Minggu, 03 Juli 2011

IMPLIKASI TUGAS DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILUKADA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut prinsip demokrasi. Dengan adanya prinsip demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan untuk dan atas nama rakyat. UUD 1945 yang menjadi salah satu dasar hukum tertulis menjamin pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Sebagai negara yang demokratis yang mana rakyat dituntut untuk ikut campur (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara, salah satunya adalah dalam wujud partisipasi politik. Partisipasi politik adalah kegiatan untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy) (Miriam Budiarjo, 1994: 183).
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik memiliki peran strategis tidak hanya sebagai infrastruktur politik tetapi juga sebagai suprastruktur politik dalam proses demokratisasi.
Salah satu perwujudan pelaksanaan demokrasi adalah adanya pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Dengan adanya pemilukada membuktikan bahwa kedaulatan sepenuhnya berda di tangan rakyat. Rakyat menentukansendiri masa depannya dengan secara individu memilih pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini telah dipertegas dalam UUD 1945 yang menyatakan langsung oleh rakyat. Dari kata-kata tersebut terlihat jelas tentang adanya pelibatan rakyat secara langsung dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Inilah salah satu wujud nyata pelaksanaan demokrasi di Indonesia.






Tinjauan tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Seperti yang telah disebutkan, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum juga mengatur mengenai perangkat perangkat penyelenggaranya, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.KPU Menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya Sebagai penyelenggara pemilu KPU berkewajiban melakukan pendaftaran warga negara yang berhak ikut serta sebagai pemilih dalam pemilukada dan Wakil kepala daerah secara menyeluruh. Adanya warga negara yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilukada menunjukkan adanya pelanggaran hak politik warga negara dalam pemilu Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dan salah satu bentuk pengkebirian suara yang sangat penting dalam pemilu. Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2007, KPU dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. KPU
KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia yaitu Jakarta.
Menurut Pasal 8, tugas dan wewenang serta kewajiban KPU adalah :
Tugas dan wewenang KPU Pusat dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi :
1) Menyusun dan menetapkan pedoman tata cara penyelenggaraan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundangundangan;
2) Mengoordinasikan dan memantau tahapan;
3) Melakukan evaluasi tahunan penyelenggaraan Pemilu;
4) Menerima laporan hasil Pemilu dari KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
5) Menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota KPU Propinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaran Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
6) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
b. KPU Propinsi KPU Propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi. Menurut Pasal 9 UU RI No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, tugas, wewenang, dan kewajiban KPU Propinsi adalah : Tugas dan wewenang KPU Propinsi dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi :
1) Merencanakan program, anggaran, dan jadwal pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi;
2) Menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi dengan memperhatikan
pedoman dari KPU;
3) Menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan peraturan perundangundangan;
4) Mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU;
5) Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
6) Menerima daftar pemilih dari KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi;
7) Menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi yang telah memenuhi persyaratan;
8) Menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah propinsi yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
9) Membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat hasil penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Propinsi, dan KPU;
10) Menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi dari seluruh KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah propinsi yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
11) Menerbitkan keputusan kpu propinsi untuk mengesahkan hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi dan mengumumkannya;
12) Mengumumkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah propinsi terpilih dan membuat berita acaranya;
13) Melaporkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi kepada KPU;
14) Memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota;
15) Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Propinsi;


















BAB II
PEMBAHASAN
Tinjauan Mengenai Pemilukada
Jimly Ashiddiqie mengatakan bahwa Pemilukada yang pelaksanaannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut ketentuan dalam Undang-Undang ini, pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum. sehingga rezim hukumnya tidak dikaitkan dengan ketentuan pasal 22E UUD 1945 yang mengatur mengenai pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, melainkan semata-mata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Gubernur, Bupati, dan Walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Asas umum Pilkada Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan, Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 10 tahun 2008). Kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Melaksanakan kedaulatan itu bagi rakyat adalah dengan cara menentukan atau turut menentukan sesuatu kebijaksanaan kenegaraan tertentu yang dapat dilakukan sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu. Misalnya, rakyatlah yang harus menentukan atau turut menentukan atau memutuskan apakah suatu perbuatan tertentu akan ditetapkan sebagai suatu bentuk kejahatan yang dilarang atau tidak melalui wakil-wakil rakyat. Untuk menentukan siapa yang akan menduduki wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD, dan DPRD maka rakyat sendirilah yang secara langsung harus menentukan melalui pemilihan umum yang bersifat langsung. Namun metode penyaluran pendapat rakyat yang berdaulat dalam sistem demokrasi Indonesia ada yang bersifat langsung (direct democracy) dan ada pula yang bersifat tidak langsung atau (indirect democracy) atau biasa juga disebut sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy). Pengambilan keputusan dan penyaluran pendapat secara lansung dapat dilakukan melalui delapan cara, yaitu:
1) Pemilihan Umum (generale election);
2) Referendum (referenda);
3) Prakarsa (initiative);
4) Plebisit (plebiscite);
5) Recall (The recall);
6) Mogok Kerja;
7) Unjuk Rasa;
8) Pernyataan pendapat melalui pers bebas.
