Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum menjadi objek pembicaraan pra yuris dalam peradaban manusia. Teori hukum yang muncul dari abad ke abad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan pergeseran cara pandang sesuai peralihan zaman. Maka di samping kita bertemu dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir zaman modern dan pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita menjumpai generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivism, generasi sosio- antropologi, generasi realism dan generasi –generasi lain sesudahnya. Dengan melihat keadaan di atas, maka teori hukum merupakan alat untuk menciptakan “ketertiban manusia” dengan tidak hanya melihat teks – teks aturan melainkan bergerak lebih jauh pada konteks di balik teks – teks tersebut. Ia tidak hanya hanyut pada “pengenalan mengenai bunyi pasal demi pasal, tetapi melangkah lebih jauh pada “pertanyaan” mengapa pasal – pasal itu tampil dengan warna dan muatan yang sedemikian rupa dalam mengatur tingkah laku manusia. Untuk menjawab petanyaan demikian digunakan prinsip bahwa ilmu hukum itu ilmu praktis, tidak harus mengingkari kewajibannya untuk menjelaskan objek kajiannya. Oleh karena itu, tatkala dihadapkan pada pasal – pasal, maka kita harus mengenal dan menyelami makna dan konsep dibalik adanya pasal – pasal tersebut. Belum lagi ketika kita berbicara tentang stuktur hukum dan budaya hukum. Elemen struktur merujuk pada manajemen, personalia. Serta sarana dan prasarana dalam organisasi lembaga hukum. Sedangkan budaya hukum merupakan persepsi social yang memberikan bingkai maknawi bagi seseorang termasuk dalam merespon aturan dan struktur hukum. Karena ketiga elemen tersebut ( substansi, sturktur dan budaya hukum ) merupakan unsure system hukum menurut Lawrence Friedmen, maka mau tidak mau menjadi area garapan dan serentak wilayah pengembangan teori tentang hukum.
Dikatakan, aturan hukum secara esensial
B. Rumusan Masalah
C. Sistematika Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal Supremasi Hukum
Indonesia adalah negara hukum. Dalam hukum itu ada yang namanya "supremasi hukum" (supremacy of law}. Makaji-ka tema good governance sudah dicanangkan, suka atau tidak, kita harus all out bahwa good governance itu harus dikawal dengan tindakan government under the rule of law. Mengapa? Tidak ada kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara yang tidak tersentuh/diatur oleh hukum. Bahkan "main gundu" sekalipun ada aturannya. Menjadi pejabat pun dalam lima tahun terakhir ini, juga diatur dengan "kontrak politik atau pakta integritas, disumpah atau mengucapkan sumpah dan janji". Tetapi, mengapa masih saja orang suka menjerumuskan diri kedalam mafia hukum, berbuat korupsi, suap, yang semua itu dilarang oleh agama yang dianutnya? Apakah ini merupakan pelecehan agama atau pelecehan terhadap hukum?
Padahal, hukum itu adalah kekuatan yang menentukan kehidupan, bukan malah ditentukan atau dapat diatur oleh keinginan orang-orang yang punya kepentingan. Artinya apa ? Hukum itu tidak diatur atau ditentukan oleh kekuatan dari luar atau terjadinya pemihakan tertentu. Tetapi dalam kenyataan, di dalam proses dan pelaksanaan hukum atau peradilan justru sering terjadi pemihakan yang melahirkan suap atau Jika kemudian menjadi masalah hukum terjadilah apa yang disebut dengan markus.
Seharusnya kekuasaan hukum (kehakiman, peradilan, hakim) itu bebas dari pengaruh atau campur tangan kekuatan lain. Dalam kasus Polri vs KPK misalnya, hadirnya sosok Angodo cs, adalah bentuk nyata adanya kekuatan luar yang mempengaruhi atau mengatur proses hukum dan peradilan tersebut agar Polri. KPK. Kejaksaan Agung dan para advokat mau mengikuti kemauannya. Akibatnya, kredibilitas hukum menjadi merosot. Karena itu. yang diperlukan adalah berlakunya supremasi hukum, dan bukan penyelesaian masalah yang tambal sulam dengan pembentukan badan semacam "ad hock".
Apa yang disebutkan di atas adalah serangkaian unsur yang menunjukkan perlunya supremasi hukum itu ditegakkan. Ukuran supremasi hukum itu antara lain adalah sejauh mana kemampuan hukum itu "menentukan" segala tingkah laku hubungannya dengan hukum, baik individu maupun sosial. Dan ini semua berawal dari manusia yang mengawaki hukum itu sendiri berdasarkan ketentuan yang diberlakukan (UU atau Peraturan). Perbuatan melanggar, melecehkan, menyalah gunakan hukum, pada dasarnya merupakan suatu proses penghancuran peradaban bangsa itu sendiri. Padahal yang terjadi di depan mata kita saat ini adalah terjadinya "krisis hukum". Jadi yang dibutuhkan oleh rakyat sebenarnya adalah berfungsinya "supremasi hukum", dalam hal mana unsur-unsur pemerin lah. penegak dan institusi hukum.peradilan, advokat serta masyarakat harus patuh dan menjunjung tinggi hukum.
Dalam supremasi hukum, maka pengelolaan perkara (case management) dan pembinaan SDM nya yang berkarakter, jujur dan professional adalah keharusan. Kini sudah bukan tempatnya lagi ada penegak hukum yang masih memberlakukan standar ganda atau dalam istilah lain "ngobyek perkara". Jika masih melakuan hal-hal tersebut, sepantasnya mereka tidak perlu lagi diberi tempat di dalam pemerintahan transformasi yang dicanangkan oleh Presiden SBY sebagai good governance. Sebab, orang-orang seperti itu adalah penipu hukum dan seharusnya mendapat punishment karena telah mencederai hukum itu sendiri. Tegasnya, jika yang bersangkutan masih menjabat dan melakukan tindakan bodoh seperti itu. atasannya harus segera berani untuk mencopot dari jabatannya mengingat bahwa jabatan itu adalah amanah bukan property yang bisa ditukar dengan kegiatan suap menyuap atau melindungi korupsi. Era 2009-2014 bukanlah tempatnya untuk trial and error. Alasannya cukup jelas bahwa pada akhir 2014, ketika terjadi suksesi kepemimpinan dari Presiden SBY kepada penggantinya, maka pemerintahan Presiden SBY dan seluruh jajarannya harus mampu mewariskan suatu kondisi yang lebih baik dari pada pemerintahan di bulan November 2009 ini. Hal itu mengindikasikan bahwa dengan pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tidaklah cukup untuk membangun "supremasi hukum". Ketika kita berfikir dan bekerja dengan menggunakan paradigma baru yaitu "supremasi sipil", maka sebenarnya supremasi hukum sudah harus commiied dan inherrent di dalamnya. Artinya apa? Seharusnya bukan hanya supremasi hukum saja yang dibangun, sebab mafia yang melanda di dalam kehidupan hukum sekarang ini, sudah mewabah pula di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya serta bidang kehidupan lainnya. Dengan kata lain, membangun supremasi hukum akan memotong jalur-jalur malla hukum dan makelar kasus serta tidak memberi ruang gerak dan alas biak bagi tumbuh suburnya segala macam komersialisasi serta suap menyuap dan korupsi.
Menyelesaikan skandal Bank Century misalnya adalah peluang bagi Presiden SBY untuk membangun good governance. Tekadnya adalah zero corruption, zero defect dan zero crime. Jika Presiden SBY berhasil mengikis habis semua mafia dan mampu membangun supremasi hukum, maka perjuangannya akan selalu dikenang dan selalu disimak oleh setiap generasi sesudahnya dan menjadi acuan bagi tumbuh kembangnya pendidikan karakter dan jatidiri bangsa. Mungkin nama SBY akan di-abadikan lewat nama jalan, monumen, dan sebagainya.


B. Perkembangan HAk Asasi Manusia Di Indonesia
Masalah penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan dengan meningkatnya kesadaran demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia akibat dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta keterbukaan informasi. Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah menjadi modal sosial bagi bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan rasional. Pada sisi lain, tuntutan akan penegakan HAM juga dipercepat oleh arus demokratisasi global yang menggejala sejak berakhirnya Perang Dingin. Runtuhnya Komunisme di Eropa Timur telah menimbulkan mitos baru tentang apa yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai "berakhirnya sejarah" (the End of History) yang ditandai oleh kemenangan akhir demokrasi liberal di seluruh dunia terhadap seluruh paham ideologi politik. Kedua, faktor internal dan eksternal tersebut telah menjadi penyebab dari bergolaknya dinamika politik nasional yang memasukkan Indonesia ke dalam masa transisi menuju demokrasi. Masa ini dipahami oleh Guillermo O'Donnel sebagai suatu interval waktu setelah berakhirnya suatu rezim otoritarian menuju ke arah berkuasanya rezim baru yang diharapkan lebih demokratis. Situasi transisi demokratik ini ditandai dengan ketakmenentuan akibat dari menguatnya kepentingan politik dalam menetapkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum. Di tengah situasi seperti itulah masalah penegakan HAM mencuat di Indonesia dewasa ini. Tidak dapat dihindarkan bila di tengah situasi seperti itu aturan-aturan tentang HAM menjadi lahan pertarungan bagi kekuatan-kekuatan politik tersebut. Peralihan dari rezim Orde Baru yang dipandang otoriter dan represif dengan sendirinya bergerak ke arah ketakmenentuan yang tercermin di dalam arah penegakan HAM di Indonesia.
Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia. Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.

Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada sejumlah produk hukum yang penting tentang HAM. Mulai dari dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak- hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM. Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu dilakukan, yaitu :
1. Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM dan peradilan HAM.
2. Melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang dihasilkan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti- HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
3. Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Penulis tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
4. Pentingnya sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
5. Terakhir, adalah kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih- lebih untuk keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum. Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran