman mati akan dihapuskan, dan Indonesia bergabung dengan 129 negara lain yang terlebih dahulu menghapuskannya. Alasan-alasan diatas adalah senjata utamanya, belum lagi berbagai alasan yang tak sempat tersampaikan dalam tulisan ini. Penghapusan hukuman mati di Indonesia, memang tak hanya melibatkan aspek hukum, namun juga politik, sosial, bahkan agama. Oleh karena itu, langkah penghapusan tersebut masih akan panjang. <br />
Hukuman mati yang dialamatkan kepada tibo cs masih menuai kontroversi sampai hari ini. eksekusi memang tinggal menghitung hari, namun perdebatan panjang layak tidaknya hukuman mati masih bergulir di kalangan masyarakat.<br />
tidak sedikit pakar yang telah mengemukakan wacananya untuk menghapus penerapan pidana mati di indonesia. sebagian besar pakar tersebut mendasari argumentasinya dari perpektif kemanusiaan (ham) hingga perspektif hukum (positif) yang mengandung kerancuan di beberapa pasal.<br />
pandangan hukum<br />
perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari peraturan-peraturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. dalam tata urutan peraturan perundangan di indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. karena konstitusi dalam tata hukum indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus amandemen. pro kontra penerapan pidana hukuman mati di indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu, (1) bahwa hukuman mati tidak melanggar ham karena pelaku telah melanggar ham korban dan ham masyarakat. parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar ham dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana ham korban kejahatan itu di langgar. selanjutnya (2) hukuman mati dinilai melanggar ham karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada.<br />
pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. karena itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. sehingga hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati. walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.<br />
meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar konstitusi ri uud 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. pasal 28a uud ‘45 (amandemen kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.<br />
sementara itu pasal 28i ayat (1) uud ‘45 (amandemen kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.<br />
peninjauan ulang<br />
atas dasar pertimbangan di atas, mau tidak mau, hukuman mati harus ditolak atau ditinjau kembali mengingat beberapa alasan yang meliputi; pertama, karakter reformasi hukum positif indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. kasus hukuman mati sengkon dan karta yang lampau di indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.<br />
kedua, dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. kajian pbb tentang hubungan hukuman mati (capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.<br />
ketiga, meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.<br />
keempat, hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat ham dengan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis bahkan dituntut hukuman mati.<br />
kelima, penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum indonesia yang kontradiktif. salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif indonesia. padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. pasal 28i ayat (1) uud ‘45 (amandemen kedua) adalah bukti kongkret argumentasi ini.<br />
keenam, sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. pemerintah ri sering mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah arab saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada para wni-nya di luar negeri, seperti pada kasus kartini, seorang tkw, dengan alasan kemanusiaan. namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati terhadap wni dan wna di dalam negeri ri.<br />
Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia. Dari pendekatan historis dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan. Dalam perkembangannya teori ini mengalami perubahan yang signifikan. Pemidanaan tidak lagi ditujukan pada efek jera akan tetapi lebih kepada rehabilitasi terhadap terpidana, yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat. Bagaimana dengan pidana mati itu sendiri?<br />
Kontroversi pidana mati di Indonesia mengemuka terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden di tahun 2003 yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada dua mainstream wacana yang berhadap-hadapan dalam perdebatan tersebut yakni yang setuju terhadap pidana mati dan pada pihak lain tidak setuju terhadap pidana mati.<br />
Secara singkat pihak yang setuju berargumentasi bahwa pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum posistif Indonesia. Pihak yang tidak setuju menyatakan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD 45 yang mengutip pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable human right).<br />
Jika menggunakan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera akan muncul pertanyaan penting apakah betul dengan adanya pidana mati dapat dikurangi angka kejahatan? Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara pidana mati dan penurunan angka kejahatan. Bila ada yang berpendapat pidana mati bisa menimbulkan efek jera, hal itu tidak benar. Di Inggris dua ratus tahun yang lalu, para pencopet selalu dipidana mati dengan cara digantung di lapangan terbuka di depan publik. Ironisnya saat pelaksanaan pidana mati tersebut berlangsung para pencopet justru beraksi.<br />
Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati misalnya dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi UU.<br />
Dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa berharap sebuah keputusan yang adil dalam dunia peradilan yang masih korup. Tampaknya tidak arif kalau kita menyerahkan wewenang yang begitu besar yang menyangkut nyawa seseorang terhadap lembaga peradilan masih korup.<br />
Perlu dicatat sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati, maka sepanjang itu pula penjatuhan pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati.<br />
Dalam RUU KUHP baru, mengandung pemikiran “reformasi” tentang pidana mati yang menetapkan sebagai (1) “pidana khusus” (2) “pidana mati percobaan” (3) kalau 10 tahun tidak dilaksanakan, maka “otomatis” menjadi seumur hidup. Rumusan KUHP ini sudah cukup terlihat mengakomodir perdebatan tentang pidana mati, ada baiknya hal ini dapat “ditiru” oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang mencantumkan ancaman pidana mati.<br />
Tampaknya mustahil kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang-undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana mati. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-ivEmzchX5AU/TpKfjqCy6mI/AAAAAAAAADQ/qM_Lr1B-rGA/s1600/Foto0750.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="240" width="320" src="http://1.bp.blogspot.com/-ivEmzchX5AU/TpKfjqCy6mI/AAAAAAAAADQ/qM_Lr1B-rGA/s320/Foto0750.jpg" /></a></div>syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-7798109019076679082011-10-10T00:22:00.000-07:002011-10-10T00:22:42.669-07:00PENGAWASAN KEBIJAKAN DPRD<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-ELG7mrjzKr8/TpKdJ5TQRNI/AAAAAAAAADA/C6DrEmlmjMA/s1600/Foto0309.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="240" width="320" src="http://4.bp.blogspot.com/-ELG7mrjzKr8/TpKdJ5TQRNI/AAAAAAAAADA/C6DrEmlmjMA/s320/Foto0309.jpg" /></a></div><br />
Oleh :<br />
KELOMPOK VII<br />
SAMSUL RIJAL<br />
SUFRIAMAN<br />
SURYANI<br />
SYASRONI<br />
ILMU HUKUM 2<br />
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN ALAUDDIN MAKASSAR<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
<br />
A.Latar Belakang<br />
Kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigm pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.<br />
DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai Kota/Kabupaten ataupun provinsi banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. <br />
Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di Negara kita. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini.<br />
B.Rumusan Masalah <br />
1.Menjelaskan Implementasi Peran dan Fungsi DPRD!<br />
2.optimalisasi fungsi DPRD dalam pengawasan kepada pemerintah?<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
PEMBAHASAN<br />
<br />
DPRD adalah Lembaga Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk di setiap propinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legilsatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungannya dengan Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyeburkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU, dan Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda), baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah.<br />
Oleh karena itu, sesungguhnya DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, berdasarkan ketentuan UU No.22/1999 berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.<br />
<br />
Fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No.22/1999, Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah.<br />
Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwa sebenarnya, lembaga parlemen itu adalah lembaga politik, dan karena itu pertama-tama haruslah dipahami sebagai lembaga politik. Sifatnya sebagai lembaga politik itu tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan, sedangkan fungsi legislasi lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak membutuhkan prasyarat-prasyarat dan dukungan-dukungan yang teknis pula. Sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggota parlemen itu adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis daripada politis. Meskipun seseorang bergelar Prof. Dr. jika yang bersangkutan tidak dipercaya oleh rakyat, ia tidak bisa menjadi anggota parlemen. Tetapi, sebaliknya, meskipun seseorang tidak tamat sekolah dasar, tetapi ia mendapat kepercayaan dari rakyat, maka yang bersangkutan paling ‘legitimate’ untuk menjadi anggota parlemen.<br />
Sesuai fungsinya sebagai lembaga pengawasan politik yang kedudukannya sederajat dengan pemerintah setempat, maka DPRD juga diberi hak untuk melakukan amandemen dan apabila perlu menolak sama sekali rancangan yang diajukan oleh pemerintah itu. Bahkan DPRD juga diberi hak untuk mengambil inisiatif sendiri guna merancang dan mengajukan rancangan sendiri kepada pemerintah (Gubenur atau Bupati/Walikota).<br />
Dengan demikian, semestinya semua anggota DPRD propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan perannya sebagai wakil rakyat yang secara aktif mengawasi jalannya pemerintahan di daerah masing-masing dengan sebaik-baiknya. Instrumen yang dapat digunakan untuk itu adalah segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rencana anggaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Sudah tentu untuk melaksanakan fungsi-fungsi DPRD, termasuk fungsi legislasi dan fungsi anggaran, setiap anggota DPR perlu menghimpun dukungan informasi dan keahlian dari para pakar di bidangnya. Informasi dan kepakaran itu, banyak tersedia dalam masyarakat yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat banyak. Apabila mungkin, setiap anggota DPR juga dapat mengangkat seseorang ataupun beberapa orang asisten ahli untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Jika belum mungkin, ada baiknya para anggota DPRD itu menjalin hubungan yang akrab dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat, dengan tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa di daerahnya masing-masing, dan bahkan dari semua kalangan seperti pengusaha, kaum cendekiawan, tokoh agama, tokoh budayawan dan seniman, dan sebagainya. Dari mereka itu, bukan saja dukungan moril yang dapat diperoleh, tetapi juga informasi dan pemahaman mengenai realitas yang hidup dalam masyarakat yang kita wakili sebagai anggota DPRD. Atas dasar semua itu, setiap anggota DPRD dapat secara mandiri menyuarakan kepentingan rakyat yang mereka wakili, sehingga rakyat pemilih dapat benar-benar merasakan adanya manfaat memberikan dukungan kepada para wakil rakyat untuk duduk menjadi anggota DPRD.<br />
<br />
Kemitraan DPRD dengan Eksekutif<br />
Pilkada langsung telah memberikan warna yang berbeda terhadap pola hubungan kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan kepada daerah disebabkan adanya perubahan yang mendasar pada sistem pemilihan dan pertanggungjawaban seorang kepala daerah. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004, kepala daerah tidak lagi dipilih dan juga tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat, serta pertanggungjawaban diberikan kepada pemerintah dan publik. Berbeda dengan Undang-Undang 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada DPRD untuk menentukan nasib seorang kepala daerah dalam perjalanan kariernya.<br />
Kewenangan besar yang dimiliki DPRD pada masa 1999-2004 sayangnya tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, bahkan menimbulkan ekses yang berkepanjangan, hingga saat ini masih banyak kasus diungkap pihak penegak hukum berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang. Semangat otonomi daerah yang dikembangkan Undang-undang No 22 Tahun 1999 hanya berusia tiga tahun saja. Pengalaman yang kurang baik tersebut menjadi pendorong lahirnya Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yang penekanannya mengarah kepada pilkada langsung, yang titik berat pertanggungjawaban kepala daerah tampaknya ditarik kembali ke pusat. Apakah ini menandakan akan bergeser semangat desentralisasi kepada sentralisasi kembali? Tidak mudah untuk menjawab hal tersebut karena kita masih harus melihat praktik di lapangan aktivitas-aktivitas yang merupakan representasi adanya perubahan tersebut, misanya apakah pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap eksekutif akan lebih produktif sehingga pemerintah daerah benar dalam menjalankan fungsi-fungsi eksekutifnya, walaupun sampai saat ini masih menyisakan pertanyaan mendasar mengenai mekanisme dan bentuk pertanggungjawabannya. Selain itu pasal 27 ayat 2 Undang-undang 32 tahun 2004 menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut hanya sebatas "menginformasikan" saja. Sejauh mana respons masyarakat memengaruhi kinerja dan karier kepala daerah, belum ada kejelasan.<br />
Kenyataan seperti ini, berimbas pada pola hubungan yang terjadi antara DPRD dengan kepala daerah. Pasal 19 ayat 2 undang-undang ini mengatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD, kemudian pada pasal 40 ditegaskan bahwa DPRD berkedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, yang bersama-sama dengan kepala daerah membentuk dan membahas Perda dan APBD (pasal 42 ayat 1 huruf a.,b.) Melihat konteks seperti ini, maka pola hubungan yang dikembangkan adalah kemitraan atau partnership. Dalam pola hubungan seperti ini, DPRD tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, dan sebaliknya kepala daerah tidak memiliki akses untuk membubarkan DPRD.<br />
Hubungan kemitraan pada realisasinya tidak hanya didasarkan pada peraturan-peraturan perundangan semata akan tetapi juga mengacu pada nilai dan budaya yang berkembang dalam masyarakat lokal, sehinga dapat dijalin hubungan yang harmonis, saling menghargai, menghormati dan transparans tanpa harus mengorbankan sikap kritis dan sensitif dari DPRD. Pengalaman yang lalu dapat diambil sebagai pelajaran, hubungan kemitraan yang kebablasan, khususnya dalam hal penyusunan APBD yang terkesan mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok harus dihindarkan. Ada harapan dengan Undang-undang 32 tahun 2004 dikembangkan sikap kemitraan dengan dikawal oleh penegakkan hukum terhadap praktik-praktik KKN di daerah.<br />
Penjabaran dari hubungan yang harmonis harus ditempatkan pada relnya masing-masing. Khusus untuk DPRD, undang-undang memberikan tiga fungsi pokok yaitu : Fungsi Legislasi, anggaran dan pengawasan (pasal 41). Sedangkan kepala daerah memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD (pasal 25, huruf a).<br />
Kepala daerah dalam kedudukannya sebagai kepala eksekutif, selain menguasai APBD juga dilengkapi perangkat yang cukup memadai, baik berupa biro (di provinsi), dinas-dinas daerah (di Kota/kabupaten) maupun lembaga teknis yang kesemuanya merupakan unsur pelaksana. Karena tugasnya yang bersifat administratif dan rutin, maka para unsur pelaksana ini pada umumnya memiliki skill dan wawasan yang memadai di bidangnya masing-masing. Persoalan muncul ketika DPRD sebagai lembaga politik menghadapi para birokrat daerah ini, karena masih ada anggota DPRD yang kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai, selain itu seringkali kurang diback up data atau informasi yang akurat. Disamping itu, berdasarkan penelitian beberapa lembaga, antara lain LIPI dan LAN, dalam era reformasi ini, pada umumnya pelaksanaan fungsi DPRD Kabupaten/Kota masih mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut :<br />
Fungsi legislasi : (1) sebagian besar inisiatif Peraturan Daerah (Perda) datang dari Eksekutif; (2) kualitas Perda masih belum optimal, karena kurang mempertimbangkan dampak ekonomis, sosial dan politis secara mendalam; (3) kurangnya pemahaman terhadap permasalahan daerah. <br />
Fungsi anggaran : (1) belum memahami sepenuhnya sistem anggaran kinerja; (2) belum cukup menggali aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif; (3) kurangnya pemahaman terhadap potensi daerah untuk pengembangan ekonomi lokal. <br />
Fungsi pengawasan : (1) belum jelasnya kriteria untuk mengevaluasi kinerja Eksekutif, karena Daerah belum sepenuhnya menerapkan anggaran kinerja dengan indikator keberhasilan yang jelas; (2) hal tersebut mengakibatkan penilaian yang subjektif; (3) terkadang pengawasan berlebihan dan/atau KKN dengan Eksekutif.<br />
Agar dapat mengimbangi gerak langkah kepala daerah dan unsur pelaksananya, terutama untuk memberikan kinerja yang lebih baik dalam mengembangkan pola hubungan kemitraan ini maka anggota dewan sebagai legislator harus lebih memperkuat fungsinya. Harapannya secara strategis akan terjalin komunikasi politik yang tidak hanya tergantung pada isu maupun insting politik semata tetapi juga terbangun komunikasi model rasional yang mengedepankan pendekatan kognitif berbasis data. Hal tersebut bisa dibangun melalui cara sebagai berikut;<br />
1. Meningkatkan kemampuan legal drafting, <br />
Fungsi legislasi dijalankan DPRD dalam bentuk pembuatan kebijakan bersama-sama dengan kepala daerah, apakah itu dalam bentuk peraturan daerah atau rencana strategis lainnya. Sebagai unsur pemerintahan daerah, DPRD tidak hanya membuat peraturan daerah bersama-sama dengan eksekutif akan tetapi juga mengawasi pelaksanaannya. Untuk menjaga adanya kemitraan yang seimbang, maka anggota dewan perlu memahami dan menguasai kemampuan legal drafting. Hal ini penting karena pada umumnya di pihak eksekutif kemampuan seperti ini telah terorganisasi dan terbina dengan baik dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dari waktu ke waktu.<br />
2. Menyiapkan backing staff dan penguasaan public finance,<br />
Fungsi budgeting merupakan fungsi DPRD yang berkaitan dengan penetapan dan pengawasan penggunaan keuangan daerah. Dalam pelaksanaan fungsi ini, DPRD perlu memikirkan adanya backing staff (staf ahli) dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan public finance. Backing staff ini memiliki arti penting sebagai penyuplai informasi yang akurat yang sangat dibutuhkan anggota dewan dalam merumuskan kebijakan bersama-sama kepala daerah, sedangkan pemahaman public finance perlu terus dikembangkan mengikuti penerapan sistem keuangan pemerintah yang terus berubah. <br />
Fungsi budgeting ini merupakan fungsi yang sensitif dan disinilah biasanya sumber terjadinya perkeliruan dan penyalahgunaan keuangan daerah yang melibatkan kedua unsur pemerintahan daerah tersebut. Kinerja DPRD sangat diharapkan disini dan bersifat strategis karena memiliki hubungan yang signifikan dengan usaha menciptakan clean governance.<br />
3. Mengembangkan prosedur dan teknik-teknik pengawasan, <br />
Pengawasan yang dilakukan DPRD adalah pengawasan politik bukan pengawasan teknis. Untuk itu DPRD dilengkapi dengan beberapa hak, antara lain hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Dengan hak interpelasi maka DPRD dapat meminta keterangan dari kepala daerah tentang kebijakan yang meresahkan dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Hak angket dilakukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dari kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak menyatakan pendapat fungsinya berbeda dengan mosi tidak percaya, karena tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, tetapi hanya berupa pengusulan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Bisa jadi kepala daerah yang bermasalah di tingkat lokal, akan tetapi karena kemampuannya melobi pemerintah di jakarta, yang bersangkutan dapat terus bertahan. Dalam hal seperti ini maka nampak sistem sentralistis kembali berperan.<br />
Fungsi pengawasan DPRD perlu terus dikembangkan baik model maupun tekniknya, karena dengan keberhasilan fungsi ini akan memberikan kredibilitas yang tinggi kepada DPRD. Dapat dipikirkan pula apakah pengawasan akan masuk pada soal-soal administratif, seperti mengawasi projek-projek pembangunan atau pengawasan terhadap daftar anggaran satuan kerja (DASK) yang merupakan kompetensi Bawasda, atau paling tidak DPRD memiliki akses kepada hasil pengawasan Bawasda, tetapi hal inipun harus dipertimbangkan dengan baik, mengingat Bawasda selama ini merupakan bagian dari Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang user-nya adalah kepala daerah.<br />
Sekiranya upaya-upaya penguatan fungsi legislatif tersebut dapat dilaksanakan dengan konsisten dan terprogram, dapat diharapkan adanya peningkatan performance DPRD. Kedepan hal ini merupakan tuntutan mengingat Undang-undang No. 32 tahun 2004 menempatkan DPRD dan kepala daerah sebagai dua unsur pemerintahan daerah yang memiliki hubungan kemitraan yang menuntut adanya kesejajaran dalam kualitas kerja.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
H.A. Kartiwa, Good Local Governance : Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (makalah), 2006.<br />
<br />
Indra Perwira, Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD, KPK Jakarta, 2006.<br />
<br />
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.<br />
<br />
Materi Lokakarya Peningkatan Peran Anggota DPRD, diselenggarakan oleh KPK, Jakarta, 7-8 Juni 2006.<br />
<br />
Yusuf Anwar, Good Governance dalam Rangka Optimalisasi Fungsi dan Peran DPRD, KPK, Jakarta 2006.<br />
<br />
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-25008215340667868832011-10-10T00:18:00.000-07:002011-10-10T00:18:46.273-07:00syamsul rijal lengu: Hukum<a href="http://syamsulrijallengu.blogspot.com/p/hukum.html?spref=bl">syamsul rijal lengu: Hukum</a>syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-68436541873828384082011-10-10T00:17:00.000-07:002011-10-10T00:17:03.850-07:00Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Antara Delik dan Sanksi dalam Persfektif Hukum Islam.A. Pengertian Delik (jarimah) dan Sanksi (al-Uqubah).<br />
Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau larangan-larangan syara’. Adapun jarimah (tindak pidana) menurut pendapat al-Mawardi yakni segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Selanjutnya adapun sanksi (al-Uqubah) adalah hukuman terhadap perbuatan seorang mukallaf yang telah melanggar ketentuan syara’ atau ketentuan hukum islam.<br />
Dari pengertian delik dan sanksi diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa antara jarimah dan sanksi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jadi antara delik dan sanksi merupakan satu kesatuan, dimana delik adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan sanksi adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang pada dasarnya melanggar ketentuan-ketentuan syara’.<br />
B. Hubungan Sebab Akibat (kausalitas) Antara Delik dan Sanksi dalam Persfektif Hukum Islam.<br />
Pada dasarnya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara Delik dan Saksi dalam persfektif hukum islam sangat relevan karena tidak mungkin sanksi itu ada tanpa adanya delik. Dalam artian seseorang baru dapat dikenakan sanksi ketika ia melakukan delik (jarimah), karena tidak mungkin ada akibat tanpa ada sebab. Jadi hubungan sebab akibat antara delik dan sanksi dapat dilihat dari ada atau tidaknya suatu delik, sebab seseorang yang melakukan delik itu sendirilah yang kemudian dikenakan sanksi dalam hukum pidana islam.<br />
Adapun contoh jarimah (tindak pidana) yang disertai hubungan sebab akibat antara delik dan sanksi dalam hukum pidana islam adalah sebagai berikut:<br />
1. Orang yang melakukan delik (jarimah) perampokan atau (hirabah), maka ia dikenakan sanksi berupa pidana mati. Hubungan sebab akibatnya adalah karena ia melakukan delik perampokan akibatnya dia dikenakan sanksi berupa pidana mati. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS al-Maidah ayat 33 mengenai sanksi berupa pidana mati. <br />
2. Orang yang melakukan delik (jarimah) pencurian, maka ia dikenakan sanksi yakni berupa potong tangan. Adapun hubungan sebab akibatnya, yakni dikenakan sanksi berupa potong tangan karena telah melakukan tindak pidana pencurian. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS al-Maidah ayat 38 mengenai sanksi berupa potong tangan. <br />
3. Orang yang melakukan zina, maka ia dikenakan sanksi berupa jilid seratus kali. Adapun hubungan sebab akibatnya karena telah melakukan zina, maka ia dikenakan sanksi berupa jilid sebanyak seratus kali. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS an-Nur ayat 2 mengenai sanksi jilid sebanyak seratus kali. Selanjutnya dalam QS an-Nisa ayat 15-16 mengenai sanksi berupa kurungan atau tahanan didalam rumah sampai mati dan dicaci maki yang berlaku pada permulaan islam.<br />
4. Bagi orang yang menuduh zina (qadzaf), maka akibat hukumnya adalah ia dikenakan sanksi berupa hukuman dera sebanyak delapan puluh kali. Adapun hubungan sebab akibatnya yakni dikenakan sanksi berupa hukuman dera karena telah melakukan zina dan menuduh zina. Adapun landasan hukumnya yakni dalam QS an-Nur ayat 23 mengenai sanksi berupa hukuman dera.<br />
Dari contoh jarimah (tindak pidana) beserta hubungan sebab akibat antara delik dan sanksi diatas dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan yang melanggar ketentuan syara’ masing-masing memiliki sanksi seperti terlihat pada contoh diatas yang disertai dengan landasan hukumnya. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Djazuli, A. fiqih Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam). <br />
Jakarta:PT RajaGrafindo, 2000.<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-mWtwvQziXzs/TpKbtS_U3XI/AAAAAAAAAC4/XWReeMhGE1k/s1600/IMG0311A.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="240" width="320" src="http://2.bp.blogspot.com/-mWtwvQziXzs/TpKbtS_U3XI/AAAAAAAAAC4/XWReeMhGE1k/s320/IMG0311A.jpg" /></a></div><br />
<blockquote><blockquote></blockquote></blockquote>syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-77307128870312245742011-07-03T11:37:00.001-07:002011-07-03T11:47:48.256-07:00SEJARAH DESA TAMALATEDesa tamalate merupakan salah salah satu desa dari delapan desa yang ada di keamatan galesong utara kabupaten takalar, desa tamalate terdiri dari enam dusun yakni dusun soreang, bonto tangnga, tamalate, sampulungan caddi, sampulungan lompo, dan sampulungan beru. desa tamalate sebelumnya memiliki dua unsur pemerintahan yaitu lo’mo sampulungan dan gallarrang soreang, dimana pada saat itu lo’mo sampulungan dipimpin oleh Jaelani Daeng Ngitung, Hamja Daeng Gassing, dan Hasan Basri Daeng Pasolong sedangkan Gallarrang Soreang dipimpin oleh Sulaemana, Hasan Lulung, H. Nanggong Daeng Nguju, dan Patahuddin Daeng Lesang.<br />
<br />
Seiring dengan berjalannya waktu maka pada tahun 1966 dua unsur pemerintahan ini akhirnya memiliki satu konsep kesefahaman yang melahirkan sebuah kesepakatan bahwa unsur pemerintahan lo’mo sampulungan dan gallarrang soreang tersebut digabungkan menjadi satu sehingga lahirlah yang namanya Desa Tamalate dan terbentuklah sebuah tatanan pemerintahan yang baru dari penggabungan tersebut. <br />
<br />
Desa tamalate Dulunya terdiri atas empat dusun yaitu Soreang, Bonto Tangnga, Tamalate, dan Sampulungan Lompo dimana pada saat itu dusun sampulungan caddi bergabung dengan Dusun Tamalate dan Dusun Sampulungan Beru bergabung dengan dusun Sampulungan Lompo. Kepala Desa Tamalate pertama pada saat itu di pimpin oleh H. Rajab Daeng Sikki, dimana masa kepeminpinan tersebut bertahan sampai dua periode (1966-1982), setelah pemerintaha H. Rajab Daeng Sikki maka kemudian Syamsuddin Gassing menjadi Kepala Desa yang kedua pada tahun 1982, pada saat itu pemerintahan ini hanya bertahan selama dua tahun (1982-9184), dan pada setalah pemerintahan Syamsuddin gassing maka pemerintahan tersebut di pimpin ileh H.syamsuddin Daeng Beta pada tahun 1984-2002 dan sepanjang sejarah desa tamalate pemerintahan ini merupakan pemerintahan yang bertahan cukup lama karna bertahan sampai tiga periode yakni delapan belas tahun lamanya. Kemudian pada tahun 2002 desa tamalate dipimpin oleh M. Tahir Bostan selama satu periode (2002-2007).<br />
<br />
Pada tahun 2007 sampai sekarang desa tamalate dipimpin oleh Supriadi Sitonra, S.I.P., dimana pada saat pemerintahan ini terjadi pemekaran dusun dari empat dusun menjadi enam dusun yaitu dusun soreang, bonto tangnga, tamalate sampulungan caddi, sampulungan lompo dan sampulngan beru. <br />
<br />
Desa tamalate selain sebagai desa yang memiliki potensi kelautan, pertanian, juga merupakan desa niaga seiring dengan perkembangan desa tamalate merupakan salah satu desa yang dimininati banyak investor hal ini terbukti dengan adanya beberapa investor yang telah membuat berbagai macam jenis usaha, dan beranjak dari hal tersebut desa tamalate juga merupakan desa yang memiliki penduduk terpadat di Kabupaten takalar.<br />
<br />
Narasumber<br />
1. Hasan Basri Daeng Pasolong<br />
2. Basir Bundu<br />
3. Mahfani Daeng Gassingsyamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-3330886644940425292011-07-03T11:25:00.005-07:002011-07-03T11:25:38.070-07:00UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKATDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
<br />
Presiden Republik Indonesia,<br />
<br />
Menimbang : 1. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan;<br />
2. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;<br />
3. bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum; <br />
4. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat;<br />
5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Advokat.<br />
<br />
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; <br />
2. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81);<br />
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);<br />
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);<br />
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316);<br />
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327);<br />
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344); <br />
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);<br />
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713);<br />
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778);<br />
11. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).<br />
<br />
Dengan Persetujuan Bersama<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />
dan<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
MEMUTUSKAN :<br />
<br />
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT<br />
<br />
BAB I<br />
<br />
KETENTUAN UMUM<br />
<br />
Pasal 1<br />
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:<br />
1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.<br />
2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.<br />
3. Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.<br />
4. Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.<br />
5. Pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk menjaga agar dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur profesi Advokat.<br />
6. Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya ataupun kaitannya dengan organisasi profesi.<br />
7. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien.<br />
8. Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
9. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu.<br />
10. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hukum dan perundang-undangan.<br />
<br />
BAB II<br />
PENGANGKATAN, SUMPAH, STATUS, PENINDAKAN, DAN<br />
PEMBERHENTIAN ADVOKAT<br />
Bagian Kesatu<br />
Pengangkatan<br />
Pasal 2<br />
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. <br />
(2) Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.<br />
(3) Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.<br />
Pasal 3<br />
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :<br />
1. warga negara Republik Indonesia;<br />
2. bertempat tinggal di Indonesia;<br />
3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;<br />
4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;<br />
5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);<br />
6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;<br />
7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;<br />
8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;<br />
9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.<br />
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.<br />
<br />
Bagian Kedua<br />
Sumpah<br />
Pasal 4<br />
1. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.<br />
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :<br />
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :<br />
• bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;<br />
• bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;<br />
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;<br />
• bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;<br />
• bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;<br />
• bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.<br />
3. Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.<br />
<br />
Bagian Ketiga<br />
<br />
Status<br />
<br />
Pasal 5<br />
(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.<br />
(2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.<br />
<br />
Bagian Keempat<br />
Penindakan<br />
Pasal 6<br />
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :<br />
1. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;<br />
2. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;<br />
3. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;<br />
4. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;<br />
5. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;<br />
6. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.<br />
Pasal 7<br />
1. Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:<br />
1. teguran lisan;<br />
2. teguran tertulis;<br />
3. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;<br />
4. pemberhentian tetap dari profesinya.<br />
2. Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.<br />
3. Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.<br />
Pasal 8<br />
1. Penindakan terhadap Advokat dengan jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai dengan kode etik profesi Advokat.<br />
2. Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c atau pemberhentian tetap dalam huruf d, Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah Agung.<br />
<br />
Bagian Kelima<br />
<br />
Pemberhentian<br />
<br />
Pasal 9<br />
(1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.<br />
(2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.<br />
Pasal 10<br />
(1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:<br />
1. permohonan sendiri;<br />
2. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau<br />
3. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.<br />
(2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.<br />
Pasal 11<br />
Dalam hal Advokat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Organisasi Advokat.<br />
<br />
BAB III<br />
PENGAWASAN<br />
Pasal 12<br />
1. Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.<br />
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan. <br />
<br />
Pasal 13<br />
1. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat.<br />
2. Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.<br />
3. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat.<br />
<br />
BAB IV<br />
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT<br />
Pasal 14<br />
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.<br />
Pasal 15<br />
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. <br />
Pasal 16<br />
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. <br />
Pasal 17<br />
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />
Pasal 18<br />
1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.<br />
2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.<br />
Pasal 19<br />
1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. <br />
2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. <br />
Pasal 20<br />
1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.<br />
2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.<br />
3. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.<br />
BAB V<br />
HONORARIUM<br />
Pasal 21<br />
1. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.<br />
2. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.<br />
BAB VI<br />
BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA<br />
Pasal 22<br />
1. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. <br />
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.<br />
BAB VII<br />
ADVOKAT ASING<br />
Pasal 23<br />
1. Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.<br />
2. Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat.<br />
3. Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.<br />
4. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.<br />
Pasal 24<br />
Advokat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tunduk kepada kode etik Advokat Indonesia dan peraturan perundang-undangan.<br />
BAB VIII<br />
ATRIBUT<br />
Pasal 25<br />
Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />
BAB IX<br />
KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT<br />
Pasal 26<br />
1. Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat.<br />
2. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.<br />
3. Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.<br />
4. Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.<br />
5. Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.<br />
6. Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana.<br />
7. Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.<br />
Pasal 27<br />
1. Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.<br />
2. Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.<br />
3. Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat.<br />
4. Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk majelis yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat.<br />
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.<br />
BAB X<br />
ORGANISASI ADVOKAT<br />
Pasal 28<br />
1. Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.<br />
2. Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.<br />
3. Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.<br />
Pasal 29<br />
1. Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi para anggotanya.<br />
2. Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota.<br />
3. Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.<br />
4. Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri.<br />
5. Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon Advokat yang akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g.<br />
6. Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang melakukan magang.<br />
Pasal 30<br />
1. Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi Advokat adalah yang diangkat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. <br />
2. Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.<br />
<br />
BAB XI<br />
KETENTUAN PIDANA<br />
Pasal 31<br />
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.<br />
BAB XII<br />
KETENTUAN PERALIHAN<br />
Pasal 32<br />
1. Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.<br />
2. Pengangkatan sebagai pengacara praktik yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.<br />
3. Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).<br />
4. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk.<br />
Pasal 33<br />
Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.<br />
BAB XIII<br />
KETENTUAN PENUTUP<br />
Pasal 34<br />
Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini.<br />
Pasal 35<br />
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:<br />
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya;<br />
2. Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8);<br />
3. Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 Nomor 446 jo. Stb. 1922 Nomor 523); dan<br />
4. Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 Nomor 522);<br />
5. dinyatakan tidak berlaku lagi.<br />
Pasal 36<br />
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.<br />
<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br />
Telah Sah<br />
pada tanggal 5 April 2003<br />
<br />
Diundangkan di Jakarta<br />
pada tanggal 5 April 2003<br />
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,<br />
BAMBANG KESOWO<br />
<br />
<br />
PENJELASAN<br />
ATAS<br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 18 TAHUN 2003<br />
TENTANG<br />
ADVOKAT<br />
I. UMUM<br />
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.<br />
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.<br />
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin ber-kembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.<br />
Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan, peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-undang ini masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522).<br />
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang ini sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. <br />
Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.<br />
II. PASAL DEMI PASAL<br />
Pasal 1<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 2<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 3<br />
Ayat (1)<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat<br />
sebagai advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat tinggal dimanapun.<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” dan “pejabat negara”, adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan “pejabat negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.<br />
Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari:<br />
1. Pegawai Negeri Sipil;<br />
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan<br />
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br />
Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa Pejabat Negara terdiri dari:<br />
1. Presiden dan Wakil Presiden;<br />
2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; <br />
3. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;<br />
4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;<br />
5. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;<br />
6. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;<br />
7. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;<br />
8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;<br />
9. Gubernur dan Wakil Gubernur;<br />
10. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan<br />
11. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.<br />
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.<br />
Huruf d<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf f<br />
Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini.<br />
Huruf g<br />
Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat. <br />
Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun. <br />
Huruf h<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf i<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 4<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 5<br />
Ayat (1)<br />
Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan<br />
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 14.<br />
Ayat (2)<br />
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.<br />
Pasal 6<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf c<br />
Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi Advokat baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum, di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan.<br />
Huruf d<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf f<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 7<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 8<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 9<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “penegak hukum lainnya” adalah Pengadilan Tinggi untuk semua lingkungan peradilan, Kejaksaan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Advokat.<br />
Pasal 10<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 11<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 12<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Advokat.<br />
Pasal 13<br />
Cukup jelas. <br />
Pasal 14<br />
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.<br />
Pasal 15<br />
Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.<br />
Pasal 16<br />
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.<br />
Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.<br />
Pasal 17<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 18<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 19<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 20<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat tersebut dengan kantornya.<br />
Pasal 21<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan resiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien.<br />
Pasal 22<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 23<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 24<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 25<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 26<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 27<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” antara lain ahli agama dan/atau ahli etika.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 28<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas. <br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pengurus partai politik. <br />
Pasal 29<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 30<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 31<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 32<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 33<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 34<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 35<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 36 <br />
Cukup jelas.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-4169306976372686872011-07-03T11:17:00.000-07:002011-07-03T11:17:15.888-07:00IMPLIKASI TUGAS DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILUKADABAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
A. LATAR BELAKANG MASALAH<br />
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut prinsip demokrasi. Dengan adanya prinsip demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan untuk dan atas nama rakyat. UUD 1945 yang menjadi salah satu dasar hukum tertulis menjamin pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Sebagai negara yang demokratis yang mana rakyat dituntut untuk ikut campur (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara, salah satunya adalah dalam wujud partisipasi politik. Partisipasi politik adalah kegiatan untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy) (Miriam Budiarjo, 1994: 183).<br />
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik memiliki peran strategis tidak hanya sebagai infrastruktur politik tetapi juga sebagai suprastruktur politik dalam proses demokratisasi.<br />
Salah satu perwujudan pelaksanaan demokrasi adalah adanya pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Dengan adanya pemilukada membuktikan bahwa kedaulatan sepenuhnya berda di tangan rakyat. Rakyat menentukansendiri masa depannya dengan secara individu memilih pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini telah dipertegas dalam UUD 1945 yang menyatakan langsung oleh rakyat. Dari kata-kata tersebut terlihat jelas tentang adanya pelibatan rakyat secara langsung dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Inilah salah satu wujud nyata pelaksanaan demokrasi di Indonesia.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Tinjauan tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU)<br />
Seperti yang telah disebutkan, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum juga mengatur mengenai perangkat perangkat penyelenggaranya, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.KPU Menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya Sebagai penyelenggara pemilu KPU berkewajiban melakukan pendaftaran warga negara yang berhak ikut serta sebagai pemilih dalam pemilukada dan Wakil kepala daerah secara menyeluruh. Adanya warga negara yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilukada menunjukkan adanya pelanggaran hak politik warga negara dalam pemilu Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dan salah satu bentuk pengkebirian suara yang sangat penting dalam pemilu. Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2007, KPU dibagi menjadi tiga bagian yaitu :<br />
a. KPU<br />
KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia yaitu Jakarta.<br />
Menurut Pasal 8, tugas dan wewenang serta kewajiban KPU adalah :<br />
Tugas dan wewenang KPU Pusat dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi :<br />
1) Menyusun dan menetapkan pedoman tata cara penyelenggaraan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundangundangan;<br />
2) Mengoordinasikan dan memantau tahapan;<br />
3) Melakukan evaluasi tahunan penyelenggaraan Pemilu;<br />
4) Menerima laporan hasil Pemilu dari KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota;<br />
5) Menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota KPU Propinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan<br />
penyelenggaran Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan ketentuan peraturan perundangundangan; dan<br />
6) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.<br />
b. KPU Propinsi KPU Propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi. Menurut Pasal 9 UU RI No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, tugas, wewenang, dan kewajiban KPU Propinsi adalah : Tugas dan wewenang KPU Propinsi dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi :<br />
1) Merencanakan program, anggaran, dan jadwal pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi;<br />
2) Menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi dengan memperhatikan<br />
pedoman dari KPU;<br />
3) Menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan peraturan perundangundangan;<br />
4) Mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU;<br />
5) Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;<br />
6) Menerima daftar pemilih dari KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi;<br />
7) Menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi yang telah memenuhi persyaratan;<br />
8) Menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah propinsi yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;<br />
9) Membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat hasil penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Propinsi, dan KPU;<br />
10) Menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi dari seluruh KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah propinsi yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;<br />
11) Menerbitkan keputusan kpu propinsi untuk mengesahkan hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi dan mengumumkannya;<br />
12) Mengumumkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi terpilih dan membuat berita acaranya;<br />
13) Melaporkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi kepada KPU;<br />
14) Memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota;<br />
15) Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Propinsi;<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
PEMBAHASAN<br />
Tinjauan Mengenai Pemilukada<br />
Jimly Ashiddiqie mengatakan bahwa Pemilukada yang pelaksanaannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut ketentuan dalam Undang-Undang ini, pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum. sehingga rezim hukumnya tidak dikaitkan dengan ketentuan pasal 22E UUD 1945 yang mengatur mengenai pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, melainkan semata-mata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Gubernur, Bupati, dan Walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Asas umum Pilkada Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan, Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 10 tahun 2008). Kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Melaksanakan kedaulatan itu bagi rakyat adalah dengan cara menentukan atau turut menentukan sesuatu kebijaksanaan kenegaraan tertentu yang dapat dilakukan sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu. Misalnya, rakyatlah yang harus menentukan atau turut menentukan atau memutuskan apakah suatu perbuatan tertentu akan ditetapkan sebagai suatu bentuk kejahatan yang dilarang atau tidak melalui wakil-wakil rakyat. Untuk menentukan siapa yang akan menduduki wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD, dan DPRD maka rakyat sendirilah yang secara langsung harus menentukan melalui pemilihan umum yang bersifat langsung. Namun metode penyaluran pendapat rakyat yang berdaulat dalam sistem demokrasi Indonesia ada yang bersifat langsung (direct democracy) dan ada pula yang bersifat tidak langsung atau (indirect democracy) atau biasa juga disebut sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy). Pengambilan keputusan dan penyaluran pendapat secara lansung dapat dilakukan melalui delapan cara, yaitu:<br />
1) Pemilihan Umum (generale election);<br />
2) Referendum (referenda);<br />
3) Prakarsa (initiative);<br />
4) Plebisit (plebiscite);<br />
5) Recall (The recall);<br />
6) Mogok Kerja;<br />
7) Unjuk Rasa;<br />
8) Pernyataan pendapat melalui pers bebas.<br />
Disamping itu, rakyat yang berdaulat juga dapat menyalurkan aspirasi dan pendapatnya melalui sarana kebebasan pers, kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat baik secara lisan seperti dengan mengadakan unjuk rasa maupun secara tertulis, kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan berserikat (freedom of asocation) dan hak untuk mogok menurut ketentuan hukum perburuhan. Semua jenis hak dan kebebasan tersebut tentunya tidak bersifat mutlak. Penggunaanya tidak boleh melanggar hak asasi orang lain, termasuk misalnya, hak untuk tidak dihina dan untuk bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia seperti yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />
Kemudian pengambilan keputusan oleh rakyat yang berdaulat secara tidak langsung dilakukan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Sistem perwakilan sebagaimana telah diuraikan diatas merupakan cara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara tidak langsung, yaitu melalui DPR, DPD, dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka sepanjang waktu kepentingan rakyat dapat disalurkan melalui para wakil mereka yang duduk di parlemen. Dengan demikian, kepentingan rakyat diharapkan dapat didengar dan turut menentukan proses penentuan kebijakan kenegaraan, baik yang dituangkan dalam bentuk undang-undang maupun dalam bentuk pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dan upaya-upaya lain yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Untuk memilih wakil-wakil rakyat dan juga untuk memilih para pejabat publik tertentu yang akan memegang kepemimpinan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas eksekutif, baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, diadakan pemilihan umum secara berkala, yaitu tiap lima tahun sekali. Mekanisme pemilihan umu ini merupakan wujud penyaluran aspirasi dan kedaulatan rakyat secara langsung sesuai dengan kalender ketatanegaraan setiap lima tahunan.<br />
1) Tujuan Pemilihan Umum<br />
Pemilu di Indonesia merupakan mekanisme penentuan pendapat rakyat melalui sistem yang bersifat langsung. Pemilu bertujuan memilih orang atau partai politik untuk menduduki suatu jabatan di lembaga perwakilan rakyat atau lembaga eksekutif, seperti presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan MPR, anggota DPD dan MPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten, dan anggota DPD Kota. Tujuan penyelenggaran pemilu (general election) itu pada pokoknya dapat dirumuskan ada empat, yaitu: (Jimlly Asshiddiqie; 2007:754)<br />
a) Untuk memungkinkan adanya suatu peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;<br />
b) Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;<br />
c) Untuk melaksakan prinsip kedaulatan rakyat, dan;<br />
d) Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Secara lebih spesifik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD menentukan bahwa pemilu diselenggarakan dengan tujuan memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperkokoh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Sebagaimana diamanatkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pentingnya pemilu juga dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa setiap jabatan pada pokoknya berisi tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh manusia yang mempunyai kemampuan terbatas. Karena itu, pada prinsipnya setiap jabatan harus dipahami sebagai amanah yang bersifat sementara. Jabatan bukan sesuatu yang harus dinikmati untuk selama-lamanya. Yang dipilih dalam pemilu (general election), tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yag duduk dikursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah, dan ada pula yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, sedangkan di cabang kekuasaan eksekutif para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota. Dengan adanya pemilu yang teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksudkan juga dapat terseenggara secara teratur dan berkala. Oleh karena itu, adalah sangat wajar apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik dilembaga pemerintahan eksekutif maupun di lingkungan lembaga legislatif. Oleh karena itu, pemilu (general election) juga disebut bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan (elected public officials). Yang dimaksud dengan memungkinkan disini tidak berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum, secara mutlak harus berakibat terjadinya pergantian pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja terjadi, pemerintahan suatu partai politik dalam sistem parlementer memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali. Yang dimaksudkan memungkinkan disini adalah bahwa pemilihan umum harus membuka kesempatan sama untuk menang atau kalah bagi setiap peserta pemiliahan umum itu. Pemilihan umum yang demikian itu hanya dapat terjadi jika benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil). Tujuan ketiga dan keempat pemilu itu adalah juga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. Untuk menentukan kemajuan negara, rakyatlah yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan berlangsungnya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara dengan benar menurut UUD 1945 adalah hak rakyat yang sangat fundamental. Karena itu, penyelenggaraan pemilu, disamping merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan hak asasi warga negara. Untuk itulah, diperlukan pemilihan umum guna memilih para wakil rakyat secara periodik. Demikian pula guna<br />
memilih para wakil rakyat secara periodik. Disamping itu, pemilihan umum itu juga penting bagi para wakil rakyat maupun para pejabat pemerintahan untuk mengukur legitimasi atau tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat kepadanya. Menjadi pejabat publik tidak hanya memerlukan legalitas secara hukum, tetapi juga legitimasi secara politik, sehingga tugas jabatan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena diakui, diterima, dan dipercaya oleh rakyat sebagai pemangku kepentingan terkait (stake holder). Demikian pula bagi kelompok warga Negara yang tergabung dalam suatu organisasi partai politik, pemilihan umum juga penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat dukungan dan kepercayaan rakyat kepada kelompok atau partai politik yang bersangkutan. Melalui analisis mengenai tingkat kepercayaan dan dukungan itu, tergambar pula mengenai aspirasi rakyat yang sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara republik Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilihan umum tidak saja penting bagi warga negara, partai politik, tetapi juga pejabat penyelenggara negara. Bagi penyelenggara negara yang diangkat melalui pemilihan umum yang jujur berarti bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan sebenarnya dari rakyat. Sebaliknya jika pemerintahan tersebut terbentuk dari hasil pemilihan umum yang tidak jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.<br />
2) Partai Politik dan Pelembagaan Demokrasi Partai Politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap system demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antar proses-proses pemerintahan dengan warga negara, Bahkan banyak yang berpendapat partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Oleh karena itu partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaanya dalam setiap sitem politik yang demokratis. “Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat(1) Undang-Undang No 2 Tahun 2008)” Namun demikian, banyak juga pandangan kritis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu kekuasaanya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabuhi, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu atau kepentingan umum. Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan checks and balances. Akan tetapi jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partaipartai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi fungsi pemerintahan. Oleh karena itu system kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balance dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas system kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan disuatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada giliranya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan. Tentu saja partai politik merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide pikiran-pikiran, pandangan-pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk ekspresi lainya terbentuk dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), dan lain sebagainya.<br />
3) Fungsi Partai Politik Menurut Miriam Budiarjo dalam bukunya Jimmly Asshiddiqie pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik meliputi (Jimmly Asshiddiqie, 2007: 717-720):<br />
a) Komunikasi politik<br />
Sebagai sarana komunikasi politik parati sangat berperan penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau political interest yang terdapat atau kadangkadang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atu bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.<br />
b) Sosialisasi politik<br />
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai politik juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.<br />
c) Rekruitmen politik<br />
Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader kepemimpinan negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kaderkader itu ada yang langsung dipilih oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh DPR, ataupun melalui cara-cara tidak langsung lainya. Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan profesional dalam pegawai negeri miasalnya tidak boleh melibatkan partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisisan jabatan-jabatan yang bersifat politik (political appointment) misalnya untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung partai politik dapat berperan. Dalam hal inilah fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitmen) dianggap penting. Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.<br />
d) Pengaturan Konflik<br />
Nilai-nilai dan kepentingan dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.<br />
4) Kelemahan Partai politik<br />
Adanya organisasi itu, tentu dapat dikatakan juga mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya ialah bahwa organisasi cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik, kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataan dilapangan berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.<br />
5) Partai Politik Peserta Pemilu<br />
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 E ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik. Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, partai politik dapat menjadi peserta pemilihan umum itu apabila telah memenuhi syarat-syarat :<br />
a) Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;<br />
b) Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;<br />
c) Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;<br />
d) Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;<br />
e) Memiliki anggota sekurang kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;<br />
f) Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c;<br />
g) Mengajukan nama tanda gambar partai politik kepada KPU.<br />
<br />
Tinjauan mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi<br />
Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang – undang terhadap undang – undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang – undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan / atau wakil presiden (impeachment). Fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah : Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dalam system konstitusi, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai the guardian of constitution ( penjaga konstitusi ), dan Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi. Sedangkan peranannya adalah : sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, dalam mendorong mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan negara, menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuasaan negara, serta mewujudkan kesejahteraan Indonesia. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 C ayat (1) dan (2) mahkamah kontitusi mempunyai wewenang (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuspembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.<br />
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih diperinci lagi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 10, yaitu (Maruara Siahaan.2005:15):<br />
1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar mempunyai 2 macam jenis pengujian, yaitu pengujian secara formal (formele toetsingsrecht) dan pengujian secara materiil (meteriele<br />
toetsingsrecht ). Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislative telah dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak. Serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar berdasarkan Pasal 51 ayat (1), pemohon adalah<br />
a) Perorangan warga negara Indonesia<br />
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.<br />
2) Memutus sengketa kewengangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Lembaga negara yang dimaksud disini adalah lembaga Negara yang wewenangnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan pembatasan seperti itu maka jelaslah lembaga negara mana saja yang mendapat kewenangan menurut Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menghindari terjadinya multitafsir. Akan tetapi Pasal 65 UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memberikan pengecualian dengan menyebutkab bahwa, Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi.<br />
3) Memutus pembubaran partai politik<br />
Secara umum partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan partai politik adalah untuk mendapatkan kekuasaan politi dan merebut kekuasaan partai politik dengan cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. pada dasarnya pembubaran partai politik bertentangan dengan HAM seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 28E ayat (3),bahwa “setiap orang berhak satas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Akan tetapi dalam prakteknya pembubaran partai politik dapat dilakukan dengan alas an pelanggaran terhadap ideology dan pelanggaran hukum.<br />
4) Memutus perselisihan mengenai hasil pemilu Kemungkinan terjadinya perselisihan hasil pemilu sangatlah terbuka lebar dalam setiap pelaksanaan pemilu di suatu negara, terlebih lagi Indonesia yang baru menapaki jejak baru berdemokrasi. Pemilu sebagai “medan pertempuran” bagi para kontestan dalam memperebutkan simpati dan dukungan masyarakat, sehingga memungkinkan adanya pemanfaat peluang sekecil apapun untuk melakukan kecurangan atau pelanggaran demi mendapatkan dukungan yang besar dari pemilih. Dalam perselisihan hasil pemilu ini, pemohon adalah:<br />
a) perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD pesrta pemilu.<br />
b) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.<br />
c) parta politik peserta pemilihan umum.<br />
5) Memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden DPR dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi jika menurut DPR Presiden dan Wakil Presiden terduga:<br />
a) melakukan pelanggaran hukum berupa pegkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau<br />
b) tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasrakan Undang-Undang Dasar 1945.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-33531723208787250272011-04-04T21:02:00.000-07:002011-04-04T21:02:07.291-07:00menapak sebuah kedaulatanDewasa ini kita sering membahas mengenai kedaulatan?, apalagi di era globalisasi ini memang topic tersebut sangat memicu adrenalin kita untuk berdiskusi serta menjadi maker solving mengenai hal tersebut apalagi ketika adanya amandemen mengenai hal tersebut. Aku mencoba menulis ketika secara tidak langsung ketika mendengar dan melihat perbincangan yang cukup a lot yang kemudian menghasilkan sebuah kongklusi yang tidak cukup memuaskan bagi semua khalayak khususnya aku sendiri, banyak hal yang kemudian memicu analisa berfikir yang semakin membuat penasaran tentang hal tersebut.<br />
Bertolak pada sebuah titik yang namanya daulat yang memiliki arti negri, kekuasaan, pemerintahan, serta kebahagiaan yang cukup signifikan untuk kita kaji bersama, namun dalam hal ini kedaulatan Negara, yang selalu menjadi topic dalam berbagai macam hal mengenai beberapa perdebatan penjang negri ini.<br />
Menapak kembali apa yang menjadi fundamental bangsa ini dimana kedaulatan itu merupakan sesuatu hak warga Negara dimana Negara ini sebagai mana di atur di dalam pasal 1 ayat 2 kitab suci Negara ini kedaulatan berada di tangan rakyat dan di laksanakan menurut undang – undang dasar, olehnya itu ini menandakan bahwa segala sesuatu dalam Negara ini berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Olehnya itu kedaulatan di harapkan bagaimana terciptanya sebuah tatanan kesejahteraan menuju kebahagiaan dalam bernegara.<br />
Setelah menelaah apa yang telah menjadi basic untuk kita berpijak, apakah ada keganjalan yang tidak relevan dengan apa yang seharusnya dengan apa yang sebanarnya? Antara kedaulatan yang merupakan jalan menuju sebuah kesejahteraan. Pernakah terpikir dibenak kita bahwa kalau bukan kita siapa lagi, olehnya itu mari kita menjadi maker of solved. Dalam diskusi tersebut banyak hal yang timbul seputar apa yang menjadi topic, di antara peserta ada yang bertanya ke sebuah hal yang sangat sensitive mengenai kedaulatan dan kesejahteraan, mengapa di salah satu daerah di negri ini yang memiliki APBD yang luar biasa sampai mencapai triliunan rupiah akan tetapi melihat kondisi rakyat masih sangat jauh dengan harapan dan kenyataan dengan kata lain masih ada bahkan banyak rakyat yang kalau dilihat dengan kasat mata jauh tertinggal di bandingkan daerah yang APBD nya tidak terlalu tinggi? Dan kemudian melihat sisi lain dari kedaulatan terutama batas Negara, kapal asing yang menangkap ikan di area laut kita berbeda dengan nelayan kita yang tertangkap di perairan Negara lain biasanya kapalnya di hancurkan sedangkan kita tidak menghancurkan kapal nelayan tersebutapalagi jikalau Negara yang mempunyai hubungan diplomatic dengan Negara kita?.<br />
Merespon apa yang menjadi pertanyaan pertama mengenai kesejahteraan, kesejahteraan ini merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk di ukur karna banyak di antara kita jikalau dilihat secara kasat mata memang jauh dari kesejahteraan apakah itu dari sudut pandang kita melihat pakaiannya, ataupun sebagainya akan tetapi dibalik itu semua ternyata kita banyak tertipu dengan semua itu karna menurut dia, hidupnya memang seperti itu dan ia tidak mau merobah apa yang telah ia lakukan. Kemudian terkait mengenai batas Negara memang terkadang kapal nelayan kita yang menagkap ikan di laut Negara lain itu dihancurkan tapi ada beberapa nelayang terutama dekat dengan perbatasan memang ia suka dengan hal tersebut dengan kata lain suka kalau di tangkap karna di pulangkan dengan pesawat terbang.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-71609870461082201672011-03-28T20:02:00.001-07:002011-03-28T20:02:33.931-07:00renungan idealisme hari ini yang semakin kehilangan identitasTerkadang orang sombong terhadap sesuatu yang di milikinya, apapun itu ketika apa yang terjadi terhadap sesuatu hal dan di anggap dia yang berpotensi terhadap hal tersebut pasti selalu angkuh atau mungkin ketika ia ada menjadi maker solution terkadang masa tersebut bagaikan perbincangan/topic yang hangat yang selalu becek di bibirnya ketika ia bicara dengan orang lain, walaupun itu telah lampau sekali. akan tetapi ketika ia salah dalam sebuah tindakan maka ia selalu mencari celah untuk keluar dari tanggung jawab, terdiam dan membisu dalam sebuah lamunan seakan ia tidak pernah tau apa yang terjadi, banyak hari ini peristiwa yang tercederai dengan banyaknya oknum yang tidak bertanggung jawab idealisme bagaikan sesuatu yang di perjual belikan demi sebuah kepentingan yang membuat orang patamorgana yang seolah melupakan identitas yang melekat terhadap dirinya, mengapa semua bagaikan air yang kotor mengaliri air yang bersih sehingga yang tadinya bersih menjadi kotor yang kemudian air tersebut akan mengalir dan susah untuk di bersihkan.<br />
Berbicara tentang realitas banyak persoalan yang akan muncul ketika itu kita hadapkan kepada sebuah teori yang kemudian menggugurkan apa yang telah ada, hari ini semua konsep kehidupan sudah bagus namun yang mengganjal apakah yang mengganjal sehingga apa yang seharusnya berbeda debgan apa yang sebenarnya?. Marilah keta bersama sejenak merenungkan apa sebenernya yang terjadi dan yang paling utama adalah apakah kita masih di jalan yang lurus, atau kita ada didalam jalan yang mengbingunkan?. Bagaimana bangsa ini tidak pernah keluar dari berbagai persoalan oleh karna kita hanya sibuk dengan kepentingan diri kita sendiri, tidak pernah berfikir tentang apa dan bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk keluar dari krisis multidimensi ini! <br />
Mari kita merenung, berfikir dan bertindak, jangan berusaha mengacaukan sitem yang telah ada, kalaupun system tersebut rusak mari kita perbaiki bersama jangan terlalu cepat menjastifikasi terhadap sesuatu yang kemudian akan melulantahkan system yang telah ada jadilah maker solution yang selalu di senangi keberadaannya dan di cari ketika ia tiada, jangan menjadi duri terhadap sesuatu yang di benci keberadaannya, segala persoalan tidak akan pernah selesai ketika hanya selalu di kritik tanpa memberikan sebuah solusi cerdas maka dari itu kita akan selalu merekonstruksi sesuatu itu dan kembali ke 0 serta menjadi the last dalam segala sesuatu, karna hari ini belum ada yang dapat membeikan sebuah garansi ketika apa yang di kehendaki itu dapat terealisasi sesuai harapan dan kenyataan.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-24627306653516269922011-03-14T21:42:00.000-07:002011-03-14T21:42:14.782-07:00PEMUDA DALAM SEBUAH MASYARAKATPEMUDA DALAM SEBUAH MASYARAKAT<br />
<br />
Pemuda merupakan regenerasi sebuah bangsa yang akan menentukan arah dan tujuan cita-cita luhur sebuah Negara, Peranan pemuda adalah hal yang sangat menarik dan dinamis untuk dibicarakan. Pembahasan tersebut tidaklah lepas dari faktor sejarah karena pemuda erat kaitannya dengan perubahan-perubahan dan dinamika sosial-keadaan suatu tempat atau Negara dalam mengontrol setiap aturan yang ada. Saat berpikir untuk menulis mengenai “kepemudaan” terkait dengan Sumpah Pemuda, ini seharusnya akan menjadi sangat menarik dan cukup panjang, karena akan terdapat sangat banyak sudut pandang untuk membicarakan pemuda. Sikap sebagai sebuah bentuk perkembangan, adalah penting sekali di dalam menentukan perbuatan seseorang, oleh karena unsur-unsur penting di dalam sikap mencakup sifat-sifat seperti taraf pengetahuan prasangka, pandangan-pandangan terpola, kecenderungan-kecenderungan serta perasaan-perasaan tertentu mengenai setiap hal, baik di dalam arti yang positif maupun negatif. Prasangka-prasangka yang tertanam sedemikian awal itu nampak kemudian sangat besar pengaruhnya terhadap proses pembentukan Konsep pada pemuda.<br />
Pada masa ini anak muda berusaha mendapatkan status sebagai manusia; ada kecenderungan untuk berusaha kearah emansipasi dengan melepaskan taraf ke kanak-kanakan di mana ia senantiasa harus tunduk kepada kehendak orang tua, karena dianggap rendah dalam umur, pengalaman dan kecakapan. Harapannya adalah pada masa mendatang mereka akan menjadi tiang masyarakat dan memegang tanggung jawab di dalamnya. Pemuda adalah pemindah warisan dan kejayaan dari generasi tua ke para pemuda atau dari bapak ke cucu. <br />
krisis kepercayaan terhadap pemuda yang sangat tinggi sehingga menyebabkan banyak potensi pemuda yang harusnya di implementasikan tidak dapat terealisasi, olehnya itu mari kita membngun kepercayaan dengan menjujungjung tinggi komitmen dan konsistensi dalam sebuah amanah, kontribusi pemuda sangan di perlukan di era sekaranag ini sebagai konseptor masa depan.<br />
Negri ini haus akan terobosan baru, konsep baru, di semua bidang. Karna negri ini hanya memiliki sebuah konsep pentium 2 yang sudah loading, dan tergilas oleh sebuah era yang dinamakan globalisasi, sedangkan pemuda yang merupakan core I 3 yang lincah segar dalam berfikir yang menghasikan buah-buah pikiran yang luar biasa dengan semangat yang luar biasa pula, kapan lagi kalau bukan sekang menjadi pemuda yang kreatif inovatif dan berfikir masa depan. Jangan sampai kita menjadi penonton di negri kita sendiri menjadi budak di rumah sendiri, marilah kita memulai dari hal yal yang terkecil sebagai sebuah imlementasi karna hal yang besar berasal dari hal yang terkecil kemudian siapa lagi yang akan membangun bangsa ini kalau bukan kesadaran akan diri kita, bagaimana mencari dan menemukan identitas bangsa ini jikalau kemudian kita hanya berpangku tangan bercerai berai dan hanya mengandalkan ego yang kemudian membawa sebuah malapetaka yang besar , jangan biarkan pemuda menjadi sampah masyarakat tapi jadikan pemuda sebagai obat mujarab bagi masyarakat dikala ada masalah dapat memposisikan diri sebagai maker of solution.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-14198357650068112592011-03-14T00:18:00.000-07:002011-03-14T00:18:18.158-07:00ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA LASMAGAAD /ART “LASMAGA”<br />
ANGGARAN DASAR<br />
BAB I<br />
NAMA, WAKTU, BADAN HUKUM, KEDUDUKAN DAN SIFAT<br />
<br />
Pasal 1<br />
Nama Lembaga<br />
<br />
Lembaga ini bernama “Lembaga Aspirasi Masyarakat Galesong” disingkat LASMAGA<br />
<br />
Pasal 2<br />
Waktu, Badan Hukum, Kedudukan<br />
<br />
1. LASMAGA didirikan di pada hari kamis tanggal 24 Juni sampai batas waktu yang tidak <br />
ditentukan<br />
2. LASMAGA ber Badan Hukum Nomor 06 tanggal 24 Juni NOTARIS – PPAT <br />
HARAPAN KANNA,SH.,M.Kn<br />
3. LASMAGA berkedudukan dan berkantor di Kabupaten Takalar<br />
<br />
Pasal 3<br />
Sifat<br />
<br />
LASMAGA Bersifat Sosial, Peduli, Profesional, Independen, Musyawarah, Ikhlas, Jujur,<br />
Militan, dan Bertanggung Jawab.<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
DASAR, MAKSUD TUJUAN DAN USAHA<br />
<br />
Pasal 4<br />
Dasar<br />
<br />
LASMAGA Berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 5<br />
Maksud dan Tujuan<br />
<br />
Ikut serta berpartisipasi mensukseska program pemerintah dalam hal meningkatkan Sumber Daya Manusia, terutama dalam bidang informasi, komunikasi, fublikasi dan sosial dalam rangka mencerdaskan kehidupan Indonesia yang lebih kritis, demokratis, professional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. <br />
<br />
Pasal 6<br />
Usaha<br />
<br />
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, lembaga akan melakukan usaha-usaha sebagai berikut :<br />
a. Penerbitan tabloid<br />
b. Pendidikan, keterarampilan atau pelatihan di bidang jurnalistik dan penerbitan buku-buku dalam pengembangan masyarakat.<br />
c. Menyelenggarakan pembinaan anggota masyarakat untuk pengembangan kreativitas, inisiatif dan inovatif.<br />
d. Menyelenggarakan kegiatan untuk menumbuh kembangkan bakat kewirausahaan para peserta didik yang tidak bertentangan dengan tujuan dari lembaga ini<br />
e. Mengumpulkan informasi di bidang pendidikan, jurnalistik dan bidang-bidang lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan program-program lembaga ini.<br />
f. Menyelenggrakan kegiatan penelitian<br />
g. Melaknakan kerja sama dengan semua stake holder<br />
<br />
- <br />
<br />
<br />
BAB III<br />
KEANGGOTAAN<br />
<br />
Pasal 7<br />
Anggota<br />
<br />
Yang menjadi anggota LASMAGA ialah arang perseorang yang cakap bertindak, yang mempunyai kepedulian dan mau bekerja sama demi mencapai maksud dan tujuan lembaga dengan tetap senantiasa memperhatikan ketentuan dan peraturan perundang undangan yang berlaku<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 8<br />
Hak Hak Anggota<br />
<br />
Setiap Anggota mempunyai :<br />
<br />
1. Hak bicara dan mengeluarkan pendapat<br />
2. Hak mencalonkan, memilih dan dipilih<br />
3. Hak usul dan menyokong usul perubahan terhadap kebijakan Lembaga didalam forum<br />
musyawarah<br />
4. Hak untuk mengikuti kegiatan kegiatan Lembaga<br />
5. Hak untuk memperoleh informasi, pendidikan, bimbingan, perlindungan dan pembelaan dari <br />
Lembaga<br />
<br />
Pasal 9<br />
Kewajiban Anggota<br />
<br />
Setiap anggota berkewajiban :<br />
<br />
1. Menjunjung tinggi nama baik Lembaga<br />
2. Tunduk dan patuh serta mentaati pedoman Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan<br />
Peraturan Peraturan Lembaga lainnya<br />
3. Melaksanakan program kerja yayasan dan keputusan keputusan rapat pengurus<br />
4. Membayar iuran Lembaga<br />
<br />
<br />
Pasal 10<br />
Tata Cara Menjadi Anggota<br />
<br />
1. Permohonan permintaan menjadi anggota diajukan secara tertulis kepada Pengurus melalui <br />
beberapa tingkatan lembaga dan calon anggota tersebut terlebih dahulu hendaklah <br />
diperkenalkan oleh sekurang kurangnya dua orang anggota<br />
2. Setelah permohonan diterima, Pengurus akan mempertimbangkan dengan sebelumnya<br />
meminta penjelasan tentang calon anggota tersebut kepada pengurus lembaga diberbagai<br />
tingkatan, kemudian memutuskan apakah calon anggota tersebut berhak diterima menjadi <br />
anggota atau tidak<br />
<br />
Pasal 11<br />
Identitas Anggota<br />
<br />
1. Dalam kegiatan operasionalnya, LASMAGA menerbitkan Tanda Pengenal Anggota dan<br />
tanda pengenal tersebut dilengkapi pasphoto serta identitas anggota dan ditandatangani oleh<br />
Pengurus/Pengurus LASMAGA yang mengeluarkan Kartu Tanda Pengenal tersebut<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pasal 12<br />
Berakhirnya Keanggotaan<br />
<br />
<br />
1. Atas permintaan sendiri<br />
2. Meninggal dunia<br />
3. Dipecat atau diberhentikan karena membuat kesalahan kesalahan yang merugikan<br />
Lembaga secara sengaja<br />
4. Tata cara pemecatan atau Pemberhentian dan membela diri diatur dalam Anggaran Rumah<br />
Tangga Lembaga.<br />
<br />
<br />
<br />
BAB IV<br />
BADAN PENGURUS DAN WEWENANG<br />
<br />
Pasal 13<br />
Badan Pengurus<br />
<br />
1. Ketua : Abdul Hamid Daeng Ngasa<br />
2. Sekretaris : Syamsul Rijal<br />
3. Bendahara : M Idrus Sigollo<br />
4. Departemen - Departemen<br />
<br />
<br />
Pasal 14<br />
Penasehat<br />
<br />
LASMAGA mempunyai Penasehat yang anggotanya adalah sesepuh yang sudah berpengalaman dan tokoh yang pada masa aktif pernah menduduki satu jabatan pada Instansi Pemerintah Sipil, TNI-POLRI, atau Tokoh Masyarakat, Agama, Yayasan dan Pakar.<br />
Tugas dan fungsinya adalah diminta atau tidak diminta Penasehat memberikan nasehat, masukan dan saran pada Pengurus demi kemajuan Lembaga<br />
<br />
Pasal 15<br />
Wewenang<br />
<br />
Dalam menjalankan kebijakan umum, Pengurus LASMAGA merupakan badan pengambil keputusan tertinggi lembaga<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB V<br />
MUSYAWARAH DAN RAPAT RAPAT<br />
<br />
Pasal 16<br />
Musyawarah<br />
<br />
Musyawarah LASMAGA berdasarkan tingkatan sebagai berikut :<br />
1. Musyawarah biasa dan luar biasa <br />
2. Tentang ketentuan, tata cara dan waktu pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Rumah <br />
Tangga LASMAGA<br />
<br />
Pasal 17<br />
Rapat Rapat<br />
<br />
1. Rapat LASMAGA sebagai berikut :<br />
a. Rapat Kerja <br />
b. Rapat Umum <br />
c. Rapat Rutin <br />
<br />
2. Tentang ketentuan, tata cara dan waktu pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Rumah <br />
Tangga LASMAGA<br />
<br />
Pasal 18<br />
Suara dan Qourum<br />
<br />
Dalam tiap musyawarah setiap Peserta berhak mengeluarkan 1 (Satu) suara, Musyawarah dianggap sah jika dihadiri oleh sekurang kurangnya ½ (Setengah) ditambah 1 (Satu) dari jumlah Peserta.<br />
<br />
Jika Musyawarah tersebut tidak memenuhi Quorum maka dalam tempo 1 (Satu) bulan sesudah itu dapat diadakan Musyawarah yang ke 2 (dua), dalam rapat tersebut dapat diambil keputusan yang sah dengan tidak mengindahkan jumlah Peserta Utusan yang hadir dalam Musyawarah tersebut.<br />
<br />
Segala keputusan jika tidak adanya kesepakatan melalui musyawarah dalam anggaran dasar ini diambil dengan suara terbanyak.<br />
<br />
Segala sesuatu yang tidak termasuk dalam Anggaran Dasar ini diatur dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga dan Peraturan Peraturan lainnya<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB VI<br />
KEKAYAAN<br />
<br />
Kekayaan LASMAGA ini diperoleh dari :<br />
1. Uang pangkal dan Uang iuran<br />
2. Wakaf, Sumbangan/bantuan sukarela yang tidak mengikat<br />
3. Badan Badan Usaha/Otonom milik lembaga<br />
4. Lain lain pendapatan yang sah yang tidak bertentangan dengan hukum dan perundang <br />
undangan<br />
5. Jumlah uang pangkal dan uang iuran akan ditetapkan dalam rapat pengurus<br />
6. Uang perkumpulan yang tidak diperlukan untuk keperluan sehari – hari harus disimpan dalam <br />
Bank yang ditunjuk Badan Pengurus.<br />
7. Segala Kuitansi,cek,giro dan surat berharga uang lainnya yang sah jika ditanda tangani oleh <br />
Ketua Umum bersama – sama dengan Bendahara Umum / Bendahara.<br />
8. Hal – hal lain yang tidak diatur dalam Anggaran Dasar ini akan diatur dalam Anggaran Rumah<br />
Tangga dan Peraturan – peraturan lainnya.<br />
<br />
<br />
<br />
BAB VII<br />
PERUBAHAN AD/ART<br />
<br />
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga LASMAGA dapat dilakukan sesuai perkembangan Zaman dan situasi serta adanya hal – hal yang belum termaksuk dalam Anggaran Dasar ini, disusun oleh Tim Kerja yang dibentuk oleh ketua umum LASMAGA<br />
<br />
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga LASMAGA harus disosialisasikan pada semua pengurus dan anggota LASMAGA dan pihak – pihak yang memerlukan.<br />
<br />
<br />
BAB VIII<br />
PEMBUBARAN LEMBAGA<br />
<br />
LASMAGA dapat dibubarkan oleh pendiri LASMAGA melalui hasil Musyawarah LASMAGA yang dihadiri oleh sekurang – kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Peserta sedangkan keputusan yang diambil dengan persetujuan sekurang – kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah suara yang dikeluarkan.<br />
<br />
Jika dalam Musyawarah jumlah Peserta yang hadir tidak memenuhi qourum seperti tersebut dalam bab ini maka dalam tempo 1 (satu) bulan sesudah itu tetapi paling cepat 2 (dua) minggu,dalam Musyawarah 2 (dua) dapat diambil keputusan yang sah dan mengikat tanpa mengindahkan jumlah Peserta Utusan yang hadir, asal saja keputusan itu disetujui oleh sekurang – kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah suara yang dikeluarkan.<br />
<br />
Jika LASMAGA dibubarkan,maka segala aktifa dan passiva dari lembaga akan ditetapkan dan diputuskan dalam Musyawarah yang tersebut dalam ayat bab ini.<br />
<br />
Untuk membubarkan LASMAGA berlaku apa yang disebut dalam pasal 1665 dari Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan ketentuan jika ada sisa harta kekayaan akan dibagikan kepada badan – badan sosial menurut keputusan hasil Musyawarah.<br />
<br />
<br />
<br />
BAB IX<br />
ATURAN PERALIHAN<br />
<br />
1. Anggaran Dasar LASMAGA ini disusun oleh Pendiri LASMAGA dan tim yang dibentuk <br />
Pendiri.<br />
2. Hal – hal yang belum dapat ditetapkan dan dibuat dalam Anggaran Dasar ini dapat diatur dan <br />
ditetapkan dalam Anggaran Rumah Tangga.<br />
<br />
<br />
<br />
BAB X<br />
PENUTUP<br />
<br />
Anggaran Dasar Lembaga Aspirasi Masyarakat Galesong disusun dan ditetapkan di Tanjung Bunga pada Senin 19 juli 2010 oleh Pendiri LASMAGA dan Tim yang dibentuk Pendiri.<br />
Ditetapkan Di : Makassar<br />
Pada Tanggal : 19 juli 2010<br />
<br />
Pendiri : H. Nasir B Sitaba, S.KM,.M.Kes<br />
<br />
Team Penyusun :<br />
<br />
1. Abdul Hamid Daeng Ngasa<br />
2. Syamsul Rijal<br />
3. M Idrus Sigollo<br />
4. Ibnu Hajar Erang<br />
5. Ruslan B Nuntung, S. Pdi<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
` ANGGARAN RUMAH TANGGA<br />
<br />
<br />
NAMA LEMBAGA<br />
<br />
Pasal 1<br />
LEMBAGA ini bernama Lembaga Aspirasi Masyarakat Galesong disingkat dengan LASMAGA ,berstatus sebagai Lembaga Kemasyarakatan.<br />
<br />
<br />
PRINSIP LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT<br />
<br />
Pasal 2<br />
1. LASMAGA lahir didasari oleh kepedulian terhadap kepentingan masyarakat yang mencakup Sosial budaya,sosial ekonomi, sosial politik dan hukum, kelestarian alam dan lingkungan hidup juga kepedulian terhadap disiplin dan kinerja aparatur Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) dan aparat penegak hukum. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, pemerataan pembangunan, mencerdaskan masyarakat, meningkatkan wawasan dan kesejahteraan masyarakat yang pada hakikatnya mewujudkan cita cita perjuangan bangsa yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkeadilan sosial.<br />
2. LASMAGA dalam menjalankan tugasnya bersifat Sosial, Peduli, frofessional, Independen, musyawarah, ikhlas, jujur, militan dan bertanggung jawab.<br />
3. LASMAGA sesuai dengan maksud dan tujuannya berpartisipasi dalam pengembangan dan peningkatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang bertujuan meningkatkan wawasan dan kesejahteraan masyarakat serta menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup, dengan memberikan pendidikan, pelatihan, seminar, penelitian konsultasi dan jasa jasa lain kepada masyarakat.<br />
<br />
<br />
IKRAR LASMAGA<br />
<br />
Pasal 3<br />
Ikrar LASMAGA <br />
Kami anggota LASMAGA dengan ini berjanji<br />
Senantiasa menjunjung tinggi dan menjaga nama baik yayasan.<br />
Dengan penuh rasa tanggung jawabMelaksanakan amanat dan tugas – tugas yayasan<br />
Sesuai yang tercermin dalam arti, LASMAGA Yayasan pemberdayaan masyarakat peduli pembangunan.Kami anggota LASMAGA dengan ini berjanji,<br />
Dalam menjalankan roda yayasan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat, membela hak hak masyarakat, meningkatkan perekonomian masyarakat, peduli lingkungan hidup serta mengangkat harkat dan martabat bangsa, dalam melaksanakannya berpegang kepada sifat LASMAGA Sosial, Peduli,Profesional, Independen, Musyawarah, Ikhlas, Jujur, Militan, dan bertanggungjawab.<br />
<br />
<br />
KEANGGOTAAN<br />
<br />
Pasal 4<br />
1. Mengisi formulir permohonan untuk menjadi anggota LASMAGA <br />
2. Menyatakan diri untuk siap mematuhi dan mentaati Anggaran Dasar dan Anggaran<br />
Rumah Tangga LASMAGA dan Peraturan Peraturan Yayasan lainnya<br />
3. Menyatakan diri siap untuk mengikuti kegiatan kegiatan yayasan, baik secara internal <br />
maupun eksternal<br />
<br />
<br />
<br />
KARTU TANDA PENGENAL<br />
<br />
<br />
Pasal 5<br />
<br />
1. Kartu Tanda Pengenal dilengkapi dengan Identitas anggota, pasphoto, dan jabatan <br />
Yayasan diberbagai tingkatan yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris <br />
umum <br />
2. Kartu Tanda Pengenal Fungsionaris LASMAGA dikeluarkan oleh Pengurus <br />
LASMAGA<br />
3. Kartu Tanda Pengenal berlaku selama Priode Masa Jabatan disetiap tingkatan sejak <br />
dikeluarkannya Surat Keputusan<br />
4. Jika anggota berhenti dan atau diberhentikan, maka ketua umum berhak <br />
menarik/mencabut Kartu Tanda Pengenal yang didelegasikan kepada Pengurus <br />
diberbagai tingkatan<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PEMBERHENTIAN ANGGOTA<br />
<br />
Pasal 6<br />
<br />
1. Yang bersangkutan diketahui telah meninggal dunia<br />
2. Yang bersangkutan membuat Surat Pernyataan Pengunduran diri yang ditulis pada <br />
kertas bermaterai/ segel serta dilengkapi dengan alasan berhenti dan tanpa adanya <br />
paksaan dari pihak manapun, selanjutnya surat tersebut ditujukan kepada Pengurus <br />
LASMAGA melalui berbagai tingkatan Lembaga<br />
3. Yang bersangkutan diketahui dengan jelas dan pasti yang dilengkapi dengan bukti<br />
bukti bahwa telah melanggar hukum dan ketentuan AD/ART dan peraturan Lembaga<br />
sehingga dengan perbuatannya telah merugikan dan mencemarkan nama baik Lembaga<br />
4. Pemberhentian/pemecatan anggota dapat dilakukan oleh Pengurus LASMAGA<br />
<br />
<br />
diberbagai yang dilaporkan kepada Pengurus LASMAGA<br />
5. Anggota yang diberhentikan oleh Pengurus LASMAGA diberbagai tingkatan<br />
diperkenankan memajukan permasalahannya dalam Rapat Pengurus dan yang akan<br />
memutuskan dalam tingkat tertinggi tentang permasalahan tersebut<br />
6. Yang bersangkutan diberikan kesempatan mengklarisifikasi/membela diri dengan cara <br />
membuat Surat Pernyataan/Perjanjian untuk tidak mengulangi/melakukan perbuatan <br />
yang melanggar hukum dan ketentuan AD/ART dan hal hal yang dapat merugikan<br />
Lembaga, diatas kertas bermaterai/segel.<br />
7. Bagi anggota yang diberhentikan berdasarkan keputusan Rapat Pengurus diberbagai <br />
tingkatan dianggap berhenti pada hari diambilnya keputusan tersebut, terkecuali jika<br />
keputusan tersebut dibatalkan oleh Rapat Pengurus<br />
8. Para anggota LASMAGA harus tunduk dan patuh kepada dan mentaati serta<br />
melaksanakan AD/ART, Peraturan Lembaga dan Keputusan Rapat Pengurus lainnya<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TINGKAT DAN KEDUDUKAN YAYASAN<br />
<br />
Pasal 7<br />
LASMAGA berkedudukan dan berkantor pusat di kab. Takalar provinsi Sulawesi Selatan.<br />
<br />
<br />
<br />
STRUKTUR YAYASAN<br />
<br />
Pasal 8<br />
1. Pengurus LASMAGA terdiri dari :<br />
a. Ketua : Abdul Hami Daeng Ngasa<br />
b. Sekretaris : Syamsul Rijal<br />
c. Bendahara : M. Idrus Sigollo<br />
d. Departemen Departemen :<br />
i. Departemen Kaderisasi, Lembaga dan Keanggotaan<br />
ii. Departemen Hubungan Antar Lembaga<br />
iii. Departemen Informasi, Komunikasi dan Penyiaran<br />
iv. Departemen Investigasi, Intelejen dan Bedah Kasus<br />
v. Departemen Advokasi, Hukum dan Tata Negara<br />
vi. Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender<br />
vii. Departemen Pendidikan dan Sosial Budaya<br />
viii. Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam<br />
ix. Departemen Kelautan, Perikanan dan Potensi Pinggiran Pantai<br />
x. Departemen Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan<br />
<br />
<br />
<br />
xi. Departemen Pemberdayaan Ekonomi, UKM, Koperasi dan Ketenagakerjaan<br />
xii. Departemen Penelitian dan Pengembangan IPTEK<br />
xiii. Departemen Analisa Masalah Dampak Lingkungan<br />
xiv. Departemen Konsultan dan Hubungan Luar Negeri<br />
xv. Departemen Peliputan <br />
<br />
<br />
PRIODE JABATAN<br />
<br />
Pasal 9<br />
<br />
1. Priode masa jabatan Pengurus LASMAGA selama 5 (Lima) tahun berdasarkan hasil <br />
musyawarah Pengurus LASMAGA untuk selanjutnya dipilih kembali <br />
<br />
<br />
<br />
MUSYAWARAH DAN RAPAT RAPAT<br />
Pasal 10<br />
<br />
1. Musyawarah dan Rapat – rapat LASMAGA :<br />
a. Musyawarah Pengurus dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali untuk memilih Pengurus,<br />
Menetapkan Program Kerja LASMAGA, Perubahan AD / ART dan Peraturan <br />
Lembaga, Mengevaluasidan Mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban serta <br />
menetapkan Penasehat,yang kemudian disahkan dan ditanda tangani Pendiri<br />
LASMAGA<br />
b. Musyawarah Pengurus Luar Biasa dilaksakan jika keberadaannya sudah <br />
mengkhawatirkan dan membahayakan kelangsungan yayasan dan atas usulan 2/3<br />
(dua pertiga) jumlah Unsur Pengurus Pengurus t, 2/3 (dua pertiga) Pengurus Daerah, <br />
serta melalui Pertimbangan dari Pendiri LASMAGA<br />
c. Rapat Kerja Umum Pengurus dilaksanakan sedikitnya 2 (dua) tahun sekali dalam <br />
rangka menyusun Program Kerja Yayasan dan mengadakan evaluasi terhadap <br />
pelaksanaan program kerja sebelumnya dan menetapkan pelaksaan program kerja<br />
selanjutnya<br />
d. Rapat Umum Pengurus sedikitnya dilaksanakan 1 (Satu) tahun sekali untuk<br />
mengevaluasi terhadap pelaksanaan program sebelumnya dan menetapkan <br />
pelaksanaan program kerja selanjutnya<br />
e. Rapat Rutin Pengurus sedikitnya dilaksanakan 1 (Satu) bulan sekali, merupakan rapat <br />
pleno Pengurus Pusat membahas kegiatan dan rutinitas yayasan serta mengevaluasi<br />
kegiatan kegiatan dari program kerja yang telah dilaksanakan dan menetapkan <br />
kegiatan dari program kerja selanjutnya<br />
f. Rapat Umum Pengurus Harian dilaksanakan sesuai kebutuhan, untuk membahas dan <br />
membicarakan kegiatan rutinitas yayasan<br />
<br />
Segala Keputusan hasil Rapat Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah akan dibahas dalam Rapat Pengurus Pusat LASMAGA dan hasilnya akan disampaikan kembali kepada masing masing tingkatan.<br />
<br />
<br />
<br />
PESERTA MUSYAWARAH DAN RAPAT RAPAT<br />
<br />
Pasal 11<br />
<br />
1. Musyawarah dan Rapat Rapat oleh Peserta , Peserta Peninjau dan Peserta Undangan<br />
2. Peserta adalah Pengrus yang ikut serta dalam musyawarah atau rapat rapat yang <br />
jumlahnya ditentukan oleh Pengurus Yayasan, sedangkan Peserta Undangan adalah <br />
peserta yang ikut serta dalam musyawarah atau Rapat Rapat diluar Unsur Pengurus.<br />
3. Tata cara Peserta Musyawarah atau Rapat Rapat dan mengenai hak suara diatur dalam<br />
peraturan yayasan<br />
<br />
<br />
<br />
KEKAYAAN<br />
<br />
Pasal 12<br />
Badan Usaha / Otonom<br />
<br />
1. Dalam melaksanakan kegiatan dan aktifitasnya yang bersifat komersial dan nirlaba<br />
LASMAGA membentuk badan badan usaha/otonom yang sesuai dengan maksud dan <br />
tujuan lembaga<br />
2. Bentuk dan jenis usaha diatur dalam Peraturan Lembaga<br />
<br />
<br />
<br />
ATURAN PERALIHAN<br />
<br />
Pasal 13<br />
<br />
1. Anggaran Rumah Tangga LASMAGA ini disusun oleh Pendiri LASMAGA dan Tim yang<br />
dibentuk oleh Pendiri<br />
2. Hal hal lain yang belum ditetapkan dan dibuat dalam Anggaran Rumah Tangga ini dapat<br />
diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Lembaga<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENUTUP<br />
<br />
Pasal 14<br />
Anggaran Rumah Tangga Lembaga Aspirasi masyarakat Galesong ini disusun dan ditetapkan di Tanjung Bunga Makassa pada Hari Senin 19 Juli 2010 oleh Pendiri LASMAGA dan Tim yang dibentuk Pendiri.<br />
<br />
<br />
Ditetapkan Di : Makassar<br />
Pada Tanggal : 19 Juli 2010<br />
<br />
Pendiri :<br />
<br />
1. H. Nasir B Sitaba, S.KM., M.Kes<br />
<br />
Team Penyusun :<br />
<br />
1. Abdul Hamid Daeng Ngasa<br />
2. Syamsul Rijal<br />
3. M. Idrus Sigollo<br />
4. Ibnu Hajar Erang<br />
5. Ruslan B Nuntung, S.Pdi<br />
6. Abd. Aziz Nyampa, S.sos.syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-11027645569395004082011-03-09T19:42:00.000-08:002011-03-09T19:42:09.506-08:00Konvensi Wina Tentang Hubungan Konsuler 1963Tugas Hukum Internsional<br />
Konvensi Wina Tentang Hubungan Konsuler 1963<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Nama : SYAMSUL RIJAL<br />
Nim : 10500108053<br />
Prodi : Ilmu Hukum<br />
<br />
<br />
FAKULTAS SYRIAH DAN HUKUM<br />
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR<br />
2011<br />
<br />
Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler 1963<br />
Dibuat di Wina pada tanggal 24 April 1963. <br />
Mulai berlaku pada tanggal 19 Maret 1967.<br />
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Treaty Series, vo1. 596, p. 261<br />
Copyright © Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />
2005<br />
Konvensi Wina tentang Hubungan Konsule Dibuat di Wina pada 24 April 1963<br />
Negara-negara Pihak Konvensi ini,<br />
Mengingat bahwa hubungan konsuler telah berdiri antara masyarakat sejak zaman kuno,<br />
Setelah dalam pikiran Tujuan dan Prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kesetaraan berdaulat Negara, pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, dan promosi ramah hubungan antar bangsa, <br />
Menimbang bahwa Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Kekebalan Diplomatik Intercourse mengadopsi Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik yang telah dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 18 April 1961, Percaya bahwa konvensi internasional tentang konsuler, hak istimewa hubungan dan kekebalan akan juga berkontribusi terhadap pengembangan hubungan persahabatan antar bangsa, terlepas dari mereka berbeda konstitusional dan sistem sosial, <br />
Menyadari bahwa tujuan hak istimewa dan imunitas tidak untuk keuntungan individu melainkan untuk menjamin kinerja yang efisien dengan fungsi konsuler atas nama masing-masing Negara,<br />
Menegaskan bahwa peraturan hukum kebiasaan internasional terus mengatur hal-hal yang tidak tegas diatur oleh ketentuan-ketentuan Konvensi ini, Telah menyetujui sebagai berikut:<br />
Pasal 1<br />
Definisi<br />
1.Untuk tujuan Konvensi ini, istilah berikut mempunyai arti bawah ini ditugaskan kepada mereka:<br />
(A) "konsuler" berarti setiap badan konsulat jenderal, konsulat, wakil-konsulat atau konsuler;<br />
(B) "distrik konsuler" berarti daerah yang ditetapkan ke konsuler untuk pelaksanaan konsuler fungsi;<br />
(C) "kepala konsuler" berarti orang bertugas bertindak dalam kapasitas itu;<br />
(D) "petugas konsuler" berarti setiap orang, termasuk kepala konsuler, dipercayakan di kapasitas dengan pelaksanaan fungsi konsuler;<br />
(E) "pegawai konsuler" berarti setiap orang yang bekerja di pelayanan administratif atau teknis dari konsuler pos;<br />
(F) "anggota staf pelayanan" berarti setiap orang yang bekerja di pelayanan rumah tangga dari konsuler posting;<br />
(G) "anggota konsuler" berarti petugas konsuler, karyawan konsuler dan anggota staf pelayanan;<br />
(H) "anggota staf konsuler" berarti petugas konsuler, selain kepala konsuler, konsuler karyawan dan anggota staf pelayanan;<br />
(I) "anggota staf pribadi" berarti seseorang yang bekerja secara eksklusif di layanan swasta seorang anggota konsuler;<br />
(J) "tempat konsuler" berarti bangunan atau bagian dari bangunan dan tanah dalamnya perwara, terlepas dari kepemilikan, digunakan secara eksklusif untuk tujuan konsuler;<br />
(K) "arsip konsuler" mencakup semua surat, dokumen, korespondensi, buku, film, kaset dan register pos konsuler, bersama-sama dengan sandi dan kode, kartu-indeks dan setiap artikel mebel dimaksudkan untuk perlindungan mereka atau aman menjaga. petugas <br />
2.Consular ada dua kategori, yaitu karir petugas konsuler dan kehormatan konsuler petugas. Ketentuan-ketentuan Bab II dari Konvensi ini berlaku untuk posting konsuler dipimpin oleh karir petugas konsuler, ketentuan dari Bab III mengatur konsuler dipimpin oleh konsulat kehormatan petugas. <br />
3.Setelah status khusus anggota posting konsuler yang warganegara atau penduduk tetap<br />
dari Negara penerima diatur dalam pasal 71 dari Konvensi ini.<br />
BAB I. HUBUNGAN KONSULER DI UMUM BAGIAN I. PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN HUBUNGAN KONSULER<br />
Pasal 2<br />
Pembentukan hubungan konsuler<br />
1.The pembentukan hubungan konsuler antara Amerika berlangsung dengan persetujuan bersama.<br />
2. Persetujuan diberikan kepada pembentukan hubungan diplomatik antara dua Negara menyiratkan, kecuali dinyatakan lain, menyetujui pembentukan hubungan konsuler.<br />
3.Setelah pemutusan hubungan diplomatik tidak akan ipso facto melibatkan pemutusan konsuler hubungan.<br />
Pasal 3<br />
Pelaksanaan fungsi konsuler fungsi Konsuler yang dilaksanakan oleh posting konsuler. Mereka juga dilaksanakan oleh diplomatik misi sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.<br />
Pasal 4<br />
Pembentukan konsuler<br />
1.a konsuler dapat didirikan di wilayah Negara penerima hanya dengan itu Negara persetujuan.<br />
2.Aktifitas kursi konsuler, klasifikasi dan distrik konsuler harus ditetapkan oleh Negara pengirim dan harus tunduk pada persetujuan dari Negara penerima.<br />
3.Subsequent perubahan di kursi pos konsuler, klasifikasi atau distrik konsuler dapat dilakukan oleh Negara mengirimkan hanya dengan persetujuan dari Negara penerima.<br />
4.The persetujuan dari Negara penerima juga akan diperlukan jika konsulat-konsulat umum atau keinginan untuk membuka wakil-konsulat atau agen konsuler di tempat lain daripada di mana ia sendiri didirikan.<br />
5.The sebelum menyatakan persetujuan dari Negara penerima juga harus diperlukan untuk pembukaan kantor membentuk bagian dari konsuler yang ada di tempat lain daripada di kursi tersebut.<br />
Pasal 5<br />
Fungsi Konsuler<br />
fungsi Konsuler terdiri dalam:<br />
(A) melindungi di Negara menerima kepentingan Negara pengirim dan warga negaranya, baik individu dan badan-badan perusahaan, dalam batas-batas yang diijinkan oleh hukum internasional;<br />
(B) melanjutkan pengembangan hubungan komersial, ekonomi, budaya dan ilmiah antara mengirim Negara dan Negara penerima dan sebaliknya meningkatkan hubungan persahabatan antara mereka di sesuai dengan ketentuan Konvensi ini;<br />
(C) memastikan oleh semua kondisi cara halal dan perkembangan di ekonomi komersial,,<br />
budaya dan ilmiah kehidupan dari Negara penerima, pelaporan atasnya kepada Pemerintah pengiriman Negara dan memberikan informasi kepada orang-orang tertarik;<br />
(D) penerbitan paspor dan dokumen perjalanan bagi warga negara dari Negara pengirim, dan visa atau sesuai dokumen untuk orang-orang yang ingin melakukan perjalanan ke Negara pengirim;<br />
(E) membantu dan membantu warga negara, baik perorangan maupun badan hukum dari Negara pengirim;<br />
(F) bertindak sebagai pendaftar notaris dan sipil dan dalam kapasitas yang sejenis, dan melakukan tertentu fungsi yang bersifat administratif, asalkan ada amandemen bertentangan dalam hukum dan peraturan dari Negara penerima;<br />
(G) melindungi kepentingan warga negara, baik individu dan badan-badan perusahaan, perangkat pengirim Negara dalam kasus suksesi causa mortis di wilayah Negara penerima, sesuai dengan hukum dan peraturan dari Negara penerima;<br />
(H) pengamanan, dalam batas-batas yang dipaksakan oleh hukum dan peraturan dari Negara penerima, yang kepentingan anak di bawah umur dan orang lain tidak memiliki kapasitas penuh yang merupakan warga negara dari Negara pengirim, terutama di mana setiap perwalian atau perwalian diperlukan yang berkaitan dengan orang tersebut;<br />
(I) tunduk pada praktek-praktek dan prosedur mendapatkan di Negara penerima, mewakili atau mengatur representasi yang tepat untuk warga negara dari Negara pengirim sebelum pengadilan dan otoritas lainnya Negara penerima, dengan tujuan untuk memperoleh, sesuai dengan hukum dan peraturan Negara menerima, tindakan sementara untuk pelestarian hak-hak dan kepentingan warga negara ini, mana, karena tidak adanya atau alasan lain, warga negara tersebut tidak pada waktu yang tepat untuk mengasumsikan membela hak dan kepentingan;<br />
(J) transmisi dokumen pengadilan dan di luar hukum atau mengeksekusi surat rogatory atau komisi untuk mengambil bukti untuk pengadilan dari Negara pengirim sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku atau, dengan tidak adanya perjanjian internasional tersebut, dengan cara lain yang kompatibel dengan hukum dan peraturan dari Negara penerima;<br />
(K) hak melaksanakan pengawasan dan inspeksi diatur dalam undang-undang dan peraturan<br />
mengirim Negara berkaitan dengan kapal memiliki kewarganegaraan dari Negara pengirim, dan pesawat terbang yang terdaftar di Negara, dan dalam hal awak mereka;<br />
(L) bantuan memperluas untuk kapal dan pesawat yang disebutkan dalam sub ayat (k) pasal ini, dan untuk mereka kru, mengambil laporan tentang perjalanan kapal, memeriksa dan stamping kapal kertas, dan, tanpa mengurangi kekuasaan otoritas dari Negara penerima, melakukan investigasi ke dalam setiap insiden yang terjadi selama perjalanan, dan menyelesaikan sengketa apapun antara master, para perwira dan pelaut sejauh ini mungkin disahkan oleh hukum dan peraturan dari Negara pengirim;<br />
(M) melakukan setiap fungsi lainnya yang dipercayakan kepada sebuah pos konsuler oleh Negara pengirim yang tidak dilarang oleh hukum dan peraturan dari Negara penerima atau yang tidak ada keberatan yang diambil oleh Negara penerima atau yang disebut dalam perjanjian internasional yang berlaku antara pengiriman Negara dan Negara penerima.<br />
Pasal 6<br />
Pelaksanaan fungsi konsuler luar kabupaten konsuler Seorang petugas konsuler dapat, dalam keadaan khusus, dengan persetujuan dari Negara penerima, olahraga nya fungsi luar daerah konsuler nya.<br />
Pasal 7<br />
Pelaksanaan fungsi konsuler di negara ketiga Negara pengirim, setelah memberitahukan kepada Negara yang bersangkutan, mempercayakan pos konsuler didirikan pada suatu Negara tertentu dengan pelaksanaan fungsi konsuler di Negara lain, kecuali ada adalah mengekspresikan keberatan oleh salah satu Negara yang bersangkutan.<br />
Pasal 8<br />
Pelaksanaan fungsi konsuler atas nama negara ketiga Setelah pemberitahuan sesuai dengan Negara penerima, sebuah pos konsuler dari Negara pengirim dapat, kecuali jika objek Negara penerima, melaksanakan fungsi konsuler di Negara penerima atas nama ketiga Negara.<br />
Pasal 9<br />
Kelas kepala posting konsuler<br />
1.Heads posting konsuler dibagi menjadi empat kelas, yaitu<br />
(A) konsul-umum;<br />
(B) Konsul;<br />
(C) wakil-konsul;<br />
(D) agen konsuler.<br />
2.Paragraph 1 pasal ini sama sekali tidak membatasi hak dari salah satu Pihak untuk memperbaiki penunjukan petugas konsuler selain kepala konsuler.<br />
Pasal 10<br />
Pengangkatan dan pengakuan kepala posting konsuler<br />
1.Heads posting konsuler diangkat oleh Negara pengirim dan mengakui dengan pelaksanaan<br />
mereka fungsi oleh Negara penerima.<br />
2.Subject dengan ketentuan Konvensi ini, formalitas untuk pengangkatan dan untuk pengakuan kepala konsuler ditentukan oleh hukum, peraturan dan penggunaan dari mengirim Negara dan dari Negara penerima masing-masing.<br />
Pasal 11<br />
Komisi konsuler atau pemberitahuan pengangkatan<br />
1.The kepala konsuler harus disediakan oleh Negara pengirim dengan dokumen, dalam bentuk instrumen komisi atau mirip, terbuat dari untuk setiap janji, sertifikasi kapasitas dan<br />
menunjukkan, sebagai aturan umum, nama lengkap, kategori dan kelas, distrik konsuler dan kursi dari konsuler posting.<br />
2.Aktifitas mengirim Negara akan mengirimkan komisi atau instrumen serupa melalui diplomatik atau lain yang sesuai saluran kepada Pemerintah Negara di wilayah siapa kepala konsuler adalah untuk melaksanakan fungsi nya.<br />
3. Jika Negara penerima setuju, Negara pengirim dapat, bukan komisi atau serupa instrumen, kirim ke Negara menerima pemberitahuan yang berisi keterangan yang diperlukan oleh ayat pasal ini.<br />
Pasal 12<br />
exequatur The<br />
1.The kepala konsuler diakui dengan pelaksanaan fungsi-Nya dengan izin dari Negara penerima disebut exequatur, apapun bentuk otorisasi ini.<br />
2.Penurunan Negara yang menolak untuk memberikan suatu exequatur tidak berkewajiban untuk memberi alasan Negara pengirim untuk penolakan tersebut.<br />
3.Subject dengan ketentuan pasal 13 dan pasal 15, kepala konsuler tidak boleh memasuki tugas-tugasnya sampai ia telah menerima sebuah exequatur.<br />
Pasal 13<br />
Sementara pengakuan kepala posting konsuler Menunggu pengiriman exequatur tersebut, kepala konsuler dapat diterima pada sementara dasar untuk pelaksanaan tugasnya. Dalam hal ini, ketentuan-ketentuan dari Konvensi ini akan berlaku.<br />
Pasal 14<br />
Pemberitahuan kepada pihak berwenang distrik konsuler Segera setelah kepala konsuler diakui bahkan sementara dengan pelaksanaannya fungsi, Negara penerima harus segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dari kabupaten konsuler. Hal ini juga harus memastikan bahwa langkah-langkah perlu diambil untuk memungkinkan kepala konsuler untuk membawa tugas-tugas dari kantornya dan untuk mendapatkan manfaat dari ketentuan-ketentuan Konvensi ini.<br />
Pasal 15<br />
Sementara pelaksanaan fungsi kepala konsuler<br />
1. Jika kepala konsuler tidak mampu melaksanakan fungsinya atau posisi kepala konsuler adalah kosong, sebuah kepala bertindak pasca dapat bertindak untuk sementara sebagai kepala konsuler.<br />
2.Aktifitas nama lengkap kepala bertindak pasca harus diberitahukan baik oleh misi diplomatik dari mengirim Negara atau, jika Negara tidak memiliki misi seperti di Negara penerima, oleh kepala konsuler posting, atau, jika ia tidak mampu melakukannya, oleh pejabat yang berwenang dari Negara pengirim, ke Kementerian Luar Negeri Negara penerima atau kepada otoritas yang ditunjuk oleh Menteri. Sebagai aturan umum, pemberitahuan ini harus diberikan di muka. Negara penerima dapat membuat pengakuan sebagai penjabat kepala pasca seseorang yang bukan agen diplomatik atau pejabat konsuler dari Negara pengirim dalam Negara menerima syarat persetujuan.<br />
3.Setelah pejabat yang berwenang dari Negara penerima harus memberikan bantuan dan perlindungan terhadap bertindak kepala pos. Sementara ia bertanggung jawab atas pos, ketentuan-ketentuan Konvensi ini harus berlaku baginya atas dasar yang sama untuk kepala konsuler yang bersangkutan. Negara penerima harus tidak, bagaimanapun, diwajibkan untuk memberikan kepada seorang kepala bertindak pasca setiap fasilitas, hak istimewa atau kekebalan yang kepala konsuler menikmati hanya tunduk pada kondisi tidak dipenuhi oleh kepala bertindak pos.<br />
4.Pada saat, dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, seorang anggota staf diplomatik dari misi diplomatik dari Negara pengirim di Negara penerima ditunjuk oleh mengirim Negara sebagai kepala akting dari pos, ia akan, jika Negara penerima tidak keberatan hal tersebut, lanjutkan untuk menikmati hak istimewa dan kekebalan diplomatik.<br />
Pasal 16<br />
Diutamakan sebagai antara kepala konsuler<br />
1.Heads posting konsuler harus peringkat di kelas masing-masing sesuai dengan tanggal pemberian dari exequatur.<br />
2. Namun, jika kepala konsuler sebelum memperoleh exequatur adalah mengakui ke pelaksanaan tugasnya sementara, didahulukan akan ditentukan menurut tanggal masuk sementara; didahulukan ini harus dipelihara setelah pemberian exequatur tersebut.<br />
3.Setelah urutan prioritas sebagai antara dua atau lebih kepala konsuler yang memperoleh exequatur atau masuk sementara pada tanggal yang sama harus ditentukan sesuai dengan tanggal pada yang komisi atau instrumen serupa atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 pasal 11 dipresentasikan kepada Negara penerima. kepala <br />
4.Acting posting harus pangkat setelah semua kepala konsuler dan, diantara mereka sendiri,<br />
mereka akan diurutkan sesuai dengan tanggal di mana mereka dianggap fungsinya sebagai kepala bertindak posting sebagai ditunjukkan dalam pemberitahuan yang diberikan menurut ayat 2 pasal 15.<br />
5.Honorary petugas konsuler yang kepala konsuler harus peringkat di kelas masing-masing setelah karir kepala konsuler, dalam pesanan dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan pada paragraf sebelumnya.<br />
6.Heads posting konsuler harus memiliki awalan dibanding petugas konsuler tidak memiliki status itu.<br />
Pasal 17<br />
Kinerja diplomatik tindakan oleh petugas konsuler<br />
1. Dalam suatu Negara dimana Negara pengirim tidak memiliki misi diplomatik dan tidak diwakili oleh misi diplomatik dari suatu Negara ketiga, petugas konsuler dapat, dengan persetujuan dari Negara penerima, dantanpa mempengaruhi status konsuler nya, diberi wewenang untuk melakukan tindakan diplomatik. Kinerja tersebut tindakan oleh petugas konsuler tidak akan memberikan kepada dia hak untuk mengklaim hak-hak istimewa diplomatik dan kekebalan. petugas konsuler <br />
2.Penurunan mungkin, setelah pemberitahuan ditujukan kepada bertindak, menerima Negara sebagai wakil Negara pengiriman ke setiap organisasi antar pemerintah. Ketika begitu akting, ia berhak untuk menikmati setiap hak istimewa dan kekebalan tersebut diberikan kepada perwakilan oleh hukum kebiasaan internasional atau perjanjian internasional, namun, dalam hal kinerja olehnya setiap fungsi konsuler, dia tidak akan berhak atas kekebalan yang lebih besar dari yurisdiksi dari itu untuk yang petugas konsuler adalah berhak di bawah Konvensi ini.<br />
Pasal 18<br />
Penunjukan orang yang sama oleh dua atau lebih Negara sebagai petugas konsuler Dua atau lebih Negara dapat dengan persetujuan dari Negara penerima, menunjuk orang yang sama sebagai petugas konsuler di Negara tersebut.<br />
Pasal 19<br />
Pengangkatan anggota staf konsuler<br />
1.Berdasarkan ketentuan pasal 20, 22 dan 23, Negara dapat dengan bebas mengirimkan menunjuk anggota staf konsuler.<br />
2.Aktifitas nama kategori, penuh dan kelas dari semua pejabat konsuler, selain kepala konsuler, harus diberitahukan oleh Negara mengirimkan ke Negara penerima dalam waktu yang cukup untuk Negara penerima, jika begitu ingin, untuk melaksanakan haknya berdasarkan ayat 3 pasal 23.<br />
3.Setelah mengirim Negara dapat, jika diperlukan oleh hukum dan peraturan, permintaan Negara penerima untuk memberikan exequatur ke petugas konsuler selain kepala konsuler.<br />
4.The Negara penerima dapat, jika diperlukan oleh hukum dan peraturan, memberikan exequatur untuk sebuah selain kepala konsuler petugas konsuler.<br />
Pasal 20<br />
Ukuran staf konsuler<br />
Dengan tidak adanya perjanjian mengungkapkan untuk ukuran staf konsuler, Negara penerima dapat mengharuskan ukuran staf disimpan dalam batas dianggap oleh itu menjadi wajar dan normal, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di Kabupaten konsuler dan untuk kebutuhan tertentu konsuler posting.<br />
Pasal 21<br />
Diutamakan sebagai antara petugas konsuler dari konsuler<br />
Urutan prioritas sebagai antara petugas konsuler dari sebuah pos konsuler dan perubahan<br />
daripadanya harus diberitahukan oleh misi diplomatik dari Negara pengirim atau, jika Negara tidak memiliki seperti misi di Negara penerima, oleh kepala konsuler, kepada Kementerian Luar Negeri menerima Negara atau kepada otoritas yang ditunjuk oleh Menteri.<br />
Pasal 22<br />
Kebangsaan petugas konsuler<br />
1.Consular harus, pada prinsipnya, memiliki kewarganegaraan dari Negara pengirim.<br />
2.Consular petugas tidak dapat ditunjuk dari antara orang yang mempunyai kewarganegaraan dari Negara menerima kecuali dengan izin dari Negara yang dapat ditarik setiap saat.<br />
3.Setelah menerima Negara memiliki hak yang sama berkaitan dengan warga negara dari suatu Negara ketiga yang tidak juga warga negara dari Negara pengirim.<br />
Pasal 23<br />
Orang menyatakan "non grata"<br />
1.The menerima Negara dapat setiap saat memberitahukan kepada Negara pengirim bahwa petugas konsuler adalah persona non grata atau bahwa setiap anggota lain dari staf konsuler tidak dapat diterima. Dalam hal itu, pengiriman Negara harus, sebagai kasus mungkin, baik mengingat orang yang bersangkutan atau mengakhiri fungsi nya dengan konsuler posting.<br />
2. Jika Negara pengirim menolak atau gagal dalam waktu yang cukup untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan ayat 1 pasal ini, Negara penerima dapat, sebagai kasus mungkin, baik yang menarik exequatur dari orang yang bersangkutan atau berhenti untuk mempertimbangkan dia sebagai anggota staf konsuler.<br />
3. orang yang diangkat sebagai anggota posting konsuler dapat dinyatakan tidak dapat diterima sebelum tiba di wilayah Negara penerima atau, jika sudah di Negara penerima, sebelum masuk pada nya tugas dengan konsuler. Dalam setiap hal demikian, Negara pengirim harus menarik janji-Nya.<br />
4. Dalam kasus yang disebutkan dalam ayat 1 dan 3 pasal ini, Negara penerima tidak berkewajiban untuk berikan alasan Negara pengiriman keputusan.<br />
Pasal 24<br />
Pemberitahuan kepada Negara menerima janji, kedatangan dan keberangkatan<br />
1.The Departemen Luar Negeri dari Negara penerima atau otoritas yang ditunjuk oleh Menteri harus diberitahu tentang:<br />
(A) pengangkatan anggota konsuler, mereka tiba setelah pengangkatan ke konsuler pos, keberangkatan terakhir mereka atau pemutusan fungsi mereka dan setiap perubahan lainnya yang mempengaruhi mereka status yang mungkin terjadi dalam perjalanan pelayanan mereka dengan konsuler;<br />
(B) kedatangan dan keberangkatan terakhir dari orang milik keluarga anggota suatu posting konsuler membentuk bagian dari rumah tangga dan, apabila diperlukan, kenyataan bahwa seseorang menjadi atau berhenti menjadi seperti anggota keluarga;<br />
(C) kedatangan dan keberangkatan terakhir dari anggota staf swasta dan, jika diperlukan, penghentian pelayanan mereka seperti;<br />
(D) keterlibatan dan debit orang yang tinggal di Negara penerima sebagai anggota konsuler pos atau sebagai anggota staf swasta berhak untuk hak istimewa dan kekebalan.<br />
2.Pada mungkin, pemberitahuan sebelum kedatangan dan keberangkatan akhir ini juga harus diberikan.<br />
BAGIAN II.<br />
AKHIR FUNGSI KONSULER<br />
Pasal 25<br />
Pemberhentian fungsi anggota suatu posting konsuler Fungsi anggota posting konsuler akan datang untuk mencapai tujuan, antara lain:<br />
(A) pada pemberitahuan oleh Negara mengirimkan ke Negara penerima yang fungsinya telah berakhir;<br />
(B) tentang pencabutan exequatur tersebut;<br />
(C) pada pemberitahuan oleh Negara penerima ke Negara pengirim bahwa Negara penerima telah berhenti menganggap dia sebagai anggota staf konsuler.<br />
Pasal 26<br />
Berangkat dari wilayah Negara penerima<br />
Negara penerima harus, bahkan dalam kasus konflik bersenjata, memberikan kepada anggota konsuler dan anggota staf swasta, selain warga negara dari Negara penerima, dan untuk anggota mereka keluarga membentuk bagian dari rumah tangga mereka terlepas dari kebangsaan, waktu yang diperlukan dan fasilitas untuk memungkinkan mereka untuk mempersiapkan keberangkatan mereka dan untuk meninggalkan pada saat sedini mungkin setelah pengakhiran fungsi anggota yang bersangkutan. Secara khusus, itu harus, dalam hal kebutuhan, tempat yang mereka miliki diperlukan sarana transportasi untuk diri mereka sendiri dan harta mereka selain dari kekayaan yang diperoleh di Negara menerima ekspor yang dilarang pada saat keberangkatan.<br />
Pasal 27<br />
Perlindungan aset konsuler dan arsip dan dari kepentingan Negara pengirim dalam keadaan luar biasa<br />
1. Dalam hal pemutusan hubungan konsuler antara dua Negara:<br />
(A) negara penerima harus, bahkan dalam kasus konflik bersenjata, menghormati dan melindungi tempat konsuler, bersama-sama dengan milik konsuler dan arsip konsuler;<br />
(B) Negara pengirim dapat mempercayakan tahanan tempat konsuler, bersama-sama dengan properti terkandung di dalamnya dan arsip konsuler, untuk suatu Negara ketiga diterima oleh Negara penerima;<br />
(C) Negara pengirim dapat mempercayakan perlindungan kepentingan dan orang-orang dari warga negaranya untuk yang ketiga diterima oleh Negara penerima Negara.<br />
2. Dalam hal penutupan sementara atau permanen dari konsuler, ketentuan sub-ayat (a) ayat 1 pasal ini akan berlaku. Selain itu,<br />
(A) jika Negara pengirim, meskipun tidak terwakili dalam Negara penerima oleh misi diplomatik, telah pos lain konsuler di dalam wilayah Negara yang bersangkutan, yang mungkin konsuler dipercayakan dengan penahanan dari tempat pos konsuler yang telah ditutup, bersama dengan aset yang terkandung di dalamnya dan konsuler arsip, dan, dengan persetujuan dari Negara penerima, dengan pelaksanaan konsuler fungsi di distrik yang konsuler; atau<br />
(B) jika Negara pengirim tidak memiliki misi diplomatik dan tidak ada konsuler lain di Negara penerima, ketentuan sub-ayat (b) dan (c) ayat 1 pasal ini akan berlaku.<br />
BAB II.<br />
FASILITAS, HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN KONSULER TERKAIT DENGAN POS, KARIR KONSULER PEJABAT DAN ANGGOTA LAINNYA DARI A POST KONSULER BAGIAN I. FASILITAS, HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN TENTANG KEPADA POST KONSULER<br />
Pasal 28<br />
Fasilitas untuk pekerjaan konsuler Negara penerima harus memberikan fasilitas lengkap untuk kinerja fungsi konsuler posting.<br />
Pasal 29<br />
Penggunaan bendera nasional dan coat-of-senjata<br />
1.The mengirim Negara berhak untuk penggunaan bendera nasional dan-coat of-senjata di menerima Negara sesuai dengan ketentuan pasal ini.<br />
2.Aktifitas bendera nasional dari Negara pengirim dapat diterbangkan dan yang coat-of-senjata ditampilkan pada bangunan ditempati oleh konsuler dan pada pintu masuk daripadanya, di kediaman kepala pos konsuler dan pada alat-alat transportasi bila digunakan pada bisnis resmi.<br />
3. Dalam pelaksanaan hak diberikan oleh pasal hal ini harus harus hukum, peraturan dan penggunaan dari Negara penerima.<br />
Pasal 30<br />
Akomodasi<br />
1.The menerima baik Negara harus memfasilitasi akuisisi di wilayahnya, sesuai dengan yang<br />
hukum dan peraturan, oleh Negara pengiriman tempat yang diperlukan untuk memposting konsuler atau membantu yang terakhir di mendapatkan akomodasi dalam beberapa cara lain.<br />
2. Itu juga harus, jika perlu, membantu konsuler mendapatkan akomodasi yang cocok untuk anggotanya.<br />
Pasal 31<br />
Keutuhan tempat konsuler<br />
1.Consular akan diganggu gugat sejauh disediakan dalam artikel ini.<br />
2.Aktifitas berwenang dari Negara penerima tidak boleh masuk bagian konsuler tempat yang digunakan secara eksklusif untuk tujuan pekerjaan konsuler kecuali dengan persetujuan kepala pos konsuler atau yang ditunjuk atau kepala misi diplomatik dari Negara pengirim. The persetujuan kepala konsuler mungkin, namun demikian, dapat diasumsikan jika terjadi kebakaran atau bencana lainnya membutuhkan tindakan protektif prompt.<br />
3.Subject dengan ketentuan ayat 2 pasal ini, Negara penerima bawah khusus kewajiban untuk mengambil semua langkah yang tepat untuk melindungi tempat konsuler terhadap setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah gangguan perdamaian pos konsuler atau penurunan martabat.<br />
4.The konsuler bangunan, perabotan mereka, milik konsuler dan sarana nya transportasi harus kebal dari segala bentuk permintaan untuk keperluan pertahanan nasional atau utilitas publik. Jika pengambil-alihan diperlukan untuk tujuan tersebut, semua langkah yang mungkin harus diambil untuk menghindari menghambat fungsi konsuler, dan cepat, kompensasi yang layak dan efektif harus dibayarkan kepada Negara pengiriman.<br />
Pasal 32<br />
Pembebasan dari pajak aktiva konsuler<br />
1.Consular tempat dan tempat tinggal kepala konsuler karir yang pengiriman Negara atau orang yang bertindak atas nama perusahaan adalah pemilik atau penyewa harus dibebaskan dari semua nasional, regional atau iuran kota dan pajak apapun, selain seperti merupakan pembayaran untuk layanan tertentu diberikan.<br />
2.Aktifitas pembebasan dari pajak sebagaimana dimaksud ayat 1 pasal ini tidak berlaku untuk iuran tersebut dan pajak jika, berdasarkan hukum dari Negara penerima, mereka dibayar oleh orang yang dikontrak dengan mengirim Negara atau dengan orang yang bertindak atas namanya.<br />
Pasal 33<br />
Keutuhan arsip dan dokumen konsuler Arsip konsuler dan dokumen harus diganggu gugat setiap saat dan dimanapun mereka berada.<br />
Pasal 34<br />
Kebebasan bergerak<br />
Sesuai dengan hukum dan peraturan tentang masuk ke dalam zona yang dilarang atau diatur untuk alasan keamanan nasional, Negara penerima harus memastikan kebebasan bergerak dan perjalanan dalam Surat wilayah untuk seluruh anggota konsuler.<br />
Pasal 35<br />
Kebebasan komunikasi<br />
1.The menerima Negara akan mengizinkan dan melindungi kebebasan berkomunikasi pada bagian dari konsuler pos untuk semua tujuan resmi. Dalam berkomunikasi dengan Pemerintah, misi diplomatik dan posting konsuler lainnya, di manapun berada, dari Negara pengirim, pos konsuler dapat mempekerjakan semua cara yang tepat, termasuk tas diplomatik atau konsuler kurir, diplomatik atau konsuler dan pesan dalam kode atau cipher. Namun, konsuler dapat menginstal dan menggunakan pemancar nirkabel hanya dengan persetujuan dari Negara penerima.<br />
2.Aktifitas korespondensi resmi dari konsuler akan diganggu gugat. Resmi korespondensi berarti semua korespondensi berkaitan dengan konsuler dan fungsinya. tas konsuler <br />
3.Setelah akan dibuka atau tidak ditahan. Namun demikian, jika kompeten berwenang dari Negara penerima memiliki alasan serius untuk percaya bahwa tas berisi sesuatu yang lain dari korespondensi, dokumen atau barang sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 pasal ini, mereka mungkin meminta tas dibuka di hadapan mereka oleh perwakilan yang berwenang dari Negara pengirim. Jika permintaan ini ditolak oleh yang berwenang dari Negara pengirim, tas harus dikembalikan ke tempat nya asal. <br />
4.The merupakan kantong konsuler akan menunjukkan tanda-tanda eksternal dapat dilihat dari karakter mereka dan hanya dapat berisi surat-menyurat resmi dan dokumen atau barang ditujukan khusus untuk resmi digunakan.<br />
5.The kurir konsuler harus dilengkapi dengan dokumen resmi yang menunjukkan statusnya dan jumlah paket yang merupakan kantong konsuler. Kecuali dengan persetujuan dari Negara penerima dia harus tidak seorang warga negara dari Negara penerima, atau, kecuali ia menjadi warga negara dari Negara pengirim, sebuah permanen penduduk dari Negara penerima. Dalam melaksanakan fungsi, ia harus dilindungi oleh Negara penerima. Ia akan menikmati diganggu gugat pribadi dan tidak akan bertanggung jawab untuk segala bentuk penangkapan atau penahanan.<br />
6.The mengirim Negara, misi diplomatik dan konsuler yang dapat menunjuk konsuler kurir ad hoc. Dalam kasus demikian ketentuan ayat 5 Pasal ini juga akan berlaku kecuali bahwa kekebalan yang di dalamnya disebutkan akan berhenti berlaku saat kurir tersebut telah disampaikan kepada penerima kantong konsuler dalam tanggung jawabnya.<br />
7. Tas konsuler dapat dipercayakan kepada kapten kapal atau pesawat komersial yang dijadwalkan mendarat di port resmi masuk. Ia harus dilengkapi dengan dokumen resmi menunjukkan jumlah paket yang merupakan tas, tetapi ia tidak akan dianggap sebagai kurir konsuler. Dengan pengaturan dengan otoritas lokal yang tepat, pos konsuler dapat mengirim satu anggotanya untuk mengambil tas langsung dan bebas dari kapten kapal atau pesawat.<br />
Pasal 36<br />
Komunikasi dan kontak dengan warga negara dari Negara pengirim<br />
1.With maksud untuk memfasilitasi pelaksanaan fungsi konsuler berhubungan dengan warga negara dari pengiriman Negara:<br />
(A) petugas konsuler harus bebas untuk berkomunikasi dengan warga negara dari Negara pengirim dan memiliki akses kepada mereka. Warga negara dari Negara pengirim harus memiliki kebebasan yang sama sehubungan dengan komunikasi dengan dan akses ke petugas konsuler dari Negara pengirim;<br />
(B) jika ia memintanya, pejabat yang berwenang dari Negara penerima harus, tanpa penundaan, menginformasikan konsuler dari Negara pengirim jika, dalam kabupaten konsuler, sebuah warga negara dari Negara ditangkap atau berkomitmen ke penjara atau ke tahanan menunggu persidangan atau ditahan dengan cara lain. Setiap komunikasi ditujukan ke pos konsuler oleh orang ditangkap, dipenjara, ditahan atau penahanan harus diteruskan oleh para pihak berwenang tanpa penundaan. Otoritas yang dimaksud harus memberitahukan pihak yang terkait tanpa penundaan hak-haknya berdasarkan sub ayat ini;<br />
(C) petugas konsuler berhak untuk mengunjungi warga negara dari Negara pengirim yang berada di penjara, penahanan atau penahanan, untuk bercakap dan berkorespondensi dengannya dan untuk mengatur wakil hukumnya. Mereka juga harus memiliki hak untuk mengunjungi warga negara dari Negara asal orang yang dipenjara, ditahan atau penahanan di distrik mereka menurut penghakiman. Namun demikian, petugas konsuler harus menahan diri dari mengambil tindakan atas nama nasional yang dipenjara, ditahan atau penahanan jika ia tegas menentang seperti tindakan.<br />
2.Aktifitas hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pasal ini harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dan peraturan dari Negara penerima, sesuai dengan syarat, namun, bahwa kata hukum dan peraturan harus dapat mendukung secara penuh diberikan dengan tujuan untuk mana hak-hak yang diberikan berdasarkan ini artikel dimaksudkan.<br />
Pasal 37<br />
Informasi dalam kasus kematian, perwalian atau perwalian, kecelakaan dan kecelakaan udara Jika informasi yang relevan tersedia kepada pejabat yang berwenang dari Negara penerima, seperti berwenang harus memiliki tugas:<br />
(A). dalam kasus kematian warga negara dari Negara pengirim, untuk menginformasikan tanpa menunda konsuler pos di kabupaten yang kematian terjadi;<br />
(B) untuk memberitahukan kepada kantor konsuler kompeten tanpa penundaan kasus manapun di mana penunjukan wali atau wali tampaknya berada dalam kepentingan orang kecil atau kekurangan kapasitas penuh yang merupakan nasional dari Negara pengirim. Pemberian informasi ini harus, namun demikian, tanpa mengurangi operasi hukum dan peraturan dari Negara penerima mengenai pengangkatan tersebut;<br />
(C) jika kapal, memiliki kewarganegaraan dari Negara pengirim, yang rusak atau berjalan kandas diteritorial laut atau perairan pedalaman dari Negara penerima, atau jika sebuah pesawat terbang yang terdaftar di Negara pengirim menderita kecelakaan di wilayah Negara penerima, untuk menginformasikan tanpa menunda konsuler terdekat ke lokasi kejadian.<br />
Pasal 38<br />
Komunikasi dengan pihak berwenang dari Negara penerima Dalam menjalankan fungsi mereka, petugas konsuler dapat alamat:<br />
(A) otoritas lokal berwenang dari kabupaten konsuler mereka;<br />
(B) pemerintah pusat berwenang dari Negara penerima jika dan sejauh ini diperbolehkan oleh hukum, peraturan dan penggunaan dari Negara penerima atau dengan perjanjian internasional yang relevan.<br />
Pasal 39<br />
Konsuler biaya dan biaya<br />
1.The mungkin pungutan di wilayah Negara penerima biaya dan biaya yang disediakan oleh hukum dan peraturan dari negara asal untuk tindakan konsuler.<br />
2.Aktifitas jumlah dikumpulkan dalam bentuk biaya dan biaya yang disebut dalam ayat 1 pasal ini, dan penerimaan untuk biaya tersebut dan biaya, akan dibebaskan dari seluruh iuran dan pajak di Negara penerima.<br />
BAGIAN II.<br />
FASILITAS, HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN TENTANG PETUGAS KONSULER DAN KARIR LAIN ANGGOTA POST KONSULER<br />
Pasal 40<br />
Perlindungan petugas konsuler Negara penerima harus memperlakukan petugas konsuler dengan hormat dan harus mengambil semua langkah langkah-langkah untuk mencegah serangan terhadap, kebebasan orang atau martabat.<br />
Pasal 41<br />
Pribadi petugas konsuler dapat diganggu gugat<br />
1.Consular petugas tidak akan bertanggung jawab ke pengadilan penangkapan atau penahanan tertunda, kecuali dalam kasus kejahatan dan kuburan berdasarkan keputusan oleh kekuasaan kehakiman yang berkompeten.<br />
2.Except dalam hal yang ditentukan dalam ayat 1 pasal ini, petugas konsuler tidak akan berkomitmen ke penjara atau tidak bertanggung jawab untuk segala bentuk lain dari pembatasan terhadap kebebasan pribadi mereka simpan di pelaksanaan keputusan pengadilan efek akhir.<br />
3. Jika proses pidana adalah lembaga terhadap petugas konsuler, ia harus muncul sebelum otoritas kompeten. Namun demikian, proses harus dilakukan dengan hormat kepadanya oleh alasan posisi resmi dan, kecuali dalam kasus tertentu dalam ayat 1 pasal ini, dengan cara yang akan menghambat pelaksanaan fungsi konsuler sesedikit mungkin. Ketika, dalam situasi dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, telah menjadi perlu untuk menahan petugas konsuler, yang proses terhadap dia harus dilembagakan dengan minimum penundaan.<br />
Pasal 42<br />
Pemberitahuan penangkapan, penahanan atau penuntutan<br />
Dalam hal penangkapan atau penahanan, menunggu sidang, seorang anggota staf konsuler, atau proses pidana yang dilembagakan terhadap dia, Negara penerima harus segera memberitahu kepala pos konsuler. Jika yang terakhir menjadi dirinya sendiri objek suatu tindakan, Negara penerima harus memberitahukan kepada Negara pengirim melalui saluran diplomatik.<br />
Pasal 43<br />
Imunitas dari yurisdiksi<br />
1.Consular dan karyawan tidak akan setuju kepada yurisdiksi otoritas yudisial atau administratif dari Negara penerima yang berkenaan dengan perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan fungsi konsuler.<br />
2.Aktifitas ketentuan ayat 1 pasal ini tidak akan, bagaimanapun, berlaku dalam rangka sipil baik tindakan:<br />
(A) yang timbul dari kontrak yang diadakan oleh petugas konsuler atau pegawai konsuler di mana dia kontrak tidak secara tegas atau tersirat sebagai agen dari Negara pengirim, atau<br />
(B) oleh pihak ketiga untuk kerusakan yang timbul dari kecelakaan di Negara penerima yang disebabkan oleh kendaraan, kapal atau pesawat.<br />
Pasal 44<br />
Kewajiban untuk memberikan bukti<br />
1.Members dari konsuler mungkin diminta untuk hadir sebagai saksi dalam proses peradilan atau proses administrasi. Seorang pegawai konsuler atau anggota staf pelayanan tidak harus, kecuali dalam kasus-kasus yang disebutkan dalam ayat 3 pasal ini, menolak untuk memberikan bukti. Jika seorang petugas konsuler harus menolak untuk melakukannya, tidak ada ukuran paksaan atau denda dapat diterapkan kepadanya.<br />
2.Aktifitas otoritas membutuhkan bukti petugas konsuler harus menghindari gangguan pada kinerja fungsi nya. Mungkin, jika mungkin, mengambil bukti tersebut di kediamannya atau di konsuler atau menerima pernyataan darinya secara tertulis.<br />
3.Members dari konsuler tidak berkewajiban untuk memberikan bukti tentang hal-hal berhubungan dengan pelaksanaan fungsi mereka atau untuk memproduksi surat-menyurat dan dokumen resmi terkait lainnya. Mereka juga berhak menolak untuk memberikan bukti sebagai saksi ahli sehubungan dengan hukum dari Negara pengirim.<br />
Pasal 45<br />
Waiver of hak istimewa dan kekebalan<br />
1.The mengirim Negara dapat menarik kembali, berkenaan dengan anggota konsuler, salah satu hak istimewa dan kekebalan yang diberikan dalam pasal 41, 43 dan 44. waiver <br />
2.Aktifitas harus dalam semua kasus-kasus tersebut menyatakan, kecuali sebagaimana ditentukan dalam ayat 3 pasal ini, dan harus dikomunikasikan kepada Negara menerima secara tertulis.<br />
3.Setelah proses inisiasi oleh petugas konsuler atau pegawai konsuler dalam hal di mana ia mungkin menikmati kekebalan dari yurisdiksi berdasarkan pasal 43 akan menghalangi dia dari menyerukan imunitas dari yurisdiksi sehubungan dengan gugatan balik secara langsung berhubungan dengan klaim pokok.<br />
4.The penanggalan kekebalan dari yurisdiksi untuk tujuan sipil atau administrasi proses tidak akan dianggap untuk menyatakan penanggalan kekebalan dari langkah-langkah pelaksanaan akibat dari keputusan pengadilan; dalam hal tindakan tersebut, sebagai pengabaian yang terpisah akan diperlukan.<br />
Pasal 46<br />
Pembebasan dari pendaftaran orang asing dan izin tinggal<br />
1.Consular pejabat dan pegawai konsuler dan anggota keluarga mereka membentuk bagian dari mereka rumah tangga harus dibebaskan dari semua kewajiban berdasarkan hukum dan peraturan dari Negara penerima di sehubungan dengan pendaftaran orang asing dan izin tinggal.<br />
2.Aktifitas ketentuan ayat 1 pasal ini tidak akan, bagaimanapun, berlaku untuk setiap karyawan konsuler yang bukan merupakan karyawan tetap dari Negara pengirim atau yang menjalankan apapun pekerjaan yang menguntungkan swasta di Negara penerima atau untuk setiap anggota keluarga setiap karyawan tersebut.<br />
Pasal 47<br />
Pembebasan dari ijin kerja<br />
1.Members pos konsuler harus, sehubungan dengan jasa yang diberikan untuk Negara pengirim, akan dibebaskan dari kewajiban dalam hal untuk ijin kerja yang diberlakukan oleh hukum dan peraturan menerima Negara tentang kerja dengan tenaga kerja asing.<br />
2.Members staf pribadi petugas konsuler dan karyawan konsuler harus, jika mereka tidak membawa pada setiap pekerjaan yang menguntungkan lainnya di Negara penerima, dibebaskan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.<br />
Pasal 48<br />
Jaminan sosial pembebasan<br />
1.Berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 3 pasal ini, anggota konsuler dengan sehubungan dengan layanan yang diberikan oleh mereka untuk Negara pengirim, dan anggota keluarga mereka membentuk bagian dari rumah tangga mereka, akan dibebaskan dari ketentuan jaminan sosial yang mungkin berlaku dalam menerima Negara.<br />
2.Aktifitas pengecualian yang diatur dalam ayat 1 pasal ini akan berlaku juga untuk anggota staf swasta yang berada di tunggal mempekerjakan anggota konsuler, dengan syarat:<br />
(A) bahwa mereka tidak negara atau permanen penduduk di Negara penerima; dan<br />
(B) bahwa mereka dilindungi oleh ketentuan-ketentuan jaminan sosial yang berlaku di Negara pengirim atau Negara ketiga.<br />
3.Members dari konsuler yang mempekerjakan orang kepada siapa pembebasan yang diberikan dalam ayat 2 pasal ini tidak berlaku wajib mematuhi kewajiban yang jaminan sosial ketentuan dari Negara penerima memaksakan kepada majikan.<br />
4.The pengecualian yang diatur dalam ayat 1 dan 2 pasal ini tidak akan menghalangi sukarela partisipasi dalam sistem jaminan sosial dari Negara penerima, dengan ketentuan bahwa partisipasi tersebut diizinkan oleh Negara tersebut.<br />
Pasal 49<br />
Pembebasan dari pajak<br />
1.Consular pejabat dan pegawai konsuler dan anggota keluarga mereka membentuk bagian dari mereka rumah tangga harus dibebaskan dari semua iuran dan pajak, pribadi atau nyata, nasional, regional atau kota, kecuali:<br />
(A) pajak tidak langsung dari jenis yang biasanya dimasukkan dalam harga barang atau jasa;<br />
(B) iuran atau pajak atas harta tak gerak pribadi yang berada di wilayah Negara penerima, tunduk pada ketentuan pasal 32;<br />
(C) real, suksesi atau warisan tugas, dan tugas di transfer, dipungut oleh Negara penerima, tunduk pada ketentuan ayat (b) pasal 51;<br />
(D) iuran dan pajak atas penghasilan pribadi, termasuk keuntungan modal, yang sumbernya di Negara penerima dan pajak modal sehubungan dengan investasi yang dilakukan dalam usaha komersial atau keuangan dalam menerima Negara;<br />
(E) dikenakan biaya untuk layanan khusus diberikan;<br />
(F) pendaftaran, pengadilan atau catatan biaya, iuran hipotek dan biaya meterai, sesuai dengan ketentuan Artikel 32.<br />
2.Members dari staf pelayanan akan dibebaskan dari iuran dan pajak terhadap upah yang mereka menerima untuk layanan mereka.<br />
3.Members dari konsuler yang mempekerjakan orang yang upah atau gaji yang tidak dikecualikan dari pajak penghasilan di Negara penerima harus mematuhi kewajiban yang hukum dan peraturan Negara memaksakan kepada pengusaha mengenai pengadaan pajak penghasilan.<br />
Pasal 50<br />
Pembebasan dari bea masuk dan inspeksi<br />
1.The Negara penerima harus, sesuai dengan hukum dan peraturan tersebut karena dapat mengadopsi, izin masuknya dan memberikan pembebasan dari semua bea cukai, pajak, dan biaya terkait lainnya dari biaya yang dikenakan untuk penyimpanan, angkutan gerobak dan layanan yang sama, pada:<br />
(A) artikel untuk penggunaan resmi dari konsuler;<br />
(B) Barang untuk penggunaan pribadi petugas konsuler atau anggota keluarganya membentuk bagian dari nya rumah tangga, artikel termasuk dimaksudkan untuk pendirian nya. Artikel-artikel ditujukan untuk konsumsi harus tidak melebihi jumlah yang diperlukan untuk penggunaan langsung oleh orang yang bersangkutan.<br />
2.Consular karyawan harus menikmati hak istimewa dan pengecualian yang ditentukan dalam ayat 1 ini Artikel mengenai barang yang diimpor pada saat instalasi pertama.<br />
3.Personal bagasi atas pejabat konsuler dan anggota keluarga mereka membentuk bagian rumah tangga mereka akan dibebaskan dari pemeriksaan. Mungkin hanya diperiksa jika ada alasan serius untuk percaya bahwa itu berisi artikel selain yang dimaksud dalam sub ayat (b) ayat 1 ini artikel, atau barang impor atau ekspor yang dilarang oleh hukum dan peraturan Negara penerima atau yang tunduk pada hukum dan peraturan karantina. inspeksi tersebut harus dilakukan di hadapan petugas konsuler atau anggota keluarganya yang bersangkutan.<br />
Pasal 51<br />
Estate seorang anggota konsuler atau anggota keluarganya Dalam hal kematian anggota konsuler atau anggota keluarganya membentuk bagian dari rumah tangganya, Negara penerima:<br />
(A) harus mengizinkan ekspor harta bergerak yang meninggal, dengan pengecualian apa pun seperti kekayaan yang diperoleh di Negara penerima ekspor yang dilarang pada saat kematiannya;<br />
(B) tidak akan mengenakan estate nasional, regional atau kota, suksesi atau tugas warisan, dan tugas di transfer, pada benda bergerak kehadiran yang di Negara penerima disebabkan semata-mata untuk kehadiran di Negara yang meninggal sebagai anggota konsuler atau sebagai anggota keluarga seorang anggota konsuler.<br />
Pasal 52<br />
Pembebasan dari layanan pribadi dan kontribusi<br />
Negara penerima harus membebaskan anggota konsuler dan anggota keluarga mereka membentuk bagian dari rumah tangga mereka dari semua layanan pribadi, dari semua pelayanan publik dalam bentuk apapun apapun, dan dari kewajiban militer seperti yang berhubungan dengan requisitioning, militer kontribusi dan billeting.<br />
Pasal 53<br />
Awal dan akhir hak istimewa dan kekebalan konsuler<br />
1.Every anggota pos konsuler wajib mendapatkan hak istimewa dan kekebalan yang diberikan dalam Konvensi ini dari saat ia memasuki wilayah Negara penerima pada proses untuk mengambil up jabatannya atau jika sudah di wilayahnya, dari saat ketika ia masuk pada tugas-tugasnya dengan konsuler posting.<br />
2.Members dari keluarga anggota konsuler membentuk bagian dari rumah tangga dan anggota staf pribadinya akan menerima hak istimewa dan kekebalan yang diberikan di masa sekarang Konvensi dari tanggal dari mana ia menikmati hak istimewa dan kekebalan sesuai dengan ayat 1 pasal ini atau dari tanggal masuk mereka ke dalam wilayah Negara penerima atau dari tanggal mereka menjadi anggota keluarga atau staf pribadi, mana yang lebih lama.<br />
3.When fungsi anggota konsuler telah berakhir, hak dan kekebalan dan orang-orang anggota keluarganya membentuk bagian dari rumah tangganya atau anggota nya pegawai swasta biasanya akan berhenti pada saat ketika orang yang bersangkutan meninggalkan Negara penerima atau pada berakhirnya jangka waktu yang wajar di mana untuk melakukannya, mana yang lebih cepat, tetapi harus hidup sampai waktu itu, bahkan dalam kasus konflik bersenjata. Dalam hal orang sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ini artikel, hak istimewa dan kekebalan akan datang berakhir ketika mereka berhenti untuk milik rumah tangga atau berada dalam pelayanan anggota konsuler diberikan, bagaimanapun, bahwa jika orang tersebut bermaksud meninggalkan Negara penerima dalam periode yang wajar sesudahnya, hak istimewa dan kekebalan harus hidup sampai waktu keberangkatan mereka.<br />
4.However, sehubungan dengan tindakan yang dilakukan oleh petugas konsuler atau pegawai konsuler dipelaksanaan tugasnya, kekebalan dari yurisdiksi akan terus bertahan hidup tanpa batasan waktu.<br />
5. Dalam hal kematian anggota konsuler, anggota keluarganya membentuk bagian dari rumah tangganya akan terus menikmati hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada mereka sampai mereka meninggalkan Negara penerima atau sampai berakhirnya jangka waktu yang wajar memungkinkan mereka untuk melakukannya, mana yang semakin cepat.<br />
Pasal 54<br />
Kewajiban Negara ketiga<br />
1. Jika seorang petugas konsuler melewati atau berada di wilayah suatu Negara ketiga, yang telah diberikan kepadanya visa jika visa diperlukan, waktu berjalan untuk mengambil atau kembali ke posnya atau ketika kembali ke mengirim Negara, Negara ketiga harus memberikan kepadanya semua kekebalan yang diberikan oleh pasal-pasal lain dari Konvensi ini yang mungkin diperlukan untuk memastikan transit nya atau kembali. Hal yang sama berlaku dalam kasus setiap anggota keluarganya membentuk bagian dari rumah tangganya menikmati hak istimewa dan kekebalan yang menyertai petugas konsuler atau bepergian terpisah untuk bergabung dengannya atau kembali ke pengiriman Negara.<br />
2. Dalam keadaan yang sama dengan yang ditentukan dalam ayat 1 pasal ini, Negara-negara ketiga tidak akan menghalangi transit melalui wilayah mereka anggota lain dari konsuler atau anggota mereka keluarga membentuk bagian dari rumah tangga mereka.<br />
3.Third Negara-negara harus memberikan kepada korespondensi resmi dan komunikasi resmi lainnya ditransit, termasuk pesan dalam kode atau sandi, kebebasan yang sama dan perlindungan sebagai negara penerima terikat untuk bersepakat menurut Konvensi ini. Mereka harus memberikan kurir konsuler yang telah diberikan visa, jika visa diperlukan, dan untuk tas konsuler dalam transit, yang dapat diganggu gugat sama dan perlindungan sebagai negara penerima terikat untuk bersepakat menurut Konvensi ini.<br />
4.The kewajiban Negara ketiga di bawah ayat 1, 2 dan 3 pasal ini juga berlaku bagi masing-masing orang yang disebutkan dalam ayat tersebut, dan untuk komunikasi resmi dan konsulat tas, yang keberadaannya di wilayah Negara ketiga adalah karena force majeure.<br />
Pasal 55<br />
Menghormati hukum dan peraturan dari Negara penerima<br />
1.Without mengurangi hak istimewa dan kekebalan, itu adalah tugas dari semua orang menikmati seperti hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum dan peraturan dari Negara penerima. Mereka juga memiliki tugas tidak ikut campur dalam urusan internal Negara.<br />
2.Aktifitas tempat konsuler tidak boleh digunakan dengan cara apapun tidak sesuai dengan pelaksanaan fungsi konsuler.<br />
3.Setelah ketentuan ayat 2 pasal ini tidak mengesampingkan kemungkinan kantor lainnya lembaga atau badan yang dipasang di bagian bangunan di mana tempat konsuler terletak, asalkan tempat yang ditugaskan kepada mereka terpisah dari yang digunakan oleh konsuler. Dalam hal itu, kata kantor-kantor tidak akan, untuk tujuan Konvensi ini, dianggap merupakan bagian dari tempat konsuler.<br />
Pasal 56<br />
Asuransi terhadap risiko pihak ketiga<br />
Anggota konsuler harus memenuhi semua persyaratan yang diberlakukan oleh hukum dan<br />
peraturan dari Negara penerima, berkenaan dengan asuransi terhadap risiko pihak ketiga yang timbul dari penggunaan setiap kendaraan, kapal atau pesawat udara.<br />
Pasal 57<br />
Ketentuan khusus tentang pekerjaan yang menguntungkan swasta<br />
1.Career petugas konsuler tidak akan melakukan apapun untuk keuntungan pribadi atau komersial profesional kegiatan di Negara penerima.<br />
2.Privileges dan kekebalan yang diberikan dalam bab ini tidak harus diberikan:<br />
(A) kepada karyawan konsuler atau anggota staf pelayanan yang membawa pada setiap menguntungkan swasta pendudukan di Negara penerima;<br />
(B) untuk anggota keluarga seorang yang dimaksud dalam sub ayat (a) dari ayat ini atau untuk anggota staf pribadinya;<br />
(C) anggota keluarga anggota suatu konsuler yang diri membawa pada setiap pribadi pekerjaan yang menguntungkan di Negara penerima.<br />
BAB III.<br />
TENTANG REZIM Kehormatan KONSULER PETUGAS DAN POS KONSULER dipimpin oleh PEJABAT TERSEBUT<br />
Pasal 58<br />
Ketentuan umum yang berkaitan dengan fasilitas, hak dan kekebalan<br />
1.Articles 28, 29, 30, 34, 35, 36, 37, 38 dan 39, ayat 3 pasal 54 dan ayat 2 dan 3 pasal 55 akan berlaku untuk posting konsuler dipimpin oleh petugas konsuler kehormatan. Selain itu, fasilitas, hak istimewa dan kekebalan konsuler tersebut harus diatur dalam pasal 59, 60, 61 dan 62.<br />
2.Articles 42 dan 43, ayat 3 pasal 44, pasal 45 dan 53 dan ayat 1 pasal 55 berlaku untuk petugas konsuler kehormatan. Selain itu, fasilitas, hak istimewa dan kekebalan tersebut petugas konsuler akan diatur dalam pasal 63, 64, 65, 66 dan 67.<br />
3.Privileges dan kekebalan yang diberikan dalam Konvensi ini tidak harus diberikan kepada anggota dari keluarga petugas konsuler kehormatan atau seorang karyawan konsuler dipekerjakan di pos konsuler dipimpin oleh petugas konsuler kehormatan.<br />
4.The pertukaran tas konsuler antara dua posting konsuler dipimpin oleh konsulat kehormatan petugas di Negara yang berbeda tidak diperkenankan tanpa persetujuan dari kedua negara menerima bersangkutan.<br />
Pasal 59<br />
Perlindungan tempat konsuler<br />
Negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang mungkin diperlukan untuk melindungi tempat konsuler dari konsuler dipimpin oleh seorang petugas konsuler kehormatan terhadap setiap gangguan atau kerusakan dan untuk mencegah gangguan perdamaian pos konsuler atau penurunan martabat.<br />
Pasal 60<br />
Pembebasan dari pajak aktiva konsuler<br />
1.Consular tempat dari konsuler yang dipimpin oleh petugas konsuler kehormatan yang mengirim Negara adalah pemilik atau penyewa harus dibebaskan dari semua iuran nasional, regional atau kota dan pajak apapun, selain seperti merupakan pembayaran untuk layanan tertentu yang diberikan. <br />
2.Aktifitas pembebasan dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat l Pasal ini tidak berlaku sedemikian iuran dan pajak jika, berdasarkan hukum dan peraturan dari Negara penerima, mereka dibayar oleh orang yang dikontrak dengan Negara pengiriman.<br />
Pasal 61<br />
Keutuhan arsip dan dokumen konsuler<br />
Para konsuler arsip dan dokumen konsuler posting yang dipimpin oleh seorang petugas konsuler kehormatan akan diganggu gugat pada setiap saat dan dimanapun mereka berada, asalkan mereka tetap terpisah dari lain kertas dan dokumen dan, khususnya, dari korespondensi pribadi kepala konsuler pos dan setiap orang yang bekerja dengan dia, dan dari, buku-buku bahan atau dokumen yang berhubungan dengan mereka profesi atau perdagangan.<br />
Pasal 62<br />
Pembebasan dari bea masuk<br />
Negara penerima harus, sesuai dengan hukum dan peraturan tersebut karena dapat mengadopsi, izin masuknya, dan memberikan pembebasan dari semua bea cukai, pajak, dan biaya terkait lainnya dari biaya yang dikenakan untuk penyimpanan, angkutan gerobak dan layanan serupa pada barang berikut, asalkan untuk penggunaan resmi dari konsuler dipimpin oleh seorang petugas konsuler kehormatan: coats-of-senjata, bendera, papan, anjing laut dan perangko, buku, barang cetakan resmi, perabot kantor, peralatan kantor dan barang semacam itu dipasok oleh atau contoh dari Negara pengirim ke pos konsuler.<br />
Pasal 63<br />
Pidana proses<br />
Jika proses pidana adalah lembaga terhadap seorang petugas konsuler kehormatan, ia harus muncul sebelum otoritas yang berwenang. Namun demikian, proses harus dilakukan dengan hormat kepadanya dengan alasan posisi dan resmi, kecuali ketika dia berada di bawah penangkapan atau penahanan, dengan cara yang akan menghambat pelaksanaan fungsi konsuler sesedikit mungkin. Ketika itu telah menjadi perlu menahan seorang petugas konsuler kehormatan, proses melawan dia harus dilembagakan dengan minimum penundaan.<br />
Pasal 64<br />
Perlindungan petugas konsuler kehormatan<br />
Negara penerima di bawah kewajiban untuk memberikan kepada suatu perlindungan petugas konsuler kehormatan seperti mungkin diperlukan dengan alasan posisi resminya.<br />
Pasal 65<br />
Pembebasan dari pendaftaran orang asing dan izin tinggal<br />
Kehormatan petugas konsuler, dengan pengecualian orang-orang yang melakukan untuk keuntungan pribadi apapun kegiatan profesional atau komersial di Negara penerima, akan dibebaskan dari seluruh kewajiban di bawah hukum dan peraturan dari Negara penerima sehubungan dengan pendaftaran orang asing dan izin tinggal.<br />
Pasal 66<br />
Pembebasan dari pajak<br />
Seorang petugas konsuler kehormatan akan dibebaskan dari seluruh iuran dan pajak remunerasi dan honorarium yang ia terima dari Negara pengirim sehubungan dengan pelaksanaan fungsi konsuler.<br />
Pasal 67<br />
Pembebasan dari layanan pribadi dan kontribusi<br />
Negara penerima harus dibebaskan petugas konsuler kehormatan dari semua layanan pribadi dan dari semua pelayanan publik dalam bentuk apapun dan dari kewajiban militer seperti yang berhubungan dengan requisitioning, kontribusi militer dan billeting.<br />
Pasal 68<br />
Opsional karakter institusi kehormatan petugas konsulerSetiap negara bebas untuk memutuskan apakah akan menunjuk atau menerima petugas konsuler kehormatan.<br />
BAB IV.<br />
KETENTUAN UMUM<br />
Pasal 69<br />
agen Konsuler yang tidak kepala konsuler Negara<br />
1.Each bebas untuk memutuskan apakah akan mendirikan atau mengakui lembaga konsuler yang dilakukan oleh agen konsuler tidak ditujukan sebagai kepala konsuler oleh Negara pengirim.<br />
2.Aktifitas kondisi di mana badan-badan konsuler sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dapat melaksanakan kegiatan mereka dan hak istimewa dan kekebalan yang dapat dinikmati oleh para agen konsuler bertanggung jawab dari mereka akan ditentukan oleh kesepakatan antara negara pengirim dan negara penerima.<br />
Pasal 70<br />
Pelaksanaan fungsi konsuler oleh misi-misi diplomatik<br />
1.The ketentuan Konvensi ini berlaku juga, sejauh memungkinkan konteks, dengan pelaksanaan fungsi konsuler oleh misi diplomatik.<br />
2.Aktifitas nama anggota misi diplomatik yang ditugaskan ke bagian konsuler atau sebaliknya dibebankan dengan pelaksanaan fungsi konsuler dari misi harus diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri Negara penerima atau kepada otoritas yang ditunjuk oleh Menteri.<br />
3. Dalam melaksanakan fungsi konsuler sebuah misi diplomatik mungkin alamat:<br />
(A) otoritas lokal distrik konsuler;<br />
(B) pemerintah pusat dari Negara penerima jika hal ini diperbolehkan oleh hukum, peraturan dan penggunaan dari Negara penerima atau dengan perjanjian internasional yang relevan.<br />
4.The hak istimewa dan kekebalan dari para anggota misi diplomatik sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini akan terus diatur oleh aturan-aturan hukum internasional tentang diplomatik hubungan.<br />
Pasal 71<br />
Warganegara atau penduduk tetap dari Negara penerima<br />
1.Kecuali sepanjang sebagai tambahan fasilitas, hak istimewa dan kekebalan dapat diberikan oleh Negara penerima, petugas konsuler yang berkewarganegaraan atau penduduk permanen di Negara penerima akan menikmati kekebalan hanya dari yurisdiksi dan diganggu gugat pribadi sehubungan dengan tindakan resmi dilakukan dalam melaksanakan fungsi mereka, dan hak istimewa yang diberikan dalam ayat 3 pasal 44. Jadi Sejauh ini petugas konsuler yang bersangkutan, Negara penerima juga harus terikat oleh kewajiban diatur dalam pasal 42. Jika proses pidana adalah lembaga menentang petugas konsuler, yang persidangan, kecuali ketika dia berada di bawah penangkapan atau penahanan, dilakukan dengan cara yang akan menghambat pelaksanaan fungsi konsuler sesedikit mungkin.<br />
2.Other anggota konsuler yang merupakan warga negara atau penduduk permanen di Negara menerima dan anggota keluarga mereka, serta anggota keluarga petugas konsuler dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, harus menikmati fasilitas, hak istimewa dan kekebalan hanya sejauh ini diberikan kepada mereka oleh Negara penerima. Mereka anggota keluarga anggota konsuler pos dan para anggota staf swasta yang juga adalah warga negara atau permanen penduduk di Negara penerima juga akan menikmati fasilitas, hak istimewa dan kekebalan hanya sejauh ini diberikan kepada mereka oleh Negara penerima. Negara penerima harus, bagaimanapun, olahraga nya yurisdiksi atas orang-orang sedemikian rupa sehingga tidak terlalu menghambat kinerja fungsi pos konsuler.<br />
Pasal 72<br />
Non-diskriminasi<br />
1. Dalam penerapan ketentuan Konvensi ini Negara penerima tidak akan membedakan di antara Amerika.<br />
2.However, diskriminasi tidak akan dianggap sebagai terjadi:<br />
(A) di mana Negara penerima berlaku setiap ketentuan Konvensi ini terbatas, karena aplikasi membatasi bahwa penyisihan ke posting konsuler di Negara pengirim;<br />
(B) dimana oleh adat atau kesepakatan Amerika memperluas satu sama lain lebih perlakuan menguntungkan daripada yang dibutuhkan oleh ketentuan-ketentuan Konvensi ini.<br />
Pasal 73<br />
Hubungan antara Konvensi ini dan perjanjian internasional lainnya<br />
1.The ketentuan Konvensi ini tidak akan mempengaruhi perjanjian internasional lainnya dalam berlaku antara Negara-negara Pihak kepada mereka.<br />
2.Nothing dalam Konvensi ini akan menghalangi Amerika dari menyimpulkan internasional perjanjian konfirmasi atau menambah atau memperluas atau memperkuat ketentuan itu.<br />
BAB V.<br />
KETENTUAN PENUTUP<br />
Pasal 74<br />
Tanda tangan<br />
Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dari berbagai badan-badan khusus atau Pihak pada Statuta Mahkamah Internasional, dan oleh Negara lain yang diundang oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjadi Pihak pada Konvensi, sebagai berikut: sampai dengan 31 Oktober 1963 di Kementerian Federal untuk Luar Negeri Republik Austria dan selanjutnya, sampai dengan 31 Maret 1964, di Markas Besar PBB di New York.<br />
Pasal 75<br />
Ratifikasi<br />
Konvensi ini harus diratifikasi. Instrumen ratifikasi akan disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />
Pasal 76<br />
Pencapaian<br />
Konvensi ini akan tetap terbuka untuk aksesi oleh setiap Negara milik salah satu dari empat kategori yang disebutkan dalam pasal 74. Instrumen aksesi harus disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />
Pasal 77<br />
Berlakunya<br />
1.The Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal penyimpanan dari dua puluh dua instrumen ratifikasi atau aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa.<br />
2.For setiap Negara yang meratifikasi atau aksesi pada Konvensi setelah penyimpanan dari dua puluh dua instrumen ratifikasi atau aksesi, Konvensi ini akan mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah penyimpanan oleh Negara instrumen ratifikasi atau aksesi.<br />
Pasal 78<br />
Pemberitahuan oleh Sekretaris Jenderal Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus memberitahu semua Negara milik salah satu dari empat kategori yang disebutkan dalam pasal 74:<br />
(A) tanda tangan untuk Konvensi ini dan penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi, sesuai dengan pasal 74, 75 dan 76;<br />
(B) dari tanggal Konvensi ini akan mulai berlaku, sesuai dengan pasal 77.<br />
Pasal 79<br />
Otentik teks<br />
Asli Konvensi ini, di mana Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol sama otentik, akan disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan mengirimkan salinan resminya kepada semua Negara milik salah satu dari empat kategori yang disebutkan dalam Artikel 74. SEBAGAI BUKTI yang Berkuasa Penuh bawah ini, yang diberi kuasa oleh mereka Pemerintah masing, telah menandatangani Konvensi ini.<br />
DIBUAT di Wina hari ini dua puluh empat April, 1963.<br />
_____________syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-45240548291048124712011-03-09T19:38:00.001-08:002011-03-09T19:38:58.111-08:00asas legalitasTugas Individu<br />
<br />
ASAS LEGALITAS<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Nama : SYAMSUL RIJAL<br />
Nim : 10500108053<br />
Prodi : Ilmu Hukum<br />
<br />
<br />
FAKULTAS SYRIAH DAN HUKUM<br />
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR<br />
2011<br />
<br />
<br />
KATA PENGANTAR<br />
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan rahmatnya sehingga manusia dapat melakukan segala bentuk aktivitasnya setiap saat serta tetap berada pada lindunganya tetap sehat selalu.<br />
Dengan lindunganya pula yaitu sehat selalu sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini walaupun penuh dengan rintangan, yaitu makalah yang berjudul ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA dari mata kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepada dosen yang telah setia membimbing kami dan mampu menyelesaikan segala tugas yang telah menjadi kewajiban kami sebagai mahasiswa.<br />
Semoga apa yang penulis jelaskan dalam makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca, maka dari itu dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis sangat membutuhkan kritik serta saran yang dapat membangun suatu penulisan yang lebih baik kedepan.<br />
<br />
Penyusun.<br />
Makassar, maret 2011<br />
<br />
<br />
Syamsul rijal<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Latar Belakang<br />
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.<br />
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
PEMBAHASAN<br />
Asas Legalitas Doktrin Hukum Indonesia <br />
Salah satu keberhasilan kekuasaan Napoleon Bonaparte adalah dia berhasil mengokupasi beberapa wilayah Eropa di sekitar Perancis, termasuk Nederland. Napoleon menjadikan Nederland sebagai daerah persemakmuran Perancis dengan nama Republik Bataaf. Republik ini diserahkan kepada adik Napoleon (Napoleon III).<br />
Konsekuensi logis dari okupasi ini adalah Nederland harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku di Perancis, termasuk Code Penal Perancis. Ketika penjajahan Perancis di Nederland sudah berakhir, Belanda mengadopsi ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Nederland 1881. Karena berlakunya asas konkordansi anatara Nederland dan Hindia Belanda, maka masuklah ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Hindia Belanda 1918. Selanjutnya asas umum dalam semua hukum menyatakan bahwa undang-undang hanya mengikat apa yang terjadi dan tidak mempunyai kekuatan surut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23. Ketentuan yang bisa menyatakan suatu undang-undang/aturan berlaku surut hanyalah ketentuan yang secara hirarki tingkatannya lebih tinggi dari undang-undang itu sendiri (undang-undang dasar/konstitusi).<br />
Artinya suatu undang-undang tidak bisa menyimpangi ketentuan non retroaktif, apabila konstitusi tidak memberikan kewenangan untuk penyimpangan itu. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami perubahan hukum, dari hukum kolonial berubah menjadi hukum nasional. Perubahan ini juga ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang selanjutnya akan dijadikan pijakan dalam penyusunan undang-undang di bawahnya.<br />
Selain akan dibentuk aturan-atauran hukum baru, dalam undang-undang dasar ini juga berlaku ketentuan peralihan, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ini berarti peraturan perundang-undangan yang ada pada masa kolonial masih akan tetap berlaku, sebelum dikeluarnya ketentuan baru menurut UUD 1945. Termasuk di dalamnya ketentuan Pasal 1 KUHPidana (Wetboek van Stafrecht), yang menegaskan berlakuanya asas legalitas dan non retroaktif.<br />
Mengapa ketentuan ini kemudian perlu dibicarakan? Sebab aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandeman), tidak ada satu pasal pun yang menyatakan secara tegas dan eksplisit tentang berlakunya asas legalitas dan non retroaktif. Berarti, secara teoritis UUD 1945 (sebelum amandemen) memberi kesempatan untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan asas legalitas, karena tidak ada pasal-pasalnya yang merumuskan ketentuan asas legalitas.<br />
Sesaat setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 17 Agustus 1950, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, sebagai pengganti Konstitusi RIS, dan menunggu disusunnya undang-undang dasar baru. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dicantumkan ketentuan berlakunya asas legalitas, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) yang berbunyi, “Tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kemudian untuk melindungi ketentuan hukum pidana adat, yang tidak tertulis, agar tetap berlaku, serta menjunjung tinggi ketentuan asas legalitas, maka dikeluarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang berbunyi: ”Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”<br />
Pada perjalanan selanjutnya ternyata Indonesia tidak mampu membentuk undang-undang dasar baru. Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955, yang diberi tugas menyusun undang-undang dasar baru tidak mampu menyelesaikan tugasnya secara cepat, sebagai akibat dari pertentangan kepentingan partai-partai, yang tidak pernah menemukan titik temu. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno, melalui Dekrit Presiden menyatakan pembubaran Dewan Konstituante, penggunaan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Namun ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, dinyatakan tetap berlaku, walaupun ketentuan UUDS 1950 sudah tidak berlaku lagi.<br />
Seiring dengan berlakunya kembali UUD 1945 (asli), maka berarti pula ketentuan yang mengatur tentang berlakunya asas legalitas dalam hukum Indonesia tidak ada lagi. Meskipun pada kenyataannya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada yang menyimpangi ketentuan asas legalitas dan non retroaktif. Hal ini dikarenakan UUD 1945 tidak secara tegas juga menyebutkan adanya ketentuan yang memperbolehkan penyimpangan terhadap asas legalitas dan non retroaktif.<br />
Masa Orde Lama di bawah rezim Sukarno, banyak menawarkan konsep-konsep baru di luar UUD 1945, seperti halnya MANIPOL USDEK, NASAKOM, dan beberapa gagasan baru, yang boleh dikatakan menyimpang dari ketentuan undang-undang dasar. Pada akhirnya kekuasaan Sukarno tumbang, dan digantikan oleh rezim Orde Baru pimpinan Suharto, belajar dari pengalaman masa sebelumnya yang banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi, maka tema besar pemerintahan Orde Baru adalah menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi terminologi secara murni dan konsekuen yang terlalu dipaksakan, akibatnya malah membuat undang-undang dasar terkesan kaku, UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh diganggu gugat. Perkembanganya UUD 1945 malah dijadikan dalih dalam melegalkan tindakan represifitas penguasa yang sewenang-wenang. UUD 1945 dijadikan alat untuk memupuk kekuatan ekonomi bagi sekelompok masyarakat tertentu. Model pembangunan rezim Suharto yang menganut ideologi developmentalism mensyaratkan adanya stabilitas politik dan keamanan yang kuat sebagai harga mati. Akibatnya memungkinakan rezim untuk mengabaikan hak-hak politik rakyat dan Hak Asasi Manusia.<br />
Di tingkat global, wacana globalisasi mulai diusung sejak pertengahan 80-an. Konsekuensi dari kemenangan kelompok kanan baru (new right) ini ialah, ditempatkannya isu demokratisasi pada bagian penting, dalam pergerakan modal internasional. Secara khusus, sistem kapitalisme negara yang dijalankan di Indonesia, tidak lagi efektif bagi perputaran modal. Kemudian muncullah tuntutan bagi rezim untuk membuka diri terhadap desakan liberalisasi politik dan ekonomi.<br />
Di beberapa belahan negara Dunia Ketiga, inilah awal dimulainya proyek redemokratisasi, yang ditandai oleh kejatuhan rezim-rezim otoriter. Akhirnya, pada 21 Mei 1998 rezim neo-fasis militer Orde Baru runtuh. Konsekuensi dari tumbangnya rezim Suharto adalah adanya upaya untuk mencapai sistem politik yang mengarah pada demokrasi subtansial. Artinya bagaimana kemudian sistem demokrasi yang selama ini kita anut bisa mencapai substansi dari sistem demokrasi itu sendiri. Penyelenggaraan Pemilu 1999 menjadi proses penting dalam upaya tersebut. Tidak ingin mengulangi pengalaman pahit dimasa yang lampau, yaitu munculnya penguasa despotis, yang melegitimasi dirinya dengan naskah-naskah suci konstitusi, segeralah muncul suara-suara untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sidang amandemen pertama berhasil diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 19 Oktober 1999. Selanjutnya berlangsung hingga empat kali proses amandemen. Rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat guna memutuskan perubahan ke empat UUD 1945 berlangsung pada 10 Agustus 2002. Empat kali proses amandemen UUD 1945 membuat ketentuan pasal-pasal yang ada menjadi lebih rinci dan memberikan kepastian hukum. Mengenai pencantuman asas legalitas dan prinsip non retroaktif, untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara, UUD 1945 pascaamandemen kembali memasukkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasalnya. Ketentuan yang mengatur pengakuan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif diatur dalam BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 I ayat (1).<br />
Dengan masuknya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar 1945, berarti UUD 1945 tidak memberikan peluang lagi untuk melakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif, karena sudah dengan jelas tersurat dalam pasal tersebut menyatakan “, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Kata-kata yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun memberikan penegasan bagi ketentuan pasal tersebut, bahwa konstitusi tidak lagi memberikan peluang bagi berlakunya suatu aturan yang menganut prinsip berlaku surut (retroaktif). Bambang Purnomo mengatakan, untuk melakukan penyimpangan asas legalitas dan memperlakukan suatu undang-undang berlaku surut harus dibuat suatu peraturan khusus yang mengatur hal tersebut, dan undang-undang dasar membolehkan untuk itu. Hal itu boleh dilakukan pun apabila keadaan kepentingan umum dibahayakan dan hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya membahayakan kepentingan umum.<br />
BAB III<br />
PENUTUP<br />
Kesimpulan<br />
Sebagai salah satu yang ingin dicapai dalam asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar<br />
Saran <br />
Besar harapan penulis agar apa yang dibahas dalam makalah yang sangat sederhana ini dapat membuka wawasan atau cakrawala berfikir para pembaca agar dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat tentang betapa pentingnya asas legalitas bagi masyarakat, dan penulis juga berharap agar asas legalitas bebenar-benar diaplikasikan yaitu tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.<br />
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu diharapkan keritik dan saran demi perkembangan penulisan makalah selanjutnya. Wassalam!!!syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1225235174266252121.post-41562878923797014332011-03-09T19:33:00.001-08:002011-03-14T21:36:18.481-07:00Asas legalitas hukum pidanaTugas Individu<br />
<br />
ASAS LEGALITAS<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Nama : SYAMSUL RIJAL<br />
Nim : 10500108053<br />
Prodi : Ilmu Hukum<br />
<br />
<br />
FAKULTAS SYRIAH DAN HUKUM<br />
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR<br />
2011<br />
<br />
<br />
KATA PENGANTAR<br />
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan rahmatnya sehingga manusia dapat melakukan segala bentuk aktivitasnya setiap saat serta tetap berada pada lindunganya tetap sehat selalu.<br />
Dengan lindunganya pula yaitu sehat selalu sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini walaupun penuh dengan rintangan, yaitu makalah yang berjudul ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA dari mata kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepada dosen yang telah setia membimbing kami dan mampu menyelesaikan segala tugas yang telah menjadi kewajiban kami sebagai mahasiswa.<br />
Semoga apa yang penulis jelaskan dalam makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca, maka dari itu dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis sangat membutuhkan kritik serta saran yang dapat membangun suatu penulisan yang lebih baik kedepan.<br />
<br />
Penyusun.<br />
Makassar, maret 2011<br />
<br />
<br />
Syamsul rijal<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Latar Belakang<br />
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.<br />
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
PEMBAHASAN<br />
Asas Legalitas Doktrin Hukum Indonesia <br />
Salah satu keberhasilan kekuasaan Napoleon Bonaparte adalah dia berhasil mengokupasi beberapa wilayah Eropa di sekitar Perancis, termasuk Nederland. Napoleon menjadikan Nederland sebagai daerah persemakmuran Perancis dengan nama Republik Bataaf. Republik ini diserahkan kepada adik Napoleon (Napoleon III).<br />
Konsekuensi logis dari okupasi ini adalah Nederland harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku di Perancis, termasuk Code Penal Perancis. Ketika penjajahan Perancis di Nederland sudah berakhir, Belanda mengadopsi ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Nederland 1881. Karena berlakunya asas konkordansi anatara Nederland dan Hindia Belanda, maka masuklah ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Hindia Belanda 1918. Selanjutnya asas umum dalam semua hukum menyatakan bahwa undang-undang hanya mengikat apa yang terjadi dan tidak mempunyai kekuatan surut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23. Ketentuan yang bisa menyatakan suatu undang-undang/aturan berlaku surut hanyalah ketentuan yang secara hirarki tingkatannya lebih tinggi dari undang-undang itu sendiri (undang-undang dasar/konstitusi).<br />
Artinya suatu undang-undang tidak bisa menyimpangi ketentuan non retroaktif, apabila konstitusi tidak memberikan kewenangan untuk penyimpangan itu. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami perubahan hukum, dari hukum kolonial berubah menjadi hukum nasional. Perubahan ini juga ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang selanjutnya akan dijadikan pijakan dalam penyusunan undang-undang di bawahnya.<br />
Selain akan dibentuk aturan-atauran hukum baru, dalam undang-undang dasar ini juga berlaku ketentuan peralihan, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ini berarti peraturan perundang-undangan yang ada pada masa kolonial masih akan tetap berlaku, sebelum dikeluarnya ketentuan baru menurut UUD 1945. Termasuk di dalamnya ketentuan Pasal 1 KUHPidana (Wetboek van Stafrecht), yang menegaskan berlakuanya asas legalitas dan non retroaktif.<br />
Mengapa ketentuan ini kemudian perlu dibicarakan? Sebab aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandeman), tidak ada satu pasal pun yang menyatakan secara tegas dan eksplisit tentang berlakunya asas legalitas dan non retroaktif. Berarti, secara teoritis UUD 1945 (sebelum amandemen) memberi kesempatan untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan asas legalitas, karena tidak ada pasal-pasalnya yang merumuskan ketentuan asas legalitas.<br />
Sesaat setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 17 Agustus 1950, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, sebagai pengganti Konstitusi RIS, dan menunggu disusunnya undang-undang dasar baru. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dicantumkan ketentuan berlakunya asas legalitas, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) yang berbunyi, “Tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kemudian untuk melindungi ketentuan hukum pidana adat, yang tidak tertulis, agar tetap berlaku, serta menjunjung tinggi ketentuan asas legalitas, maka dikeluarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang berbunyi: ”Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”<br />
Pada perjalanan selanjutnya ternyata Indonesia tidak mampu membentuk undang-undang dasar baru. Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955, yang diberi tugas menyusun undang-undang dasar baru tidak mampu menyelesaikan tugasnya secara cepat, sebagai akibat dari pertentangan kepentingan partai-partai, yang tidak pernah menemukan titik temu. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno, melalui Dekrit Presiden menyatakan pembubaran Dewan Konstituante, penggunaan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Namun ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, dinyatakan tetap berlaku, walaupun ketentuan UUDS 1950 sudah tidak berlaku lagi.<br />
Seiring dengan berlakunya kembali UUD 1945 (asli), maka berarti pula ketentuan yang mengatur tentang berlakunya asas legalitas dalam hukum Indonesia tidak ada lagi. Meskipun pada kenyataannya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada yang menyimpangi ketentuan asas legalitas dan non retroaktif. Hal ini dikarenakan UUD 1945 tidak secara tegas juga menyebutkan adanya ketentuan yang memperbolehkan penyimpangan terhadap asas legalitas dan non retroaktif.<br />
Masa Orde Lama di bawah rezim Sukarno, banyak menawarkan konsep-konsep baru di luar UUD 1945, seperti halnya MANIPOL USDEK, NASAKOM, dan beberapa gagasan baru, yang boleh dikatakan menyimpang dari ketentuan undang-undang dasar. Pada akhirnya kekuasaan Sukarno tumbang, dan digantikan oleh rezim Orde Baru pimpinan Suharto, belajar dari pengalaman masa sebelumnya yang banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi, maka tema besar pemerintahan Orde Baru adalah menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi terminologi secara murni dan konsekuen yang terlalu dipaksakan, akibatnya malah membuat undang-undang dasar terkesan kaku, UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh diganggu gugat. Perkembanganya UUD 1945 malah dijadikan dalih dalam melegalkan tindakan represifitas penguasa yang sewenang-wenang. UUD 1945 dijadikan alat untuk memupuk kekuatan ekonomi bagi sekelompok masyarakat tertentu. Model pembangunan rezim Suharto yang menganut ideologi developmentalism mensyaratkan adanya stabilitas politik dan keamanan yang kuat sebagai harga mati. Akibatnya memungkinakan rezim untuk mengabaikan hak-hak politik rakyat dan Hak Asasi Manusia.<br />
Di tingkat global, wacana globalisasi mulai diusung sejak pertengahan 80-an. Konsekuensi dari kemenangan kelompok kanan baru (new right) ini ialah, ditempatkannya isu demokratisasi pada bagian penting, dalam pergerakan modal internasional. Secara khusus, sistem kapitalisme negara yang dijalankan di Indonesia, tidak lagi efektif bagi perputaran modal. Kemudian muncullah tuntutan bagi rezim untuk membuka diri terhadap desakan liberalisasi politik dan ekonomi.<br />
Di beberapa belahan negara Dunia Ketiga, inilah awal dimulainya proyek redemokratisasi, yang ditandai oleh kejatuhan rezim-rezim otoriter. Akhirnya, pada 21 Mei 1998 rezim neo-fasis militer Orde Baru runtuh. Konsekuensi dari tumbangnya rezim Suharto adalah adanya upaya untuk mencapai sistem politik yang mengarah pada demokrasi subtansial. Artinya bagaimana kemudian sistem demokrasi yang selama ini kita anut bisa mencapai substansi dari sistem demokrasi itu sendiri. Penyelenggaraan Pemilu 1999 menjadi proses penting dalam upaya tersebut. Tidak ingin mengulangi pengalaman pahit dimasa yang lampau, yaitu munculnya penguasa despotis, yang melegitimasi dirinya dengan naskah-naskah suci konstitusi, segeralah muncul suara-suara untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sidang amandemen pertama berhasil diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 19 Oktober 1999. Selanjutnya berlangsung hingga empat kali proses amandemen. Rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat guna memutuskan perubahan ke empat UUD 1945 berlangsung pada 10 Agustus 2002. Empat kali proses amandemen UUD 1945 membuat ketentuan pasal-pasal yang ada menjadi lebih rinci dan memberikan kepastian hukum. Mengenai pencantuman asas legalitas dan prinsip non retroaktif, untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara, UUD 1945 pascaamandemen kembali memasukkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasalnya. Ketentuan yang mengatur pengakuan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif diatur dalam BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 I ayat (1).<br />
Dengan masuknya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar 1945, berarti UUD 1945 tidak memberikan peluang lagi untuk melakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif, karena sudah dengan jelas tersurat dalam pasal tersebut menyatakan “, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Kata-kata yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun memberikan penegasan bagi ketentuan pasal tersebut, bahwa konstitusi tidak lagi memberikan peluang bagi berlakunya suatu aturan yang menganut prinsip berlaku surut (retroaktif). Bambang Purnomo mengatakan, untuk melakukan penyimpangan asas legalitas dan memperlakukan suatu undang-undang berlaku surut harus dibuat suatu peraturan khusus yang mengatur hal tersebut, dan undang-undang dasar membolehkan untuk itu. Hal itu boleh dilakukan pun apabila keadaan kepentingan umum dibahayakan dan hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya membahayakan kepentingan umum.<br />
BAB III<br />
PENUTUP<br />
Kesimpulan<br />
Sebagai salah satu yang ingin dicapai dalam asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar<br />
Saran <br />
Besar harapan penulis agar apa yang dibahas dalam makalah yang sangat sederhana ini dapat membuka wawasan atau cakrawala berfikir para pembaca agar dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat tentang betapa pentingnya asas legalitas bagi masyarakat, dan penulis juga berharap agar asas legalitas bebenar-benar diaplikasikan yaitu tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.<br />
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu diharapkan keritik dan saran demi perkembangan penulisan makalah selanjutnya. Wassalam!!!syamsul rijal lengu'http://www.blogger.com/profile/01290508019808151962noreply@blogger.com0