Disamping itu, rakyat yang berdaulat juga dapat menyalurkan aspirasi dan pendapatnya melalui sarana kebebasan pers, kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat baik secara lisan seperti dengan mengadakan unjuk rasa maupun secara tertulis, kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan berserikat (freedom of asocation) dan hak untuk mogok menurut ketentuan hukum perburuhan. Semua jenis hak dan kebebasan tersebut tentunya tidak bersifat mutlak. Penggunaanya tidak boleh melanggar hak asasi orang lain, termasuk misalnya, hak untuk tidak dihina dan untuk bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia seperti yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian pengambilan keputusan oleh rakyat yang berdaulat secara tidak langsung dilakukan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Sistem perwakilan sebagaimana telah diuraikan diatas merupakan cara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara tidak langsung, yaitu melalui DPR, DPD, dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka sepanjang waktu kepentingan rakyat dapat disalurkan melalui para wakil mereka yang duduk di parlemen. Dengan demikian, kepentingan rakyat diharapkan dapat didengar dan turut menentukan proses penentuan kebijakan kenegaraan, baik yang dituangkan dalam bentuk undang-undang maupun dalam bentuk pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dan upaya-upaya lain yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Untuk memilih wakil-wakil rakyat dan juga untuk memilih para pejabat publik tertentu yang akan memegang kepemimpinan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas eksekutif, baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, diadakan pemilihan umum secara berkala, yaitu tiap lima tahun sekali. Mekanisme pemilihan umu ini merupakan wujud penyaluran aspirasi dan kedaulatan rakyat secara langsung sesuai dengan kalender ketatanegaraan setiap lima tahunan.
1) Tujuan Pemilihan Umum
Pemilu di Indonesia merupakan mekanisme penentuan pendapat rakyat melalui sistem yang bersifat langsung. Pemilu bertujuan memilih orang atau partai politik untuk menduduki suatu jabatan di lembaga perwakilan rakyat atau lembaga eksekutif, seperti presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan MPR, anggota DPD dan MPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten, dan anggota DPD Kota. Tujuan penyelenggaran pemilu (general election) itu pada pokoknya dapat dirumuskan ada empat, yaitu: (Jimlly Asshiddiqie; 2007:754)
a) Untuk memungkinkan adanya suatu peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
b) Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
c) Untuk melaksakan prinsip kedaulatan rakyat, dan;
d) Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Secara lebih spesifik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD menentukan bahwa pemilu diselenggarakan dengan tujuan memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperkokoh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Sebagaimana diamanatkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pentingnya pemilu juga dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa setiap jabatan pada pokoknya berisi tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh manusia yang mempunyai kemampuan terbatas. Karena itu, pada prinsipnya setiap jabatan harus dipahami sebagai amanah yang bersifat sementara. Jabatan bukan sesuatu yang harus dinikmati untuk selama-lamanya. Yang dipilih dalam pemilu (general election), tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yag duduk dikursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah, dan ada pula yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, sedangkan di cabang kekuasaan eksekutif para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota. Dengan adanya pemilu yang teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksudkan juga dapat terseenggara secara teratur dan berkala. Oleh karena itu, adalah sangat wajar apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik dilembaga pemerintahan eksekutif maupun di lingkungan lembaga legislatif. Oleh karena itu, pemilu (general election) juga disebut bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan (elected public officials). Yang dimaksud dengan memungkinkan disini tidak berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum, secara mutlak harus berakibat terjadinya pergantian pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja terjadi, pemerintahan suatu partai politik dalam sistem parlementer memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali. Yang dimaksudkan memungkinkan disini adalah bahwa pemilihan umum harus membuka kesempatan sama untuk menang atau kalah bagi setiap peserta pemiliahan umum itu. Pemilihan umum yang demikian itu hanya dapat terjadi jika benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil). Tujuan ketiga dan keempat pemilu itu adalah juga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. Untuk menentukan kemajuan negara, rakyatlah yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan berlangsungnya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara dengan benar menurut UUD 1945 adalah hak rakyat yang sangat fundamental. Karena itu, penyelenggaraan pemilu, disamping merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan hak asasi warga negara. Untuk itulah, diperlukan pemilihan umum guna memilih para wakil rakyat secara periodik. Demikian pula guna
memilih para wakil rakyat secara periodik. Disamping itu, pemilihan umum itu juga penting bagi para wakil rakyat maupun para pejabat pemerintahan untuk mengukur legitimasi atau tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat kepadanya. Menjadi pejabat publik tidak hanya memerlukan legalitas secara hukum, tetapi juga legitimasi secara politik, sehingga tugas jabatan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena diakui, diterima, dan dipercaya oleh rakyat sebagai pemangku kepentingan terkait (stake holder). Demikian pula bagi kelompok warga Negara yang tergabung dalam suatu organisasi partai politik, pemilihan umum juga penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat dukungan dan kepercayaan rakyat kepada kelompok atau partai politik yang bersangkutan. Melalui analisis mengenai tingkat kepercayaan dan dukungan itu, tergambar pula mengenai aspirasi rakyat yang sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara republik Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilihan umum tidak saja penting bagi warga negara, partai politik, tetapi juga pejabat penyelenggara negara. Bagi penyelenggara negara yang diangkat melalui pemilihan umum yang jujur berarti bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan sebenarnya dari rakyat. Sebaliknya jika pemerintahan tersebut terbentuk dari hasil pemilihan umum yang tidak jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.
2) Partai Politik dan Pelembagaan Demokrasi Partai Politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap system demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antar proses-proses pemerintahan dengan warga negara, Bahkan banyak yang berpendapat partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Oleh karena itu partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaanya dalam setiap sitem politik yang demokratis. “Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat(1) Undang-Undang No 2 Tahun 2008)” Namun demikian, banyak juga pandangan kritis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu kekuasaanya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabuhi, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu atau kepentingan umum. Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan checks and balances. Akan tetapi jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partaipartai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi fungsi pemerintahan. Oleh karena itu system kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balance dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas system kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan disuatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada giliranya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan. Tentu saja partai politik merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide pikiran-pikiran, pandangan-pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk ekspresi lainya terbentuk dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), dan lain sebagainya.
3) Fungsi Partai Politik Menurut Miriam Budiarjo dalam bukunya Jimmly Asshiddiqie pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik meliputi (Jimmly Asshiddiqie, 2007: 717-720):
a) Komunikasi politik
Sebagai sarana komunikasi politik parati sangat berperan penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau political interest yang terdapat atau kadangkadang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atu bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
b) Sosialisasi politik
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai politik juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
c) Rekruitmen politik
Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader kepemimpinan negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kaderkader itu ada yang langsung dipilih oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh DPR, ataupun melalui cara-cara tidak langsung lainya. Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan profesional dalam pegawai negeri miasalnya tidak boleh melibatkan partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisisan jabatan-jabatan yang bersifat politik (political appointment) misalnya untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung partai politik dapat berperan. Dalam hal inilah fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitmen) dianggap penting. Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.
d) Pengaturan Konflik
Nilai-nilai dan kepentingan dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
4) Kelemahan Partai politik
Adanya organisasi itu, tentu dapat dikatakan juga mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya ialah bahwa organisasi cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik, kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataan dilapangan berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.
5) Partai Politik Peserta Pemilu
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 E ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik. Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, partai politik dapat menjadi peserta pemilihan umum itu apabila telah memenuhi syarat-syarat :
a) Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b) Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c) Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d) Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e) Memiliki anggota sekurang kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
f) Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c;
g) Mengajukan nama tanda gambar partai politik kepada KPU.

Tinjauan mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang – undang terhadap undang – undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang – undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan / atau wakil presiden (impeachment). Fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah : Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dalam system konstitusi, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai the guardian of constitution ( penjaga konstitusi ), dan Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi. Sedangkan peranannya adalah : sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, dalam mendorong mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan negara, menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuasaan negara, serta mewujudkan kesejahteraan Indonesia. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 C ayat (1) dan (2) mahkamah kontitusi mempunyai wewenang (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuspembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih diperinci lagi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 10, yaitu (Maruara Siahaan.2005:15):
1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar mempunyai 2 macam jenis pengujian, yaitu pengujian secara formal (formele toetsingsrecht) dan pengujian secara materiil (meteriele
toetsingsrecht ). Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislative telah dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak. Serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar berdasarkan Pasal 51 ayat (1), pemohon adalah
a) Perorangan warga negara Indonesia
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
2) Memutus sengketa kewengangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Lembaga negara yang dimaksud disini adalah lembaga Negara yang wewenangnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan pembatasan seperti itu maka jelaslah lembaga negara mana saja yang mendapat kewenangan menurut Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menghindari terjadinya multitafsir. Akan tetapi Pasal 65 UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memberikan pengecualian dengan menyebutkab bahwa, Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi.
3) Memutus pembubaran partai politik
Secara umum partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan partai politik adalah untuk mendapatkan kekuasaan politi dan merebut kekuasaan partai politik dengan cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. pada dasarnya pembubaran partai politik bertentangan dengan HAM seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 28E ayat (3),bahwa “setiap orang berhak satas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Akan tetapi dalam prakteknya pembubaran partai politik dapat dilakukan dengan alas an pelanggaran terhadap ideology dan pelanggaran hukum.
4) Memutus perselisihan mengenai hasil pemilu Kemungkinan terjadinya perselisihan hasil pemilu sangatlah terbuka lebar dalam setiap pelaksanaan pemilu di suatu negara, terlebih lagi Indonesia yang baru menapaki jejak baru berdemokrasi. Pemilu sebagai “medan pertempuran” bagi para kontestan dalam memperebutkan simpati dan dukungan masyarakat, sehingga memungkinkan adanya pemanfaat peluang sekecil apapun untuk melakukan kecurangan atau pelanggaran demi mendapatkan dukungan yang besar dari pemilih. Dalam perselisihan hasil pemilu ini, pemohon adalah:
a) perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD pesrta pemilu.
b) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
c) parta politik peserta pemilihan umum.
5) Memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden DPR dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi jika menurut DPR Presiden dan Wakil Presiden terduga:
a) melakukan pelanggaran hukum berupa pegkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
b) tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasrakan Undang-Undang Dasar 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar